TANAMAN purun telah lama dikenal masyarakat di sekitar ekosistem gambut. Masyarakat memakai tanaman rerumputan ini sebagai bahan kerajinan anyaman. Secara umum, ada dua jenis purun yang digunakan sebagai bahan kerajinan tangan oleh masyarakat yaitu purun tikus (Eleocharis dulcis) dan purun danau (Lepironia articulata).
Di Sumatera Selatan, lokasi habitat purun bervariasi, mulai dari daerah rawa yang berdekatan dengan permukiman penduduk sampai dengan yang jauh dari permukiman di pedalaman sekitar rawa gambut. Akses menuju lahan purun biasanya berupa jalan darat yang dikombinasikan dengan transportasi air pada rawa-rawa.
Sebagai tanaman gambut, purun tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan keasaman tinggi dan bisa menjadi tumbuhan indikator untuk tanah yang mengandung sulfat masam. Karakteristik tumbuhan purun secara umum memiliki batang berongga, tegak, tidak berdaun, tidak bercabang, panjangnya 50-200 sentimeter dengan ketebalan 2-8 milimeter dengan warnanya keabuan hingga hijau mengkilap.
Kerajinan masyarakat lokal berbahan rumput purun, khususnya tikar, menjadi identitas budaya masyarakat yang berada di ekosistem gambut Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, yang telah dikenal sejak masa kolonial Belanda di abad 19.
Kerajinan purun juga ditemui pada masyarakat sekitar gambut di wilayah lain di Sumatera dan Kalimantan (Baca: Purun Pengganti Polybag Plastik). Purun menjadi bagian dari dinamika penghidupan masyarakat pada lanskap gambut dari masa ke masa. Masyarakat secara turun temurun telah mengolah rumput purun untuk menghasilkan berbagai kerajinan dan peralatan yang digunakan untuk kebutuhan sendiri (subsisten) maupun dijual sebagai sumber pendapatan tambahan rumah tangga.
Tikar purun menjadi produk yang telah lama dikenal dan diperjualbelikan tidak hanya secara lokal namun juga secara regional di Sumatera Bagian Selatan. Tikar digunakan pada berbagai acara mulai dari kelahiran anak, pernikahan, acara hari-hari besar agama, bahkan pada momen kematian warga masyarakat.
Selain itu, purun juga berperan dalam aspek produksi komoditas pertanian seperti untuk menjemur padi hasil panen dan menjemur rempah lada. Pada skala rumah tangga, selain tikar, diversifikasi produk dari purun biasanya berupa peralatan dapur untuk menyimpan bumbu, kantong barang dan tempat peralatan rumah tangga lainnya, yang utamanya digunakan untuk kebutuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa barang berbahan baku purun tidak sekadar memiliki peran fungsional namun juga memiliki peran budaya yang penting dalam kehidupan masyarakat.
Perempuan menjadi pelaku utama kerajinan purun di berbagai desa pada lanskap gambut. Kegiatan dari hulu ke hilir dalam kerajinan purun didominasi oleh kaum perempuan. Para lelaki biasanya terlibat dalam proses transportasi bahan baku rumput dari lokasi pemanenan ke permukiman dan transportasi pemasaran produk purun. Peran perempuan dimulai dari melakukan kegiatan pemanenan bahan baku rumput purun, pengolahan bahan baku, membuat kerajinan, bahkan sampai dengan pemasaran produk.
Proses pengolahan bahan baku purun mulai dari pemanenan, pengeringan, dan proses pemipihan sampai siap dianyam membutuhkan waktu normal sekitar 7-10 hari. Kegiatan penganyaman purun untuk dibuat berbagai produk dilakukan ibu-ibu setelah menyelesaikan kegiatan domestik rumah tangga.
Keterampilan menganyam purun dipelajari dari generasi ke generasi melalui praktik langsung dan secara otodidak. Tidak ada pelajaran dan dokumentasi tertentu yang menjadi acuan masyarakat dalam mempelajarinya. Keluarga menjadi sumber utama pengetahuan kerajinan anyaman purun dari generasi ke generasi. Secara umum, para ibu akan mengajarkan pengetahuan dan keterampilan menganyam purun kepada anak perempuannya ketika menginjak usia sekitar 7 tahun.
Seiring dengan degradasi dan perubahan kondisi ekologis gambut, keberadaan purun dan keberlangsungan kerajinan purun menghadapi berbagai tantangan. Tantangan pertama adalah kebakaran lahan gambut berulang dan pembalakan kayu yang tidak terkendali sehingga bermuara pada degradasi dan deforestasi yang merusak habitat purun di rawa-rawa.
Kedua, pembangunan kanal-kanal untuk mengeringkan lahan gambut dan konversi lahan gambut menjadi areal pertanian dan perkebunan telah mengubah rawa sebagai habitat purun menjadi lahan kering yang tidak lagi ditumbuhi purun. Selanjutnya, degradasi lanskap gambut juga mengakibatkan banjir yang semakin meluas di habitat purun dan masyarakat mengalami kesulitan memanen purun di musim hujan.
Lokasi habitat purun semakin jauh di pedalaman rawa dengan akses yang semakin sulit dan menjadi disinsentif bagi masyarakat untuk memanen purun dan pada akhirnya berdampak pada semakin sulitnya memperoleh bahan baku. Tantangan lainnya adalah perubahan akses tenurial lokasi purun yang sebelumnya bebas diakses oleh masyarakat secara turun temurun saat ini menjadi akses terbatas yang dikelola pihak tertentu.
Minat masyarakat terhadap kerajian purun pun mulai berkurang. Perkembangan berbagai produk perlengkapan rumah tangga dengan beragam bahan yang berbeda, terutama plastik, mulai menggantikan peran barang-barang berbahan purun yang biasanya digunakan masyarakat. Harga barang-barang berbahan plastik yang relatif murah dan relatif tahan lama mulai mengalihkan pilihan masyarakat dari barang berbahan purun.
Upaya dan peluang untuk merespons beragam tantangan pengelolaan purun saat ini mulai terbuka dalam kerangka restorasi gambut untuk pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan.
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) telah melakukan program pemberdayaan dan pendampingan masyarakat untuk pengembangan kerajinan purun di level tapak, antara lain di Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, dan di Desa Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur.
Purun memiliki peran dan potensi penggunaan yang lebih beragam pada ekosistem rawa gambut, tidak hanya terbatas untuk kerajinan. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa purun memiliki kemampuan untuk menyerap dan menetralkan unsur-unsur beracun logam berat yang ada di alam.
Hasil penelitian Asikin dan Thamrin (2013) menunjukkan jenis purun tikus dapat menurunkan serangan hama penggerek batang pada tanaman padi karena fungsi purun sebagai tumbuhan perangkap karena hama tersebut lebih memilih meletakkan telurnya di batang purun dibandingkan di batang padi.
Selain itu, tumbuhan ini juga dapat menjadi bahan pupuk organik. Hasil beragam penelitian juga menunjukkan purun berperan sebagai biofilter untuk memperbaiki kualitas air rawa, terutama di musim kemarau, dengan menyerap bahan toksik terlarut Fe dan SO4. Hal ini menunjukkan peran penting purun dalam menjaga keseimbangan ekosistem rawa gambut.
Peluang pengembangan produk berbahan purun sebenarnya cukup terbuka. Beberapa studi di Indonesia menjajaki potensi purun tikus sebagai bahan konstruksi dalam pembuatan papan partikel. Di Cina, jenis purun tikus dikenal sebagai sumber pangan dan bahan obat. Umbi purun tikus secara tradisional dikonsumsi sebagai bahan pangan yang dapat langsung dikonsumsi atau diproses lebih lanjut.
Hasil riset di Cina menunjukkan bahwa umbi ini mengandung beragam nutrisi dan bahan-bahan bioaktif seperti flavonoid (senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai antioksidan), mineral, protein, dan karbohidrat (Wei, et. al., 2018). Fungsi farmakologi juga mengemuka dalam beberapa studi di Cina yang menyebutkan kemampuan fungsi antioksidan, anti-tumor, anti-alkohol, anti bakteri dan pelindung saraf dari umbi purun ini. Produk makanan dan minuman berbahan purun tikus seperti tablet yang bisa dikunyah, susu fermentasi dan cuka kesehatan (health vinegar) juga banyak diteliti dan dikembangkan di Cina.
Membangun usaha purun lebih produktif dengan kualitas bagus akan meningkatkan perlindungan atau nilai ekologi rawa gambut oleh masyarakat di sekitarnya. Pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan nilai tambah purun sekaligus akan mendukung pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan.
Ikuti percakapan tentang ekosistem gambut di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasioal (BRIN)
Mahasiswa program doktor Crawford School of Public Policy, Australian National University (ANU)
Topik :