KEBIJAKAN menentukan politik, meskipun di Indonesia acap kali terjadi sebaliknya. Hubungan sebab-akibat ini adalah kesimpulan Hubery Heinelt dalam Do Policies Determine Politics? dalam buku “Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods” oleh Frank Fisher, dkk (2015) yang menguji kembali tesis Theodore Lowi, profesor politik Cornell University, pada 1972. Dengan begitu, kebijakan tidak bisa dipisahkan dari sejarah, kekuatan-kekuatan yang mempengaruhinya, karakteristik lokasi, maupun komunitas aktor yang berhubungan dengannya.
Tidak seperti ketentuan hukum yang harus dipatuhi, kebijakan dalam bentuk peraturan-perundangan ditentukan oleh politik atau kepentingan aktor-aktor pelakunya, yang ditentukan oleh lingkungan tertentu maupun jaringan khusus yang berperilaku dengan cara tertentu pula. Maka tesis Lawi bisa kita pakai untuk menganalisis arah kebijakan sebagai output kondisi lembaga negara dan kepentingan aktor yang terlibat dalam pengembangan, pembuatan maupun pelaksanaan sebuah kebijakan.
Tesis itu tampak, misalnya, ketika isi sebuah undang-undang tidak cukup rinci mengatur sebuah urusan. Penjabaran isinya memerlukan peraturan pemerintah yang dirinci lebih detail lagi dalam menjadi peraturan menteri. Di sini aturan detail itu bisa diisi oleh pengetahuan sekaligus kepentingan pembuatnya.
Misalnya dalam pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia. Pada 1980 hingga 2000, hampir 60 juta hektare kawasan hutan dialokasikan untuk usaha besar. Walaupun dalam peraturan alokasi pemanfaatan hutan untuk masyarakat lokal juga tersedia. Karena undang-undang tidak cukup rinci mengaturnya, implementasinya bisa sesuai kepentingan pelaksananya. Apalagi jika pembuatan aturan itu dilakukan secara tertutup.
Untuk itu, secara umum, praktik pengelolaan sumber daya alam berjalan tidak adil. Walaupun kunci pelaksanaannya secara hukum mengacu pada isi undang-undang dan aturan turunannya yang secara normatif memberi ruang bagi terwujudnya keadilan itu. Kebijakan, karena sifatnya memberi kesempatan bagi semua pihak, pelaksanaannya sangat tergantung pada proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kepentingan yang diperebutkan.
Oleh karenanya, sifat pilihan yang terbuka itu bergantung pada siapa yang akan menjalankannya dan kepentingannya. Adanya pilihan-pilihan kepada siapa alokasi sumber daya diperuntukkan alam dalam undang-undang membuat distribusinya tergantung pada rezim dan kepentingan pemerintahan yang berkuasa. Masyarakat di kalangan bawah, sementara itu, berinisiatif sendiri dalam distribusi sumber daya alam meski tak mendapat pelayanan pemerintah. Akibatnya, tindakan masyarakat bawah itu masuk kategori ilegal. Bagi mereka, tindak ilegal itu acap kali menjadi satu-satunya cara memperoleh keadilan.
Dalam buku Ricardo Kaufer “Forest Politics from Below: Social Movements, Indigenous Communities, Forest Occupations and Eco-Solidarism” (2023) ada penjelasan bagaimana perjuangan mengendalikan perusakan hutan dimulai oleh masyarakat. Dalam hal ini, kekosongan peran pemerintah dalam mengalokasikan manfaat hutan bagi masyarakat setempat diisi dan dijalankan oleh masyarakat itu sendiri.
Kaufer mencontohkan pembakaran penggergajian kayu di Bryansk, ujung barat Rusia. Pemilik pabrik penggergajian kayu itu menebang pohon dari hutan setempat. Para aktivis Earth Liberation Front (ELF) mengklaim penghancuran pabrik penggergajian itu tidak bisa dihindari untuk menghentikan deforestasi. Para aktivis ELF membingkai penghancuran penggergajian itu sebagai cara untuk mencegah biaya besar memperbaiki deforestasi.
Peristiwa seperti itu pada dasarnya terjadi di berbagai negara. Para aktivis berdalih mencegah ekosida dengan gagasan solidaritas terhadap alam dan hewan, termasuk mencegah penggundulan hutan sebagai penjabaran gagasan eco-solidarisme, yaitu perspektif yang bertindak dan berpihak pada kehidupan masyarakat yang serba kekurangan dan sangat bergantung pada ekosistem yang utuh dan sehat maupun hewan dan sumber daya alam pendukungnya, dengan sebisa mungkin melakukan perlawanan terhadap perusakan hutan.
Antropolog James C. Scott memberi istilah pada aktivitas itu sebagai “weapons of the weak”, perlawanan masyarakat yang lemah posisinya dalam hubungan eksploitasi terhadap institusi yang telah mapan. Sementara masyarakat yang kuat secara ekonomi mereproduksi diri mereka melalui pengembangan ekonomi berdasarkan akses yang timpang terhadap sumber daya alam itu.
Dalam situasi itulah, ekstraksi nilai masyarakat miskin terus terjadi. Mereka menjadi pekerja mengeksploitasi sumber daya hutan dan jasa ekosistem. Hasilnya, seperti terjadi di Indonesia, sekitar 30 juta hektare hutan alam produksi dan 3,1 juta hektare hutan tanaman tak terkelola secara lestari.
Kenyataan seperti ini seharusnya memicu kita berpikir ulang memanfaatkan dan melestarikan hutan. Manajemen hutan bukan hanya harus menggunakan pedoman-pedoman teknis, juga harus bisa memahami berbagai persoalan yang menyebabkan berbagai pedoman teknis dan peraturan itu tidak bisa berjalan.
Dalam artikel saya sebelumnya “Lima Mitos Manajemen Hutan Lestari”, saya menguraikan berbagai fakta apa yang telah menjadi keyakinan dalam pengelolaan hutan di masa lalu tidak terbukti benar sekarang. Keyakinan itu telah menjadi mitos:
Pertama, hutan akan lestari jika permintaan kayu tidak lebih tinggi dari pasokannya. Kedua, untuk mengurangi tekanan pada hutan alam maka perlu hutan tanaman. Ketiga, untuk meningkatkan nilai tambah kayu bulat, ekspor kayu bulat dilarang. Keempat, membangun hutan tak perlu memakai modal sosial. Kelima, jika peraturan berubah, kondisi lapangan juga berubah.
Pengelolaan hutan alam produksi yang tidak lestari itu terdorong oleh beberapa faktor. Pertama, hutan alam produksi sebagai aset negara perlindungannya diserahkan kepada swasta. Hutan menjadi barang semi-publik sehingga dapat dicuri oleh pengelolanya sendiri. Kedua, dalam pengelolaan itu ada biaya transaksi tinggi. Riset Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan setiap perusahan mengeluarkan Rp 680 juta sampai Rp 22 miliar setahun untuk transaksi-transaksi itu.
Ketiga, hak atas hutan tidak terjamin dalam jangka panjang karena sewaktu-waktu bisa dicabut pemerintah. Keempat, ada kemungkinan klaim atas hutan/hak atas tanah. Kelima, harga kayu dari hutan alam semakin murah serta semakin tingginya peran barang substitusi. Keenam, terjadi konflik kepentingan hingga korupsi dan rendahnya disinsentif bagi pelanggar hukum.
Dengan kenyataan seperti itu, keyakinan hutan produksi dapat dikelola secara lestari memerlukan prasyarat yang mengikat. Mungkin semua orang berpikir pohon yang sudah ditebang bisa ditanam kembali. Atau menebang pohon induk tanpa merusak anaknya membuat hutan utuh kembali. Tetapi keyakinan itu perlu prasyarat agar sesuai harapan. Acap kali prasyarat-prasyarat dalam keyakinan pengelolaan hutan tak terpenuhi. Buktinya, separuh konsesi hutan alam rusak.
Ikuti percakapan konsensi hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :