Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 18 Mei 2023

Jenis Pohon untuk Pulp dan Kertas

Pohon endemik banyak dipakai untuk bahan baku pulp dan kertas. Ada pohon lokal lain yang cocok.

Pohon mahang (Foto: Ahmad Junaedi)

DENGAN kapasitas terpasang 12,13 juta ton per tahun dan 18,26 juta ton per tahun, industri pulp dan kertas Indonesia menempati posisi ke-8 dan ke-6 di dunia. Pada 2021, menurut catatan Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, devisa dua industri ini US$ 7,5 miliar. Besarnya kapasitas industri pulp dan kertas di Indonesia ditopang oleh hutan tanaman industri (HTI) pulp lebih dari 4 juta hektare.

HTI-pulp menyuplai bahan baku serat pendek, sedangkan serat panjang masih mengandalkan impor. Lokasi HTI-pulp ini sebagian besar berada di Sumatera dan Kalimantan, baik di lahan mineral maupun di rawa gambut.

Konstruksi Kayu

Laporan Payn dkk (2015) menyebutkan bahwa hutan tanaman di dunia umumnya mengembangkan jenis pohon asli setempat (native species), terutama jenis pinus yang mencapai 20%. Sementara HTI di Indonesia memilih jenis-jenis pohon eksotik, yaitu jenis pohon yang dikembangkan di luar lokasi sebaran alaminya, seperti jenis Acacia mangium, Eucalyptus pellita, dan Acacia crassicarpa.

Menurut Sein& Mitlohner (2011) dan Hung dkk (2015) sebaran alam A. mangium ada di Kepulauan Aru, Seram dan Papua. Sedangkan E. pellita hanya di Papua. Jenis eksotik dipilih  oleh HTI-pulp bukan tanpa alasan. Akasia dan eukaliptus merupakan dua jenis pohon yang dikenal luas tumbuh dan beradaptasi dengan baik di lahan marginal. Bibit kedua jenis pohon tersebut relatif melimpah di Indonesia.

Dibandingkan kayu jenis lokal, pengetahuan pembudidayaan (silvikultur) kedua jenis juga sudah lebih maju. Meski jenis eksotik masih jadi andalan, bukan berarti tanpa ada masalah dalam pengembangannya. Beberapa organisme pengganggu telah terdeteksi secara serius menyerang kayu jenis eksotik.

Keberadaan organisme pengganggu ini berkontribusi terhadap penurunan standing stock dan produktivitas HTI-pulp pada rotasi berikutnya. Nurcan dkk (2014) serta Suhartati dkk (2014) menyebutkan standing stock dan produktivitas akasia di HTI-pulp pada umur panen relatif rendah, kurang dari 30% dan 140 meter kubik per hektare. Bahkan, menurut Junaedi (2018) untuk jenis A. crassicarpa di lahan gambut persen hidupnya pada usia 5,5 tahun tersisa 22%.

Kayu HTI di lahan gambut mesti memiliki muka air tanah tidak lebih dari 40 sentimeter, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016. Ketentuan ini berpotensi menyulitkan pengembangan A. crassicarpa karena dengan kondisi muka air yang relatif lebih dangkal, akan menyebabkan perakaran lebih lembap sehingga rentan serangan penyakit.

Temuan Junaedi (2018) menyebutkan pada kisaran muka air gambut 20-150 sentimeter membuat banyak pohon A. crassicarpa mati akibat serangan penyakit yang berasosiasi dengan kondisi gambut yang makin lembap.

Untuk jenis pohon lokal lahan gambut, penelitian awal terhadap karakteristik serat, komponen kimia kayu, sifat fisik kayu, serta kayu dan pulp pada jenis mahang (Macaranga pruinosa), skubung (Macaranga gigantea) dan geronggang (Cratoxylum arborescens) masuk kelas I-III. Komponen kimia kayu memenuhi persyaratan sebagai bahan baku pulp (Aprianis & Rahmayanti, 2009; Rizqiani dkk, 2019). Namun ketiganya mempunyai berat jenis kayu yang lebih rendah dibandingkan kayu A. crassicarpa.

Dari ketiga jenis kayu itu, yang mempunyai berat jenis kayu yang mendekati A. crassicarpa (0,55) adalah geronggang, yaitu 0,47. Produktivitas kayu geronggang paling besar, 4,83 meter kubik per ton pulp (Aprianis, 2016), mendekati efisiensi konsumsi kayu A. crassicarpa, 4,38 meter kubik per ton/ton pulp (Akbar dkk, 2019).

Dari segi produktivitas kayu untuk pulp, mahang memiliki angka tertinggi sebesar 21,4 meter kubik per hektare per tahun, walaupun masih rendah dibandingkan produktivitas A. crassicarpa yang mencapai 30 meter kubik per hektare per tahun (Junaedi, 2018).

Produktivitas kayu jenis lokal masih lebih rendah dibandingkan jenis eksotik. Begitu juga konsumsi kayu untuk pulp pada jenis lokal masih lebih banyak dibandingkan jenis eksotik. Ini karena belum ada penelitian untuk mengetahui kualitas bibit jenis lokal, berbeda dengan jenis eksotik yang relatif telah mengalami pemuliaan.

Dengan memanfaatkan bibit yang masih terbatas, mahang menunjukkan produktivitas kayu yang menjanjikan, sedangkan geronggang menunjukkan prospek konsumsi kayu yang efisien. Dengan riset pemuliaan, performa kedua jenis lokal sebagai bahan baku pulp kemungkinan bisa ditingkatkan bahkan bisa menyamai jenis eksotik.

Referensi: 

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti ahli madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Ketua Tim Peneliti Silvikultur Jenis Pohon Lokal untuk Lahan Marginal

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain