Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 25 April 2023

Bencana di Balik Keindahan Dieng

Keindahan dataran tinggi Dieng menyimpan bencana. Akibat pengolahan lahan yang keliru.

Permukiman di dataran tinggi Dieng di antara kebun sayuran (Foto: Nining Wahyuningrum)

DATARAN tinggi Dieng menjadi salah satu ikon wisata alam Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara di Jawa Tengah. Kebun sayuran di perbukitan membentuk lanskap yang indah. Kentang, wortel, kol, sawi, daun bawang adalah komoditas andalan daerah ini. Bertani sayur menjadi profesi turun-temurun bagi penduduk di dua kabupaten itu.

Kebun sayur memerlukan pengolahan dan pemupukan intensif pada lahan-lahan miring yang subur. Petani menanam sayur searah kontur agar lahan tetap bahas tapi tak menimbulkan genangan air. Dengan menanam sayuran tegak lurus kontur lereng, air permukaan tandas karena langsung menuju saluran air. Saat hujan, aliran air dari tebing jalan meluncur membawa tanah menuju ke jalan. Itu kenapa di jalur Wonosobo-Dieng, ketika hujan, banyak bibit kentang bertebaran di jalan.

Lapisan tanah terbuang bersama aliran air permukaan. Pada permukaan lahan terbuka, air hujan langsung memecah agregat tanah. Namun, pengolahan tanah sedemikian rupa membuat tanah menjadi gembur sehingga teksturnya menjadi lemah. Akibatnya, bisa erosi bahkan longsor yang mengancam keselamatan umum.

Sedimen yang terangkut air itu tentu saja mengandung unsur hara tanah yang berasal dari pupuk. Apakah para petani menyadari bahwa cara mengolah tanah lereng yang membuat tanah subur itu sekaligus membuat peluang terjadinya longsor, bencana, semakin tinggi?

Erosi dan sedimentasi dari kebun sayuran itu terbawa oleh aliran sungai dan mengendap di Waduk Mrica atau Bendungan Jenderal Sudirman. Akibat penumpukan sedimen itu, operasi waduk hanya akan sampai 2028 dari waktu yang direncanakan saat pembangunan hingga 2049.

Sedimen yang mengendap di waduk ini, menurut PT Indonesia Power, rata-rata 4,2 juta meter kubik setahun. Bila kapasitas sebuah 20 meter kubik, dalam setahun penumpukan sedimen setara 210 ribu truk yang menumpahkan tanah ke danau ini.

Sedimentasi di waduk mempengaruhi debit air yang terpakai untuk mengairi sawah dan menghidupkan generator pembangkit listrik. Waduk Mrica merupakan sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sistem Jawa-Bali dengan kapasitas 184,5 megawatt.

Para penyuluh pertanian Wonosobo atau Banjarnegara sudah sering mengingatkan petani agar tak lagi mempraktikkan cara mengolah lereng yang mendorong sedimentasi kian parah. Para penyuluh memberikan cara mengolah tanah dengan benar melalui pola tanam yang mengkombinasikan tanamana tahunan, tanaman bawah, dan tanaman semusim.

Banyak juga penyuluhan cara mengendalikan erosi di tanah dengan kemiringan curam. Pengendalian erosi secara teknik sipil bisa melalui pembuatan teras bangku, teras gulud, pembuatan saluran air, pembuatan terjunan dan rorak. Teknik sederhana tersebut biasanya sudah mempertimbangkan kondisi lahan serta kondisi tenaga kerja/petani, sehingga akan relatif mudah diterapkan tanpa menggunakan peralatan berat.

Program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) sudah dilaksanakan Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo. Rehabilitasi lahan kritis dan terdegradasi dengan mengaplikasikan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan mekanis, seperti menanam tanaman kehutanan dan spesies multifungsi (MPTS) untuk mengendalikan erosi dan sedimentasi.

Secara teroritis, lahan dengan kondisi lereng curam sebenarnya tidak layak untuk kegiatan pertanian semusim. Sebab, bila dibandingkan dengan lahan datar, hujan yang jatuh di lahan miring akan mempunyai kecepatan aliran yang lebih besar sehingga energi kinetiknya juga lebih besar. Akibatnya, daya rusaknya terhadap tanah juga lebih besar.

Untuk melindunginya, cara yang paling sederhana adalah mengombinasikan tanaman tahunan dan pelindung tanah dengan intensitas pengolahan tanah yang minimal. Vegetasi permanen seperti hutan alam, hutan produksi (hutan rakyat maupun hutan milik negara), dan kebun campur adalah tutupan lahan yang ideal untuk kondisi seperti itu.

Dengan tutupan yang permanen sepanjang tahun, saat musim kemarau maupun penghujan,  jenis tanaman tahunan setidak-tidaknya mencegah agregat tanah terpecah oleh hujan. Tipe penggunaan lahan yang minim pengolahan tanah juga aman bagi tanah agar tidak mudah tererosi.

Sedimentasi yang terbawa arus suangi di dataran tinggi Dieng (Foto: Nining Wahyuningrum)

Cara-cara ini sulit diwujudkan apabila menyangkut lahan privat milik masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 37/2014 tentang konservasi tanah dan air pasal 29, masyarakat wajib melaksanakan konservasi tanah dan air pada setiap jenis penggunaan lahan. Penanaman vegetasi permanen jelas akan mengurangi bidang olah, menghalangi sinar matahari, dan cenderung menyimpan air dan kelembaban. Kondisi seperti ini menganggu produktivitas sayuran yang menuntut cahaya matahari dan tidak memerlukan air dalam jumlah banyak.

Bila cara konservasi tanah dengan menanam vegetasi permanen tidak memungkinkan cara lain adalah membuat jebakan-jebakan sedimen, berupa rorak-rorak pada lahan, terutama di saluran-saluran dengan ukuran dan jumlah yang sesuai dengan kondisi lapangan. Semakin miring lahan memerlukan rorak yang semakin banyak.

Sedimen akan terjebak pada rorak-rorak ini sehingga tidak akan sampai di saluran utama yang menuju sungai yang akhirnya ke hilir mengendap di waduk/bendungan. Melalui mekanisme imbal jasa lingkungan, akan menjadi insentif bagi petani lahan miring di bagian hulu. Di pihak pemilik lahan juga dapat menghemat biaya pupuk karena tanahnya tidak hilang.

Di balik keindahan lanskap dataran tinggi Dieng tersimpan masalah degradasi lahan, ketidaksesuaian penggunaan lahan, kepedulian petani terhadap kelestarian lahan, potensi penurunan produksi pertanian, penurunan kapasitas waduk, ancaman pasokan listrik Jawa-Bali, dan masalah koordinasi program pengelolaan lahan antar instansi pemerintah. Tugas seluruh komponen masyarakat pengguna lahan dan pemerintah bersama-sama mengatasinya.

Ikuti percakapan tentang rehabilitasi lahan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



  • Yakin ingin menghapus komentar ini?

    Arif Wibowo

    02 Mei 2023

    Fenomena seperti Dieng banyak terjadi di seluruh wilayah negeri ini. Perlu komitmen yang tinggi dari semua pihak dengan leadership dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Jangan menunggu bencana terjadi. Padahal secara teknis kita sudah mampu melakukan pencegahan /pengurangan risiko bencana hidrometeorologi. Perubahan tataguna lahan harus serius ditangani secara bersama-sama jika tidak tinggal tunggu waktu dan giliran siapa yang akan menjadio korban. Semoga kesadaran untuk mencegah bencana iklim ini semakin baik. Demikelangsungan kehidupan rakyat yang aman, sejahtera dan berkelanjutan.

Artikel Lain