SEBAGAI mahluk hidup, pohon bisa berbicara. Kecurigaan ini sudah muncul di kalangan ilmuwan sejak tiga abad lalu. Pohon bisa bicara, pohon bisa bercinta, karena mereka punya jenis kelamin. Charles Darwin coba membuktikan dugaan kakeknya, Erasmus Darwin, yang menulis The Loves of The Plant. Percobaan Darwin tak tuntas hingga diejek ilmuwan lain, Thomas Huxley, yang menyebut asumsi Darwin itu sebagai "hipotesis cakep dengan bukti pendukung yang buruk."
Para ilmuwan penerus mereka lalu meneliti soal kehidupan pohon dan tanaman. Suzanne Simard, dosen ekologi hutan di University of British Columbia, menyimpulkan pohon berkomunikasi melalui pertukaran karbon lewat jaringan akar yang rumit di dalam tanah. Lalu ada Monica Gagliano, yang secara terus terang, mengatakan bahwa benar pohon bisa ngomong.
Dalam Thus Spoke the Plant, ahli biologi laut yang tinggal di Australia itu, tinggal di hutan Amazon di Peru untuk membuktikan hipotesisnya. Sebelum ke Peru ia juga meneliti dengan tekun tanaman dan pohon untuk mengetahui cara pohon merespons keadaan sekeliling. Ia, misalnya, menguji respons putri malu dengan menyentuh dan menjatuhkannya. Pada percobaan keempat, putri malu tak lagi menguncup ketika mendapatkan sentuhan berulang.
Kini para ilmuwan lain kian menguatkan hipotesis dan dugaan-dugaan para ilmuwan selama tiga abad. Itzhak Khait dan koleganya dari Tel-Aviv University coba membuktikan bagaimana pohon berkomunikasi. Tak seperti Simard yang lebih spiritual, Itzhak ingin membuktikan cara komunikasi tanaman dengan suara.
Menurut mereka, pohon dan tanaman mengeluarkan suara 20-150 kHz. Ini suara yang nyaris tak terdengar oleh telingan manusia. Untuk itu, para peneliti Tel Aviv University itu merekam suara ultrasonik pohon dan memakai algoritma untuk menganalisisnya.
Mereka merekam suara dari tomat dan tembakau dengan meletakkannya di dalam kotak akustik dan dua microphone ultrasonik di setiap tanaman. Ada tiga perlakuan terhadap tanaman-tanaman itu, yakni tanaman kontrol, tanaman yang dipotong batangnya, dan tanaman yang kekeringan. Itzhak Khait juga merekam suara dari pot tanpa tanaman untuk mengetahui gangguan suara dari mikroba tanah.
Hasilnya, mereka menyimpulkan, tanaman menghasilkan suara ketika stres atau sakit. Suara tumbuhan tidak seperti suara binatang atau manusia yang berteriak kesakitan. Suara tanaman serupa letupan gelembung.
Pada tanaman yang kekeringan, tomat mengeluarkan rata-rata 35,4 kali suara dalam satu jam. Sedangkan tembakau mengeluarkan rata-rata 11 kali suara dalam satu jam. Pada tanaman yang dipotong, tomat bersuara rata-rata 25,2 per jam dan tembakau 15,2 suara per jam. Sebenarnya, tanaman tanpa perlakuan (kontrol) juga menghasilkan suara, namun intensitasnya rendah, di bawah 1 suara per jam.
Itzhak Khait dan koleganya juga menemukan bahwa tanaman yang kekeringan mengeluarkan suara dalam periode yang lebih lama dibanding tanaman yang dipotong. Hal itu karena karena proses pengeringan berlangsung bertahap, sedangkan pemotongan berlangsung cepat.
Tanaman yang kering mulai mengeluarkan suara pada hari kedua dan mencapai puncaknya pada hari ke-4 dan 5, lalu menurun pada hari ke-6, seiring tanaman itu layu dan mati. Suara yang dihasilkan tanaman kering juga memiliki pola. Suaranya mencapai puncak pada jam 08.00-12.00 dan 16.00-19.00.
Darimana suara-suara tanaman itu berasal? Penjelasan terkait mekanisme suara di tumbuhan pernah diteliti Ponomarenko dan dipublikasikan di Journal of the Royal Society pada 2014.
Suara tanaman dihasilkan dari xylem atau jaringan pembuluh tanaman. Xylem membawa air dari akar ke batang dan daun. Untuk mengangkut material itu, xylem menggunakan gaya tarik menarik antar partikel air dan antar air dengan sel tumbuhan. Saat kekeringan, gaya tarik-menarik antar partikel air menurun. Gravitasi membuat tenaga gerak xylem kian melemah.
Seperti kita menyedot sisa minuman dalam gelas, xylem harus mengeluarkan tenaga ekstra agar air dari akar bisa sampai ke batang dan daun. Fenomena ini sendiri dinamai sebagai kavitasi. Kavitasi inilah yang menghasilkan suara tumbuhan.
Ponomareko dan teman-temannya membuat simulasi dengan menggunakan irisan kayu pinus. Irisan kayu pinus dimasukkan ke dalam kapsul gel berisi cairan untuk meniru kondisi di dalam pohon. Ia lalu mengeluarkan cairan di kapsul tersebut untuk meniru kondisi saat kekeringan.
Saat kayu mulai berongga, peneliti melihat fenomena kavitasi, dengan gelembung terbentuk di rongga kayu dan menghasilkan gelombang suara ultrasonik. Ponomareko yakin jika setiap pohon juga mengeluarkan suara yang kurang lebih serupa, meski berbeda pola.
Para peneliti yakin jika kemampuan kita untuk menangkap suara tumbuhan dapat digunakan untuk monitoring kesehatan ekosistem, khususnya lahan pertanian, hutan tanaman industri, dan sejenisnya (baca: Suara Hutan Menentukan Keanekaragaman Hayati). Dengan mendengarkan suara tumbuhan, kita bisa mengetahui kebutuhan air dan nutrisi dari tumbuhan.
Temuan ini bisa dikembangkan untuk melihat tumbuhan yang terserang penyakit dan mengidentifikasi jenis penyakit tersebut.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :