BIASANYA pemecahan masalah, disadari atau tidak oleh pelakunya, sebagai proses pengambilan keputusan dengan memakai asumsi yang menyederhanakan persoalan. Entah karena persoalannya rutin, entah karena masalah rumit sehingga perlu penyederhanaan. Daniel Kahneman, ahli psikologi yang mendapat Nobel Ekonomi 2002, menyebutnya bias WYSIATI, what you see is all there is.
Dalam pengelolaan hutan alam produksi dan hutan tanaman, penentuan volume dan jumlah pohon tebangan per tahun cukup dengan menetapkan jatah produksi tahunan. Penyederhanaan ini berdasarkan teori pilihan rasional dengan segenap asumsi-asumsinya. Kelembagaan yang memungkinkan ketentuan itu berjalan acap kali tak jadi pertimbangan.
Teori pilihan rasional telah berjalan selama 40 tahun lebih dalam pengelolaan hutan produksi. Hasilnya, tak lestari. Hutan alam produksi pada akhir 2022 hanya dikelola oleh 247 perusahaan dari 567 izin pada 1991. Dengan begitu, ada 320 perusahaan konsesi kehutanan yang manajemen hutannya tidak lestari.
Mengapa kenyataan seperti itu tidak cukup membawa perubahan cara berpikir mengenai kelestarian hutan? Salah satu jawabannya adalah kuatnya dominasi sekaligus jebakan pemikiran administratif. Seolah-olah ketika seluruh kegiatan bisa dipertanggungjawabkan secara administratif, tugas sudah selesai.
Dalam Rational Choice in Public Policy: The theory in critical perspective, Steven Griggs menguraikan perihal pilihan rasional, sebagai berikut:
Pertama, rasionalitas individu terwujud apabila individu tersebut menjalankan cara pemeringkatan hasrat secara konsisten, dalam arti berurutan dan stabil dari waktu ke waktu. Pemeringkatan itu menegaskan bahwa individu mampu membangun hierarki keinginan dan setiap tingkat keinginan itu harus bisa dibandingkan.
Selain itu ada konsistensi dalam perbandingan keinginan. Misalnya, jika seseorang lebih suka jeruk (a) daripada apel (b) dan lebih suka apel daripada jambu (c), ia akan memilih jeruk (a) dari pada jambu (c) ketika di hadapannya ada dua pilihan itu. Dalam hal ini, keinginan atau preferensi individu dianggap stabil dari waktu ke waktu dan bersifat given (tetap).
Pilihan rasional membangun penjelasan pada tindakan individu, menghindari peran masyarakat secara sosial. Ia mendasarkannya pada asumsi dasar motivasi pilihan rasional yang bertumpu pada individu sebagai unit analisis yang berdiri sendiri.
Kedua, teori pilihan menghasilkan penjelasan yang bisa memprediksi dan bersifat universal mengenai proses kebijakan, melalui seperangkat asumsi. Ada yang menyebut teori itu mengacu pada asumsi yang tidak realistis dan tidak cukup teruji. Ada pula yang mengkritik, walaupun teori itu didasarkan pada model matematika yang rumit, teori ini menghasilkan temuan sepele karena hanya menyatakan kembali sesuatu yang sudah jelas.
Ketiga, dalam pilihan rasional telaah kebijakan publik, individu dicirikan sebagai aktor yang mengerucutkan semua tindakan untuk mewujudkan tujuan yang bersifat pribadi. “Pribadi” ini diinterpretasikan sebagai sektor. Dalam hal ini rasionalitas dijalankan untuk mencapai “maksimisasi manfaat”, sehingga individu yang rasional adalah orang yang ketika dihadapkan pada berbagai pilihan tindakan atau kebijakan mereka akan memilih kebijakan yang paling mungkin mendatangkan manfaat maksimal bagi mereka sendiri.
Pada akhirnya, rasionalitas muncul dari kapasitas aktor untuk menghitung dan menghubungkan biaya dan manfaat pada pilihan kebijakan yang tersedia, untuk memilih tindakan terbaik dalam memaksimalkan utilitas mereka sendiri.
Para kritikus teori pilihan rasional mempermasalahkan “asumsi seragam” ini, yaitu semua jenis kondisi diperlakukan sama, seraya mengesampingkan adanya pilihan individu akibat kondisi berbeda. “Kapan suatu pilihan itu dinyatakan bukan pilihan? Jawabnya: “Ketika ia adalah pilihan rasional”.
Dalam kaitannya dengan praktik pengusahaan hutan selama ini, pilihan rasional itu punya kebenaran teknis dengan dukungan argumentasi. Sebagian besar perusahaan hutan tidak menjalankan argumen-argumen itu. Dengan kata lain, sebagian besar perusahaan hutan itu mempunyai pilihan lain yang lebih menguntungkan, termasuk dalam menanggung segala risiko.
Dalam penetapan kelestarian hutan, ahli kehutanan pada umumnya menggunakan rasionalisasi bahwa hutan yang bisa dan sedang tumbuh akan lestari bila ditebang hanya sebatas jumlah volume pohon yang tumbuh itu. Dengan demikian, 320 perusahaan yang manajemennya tidak lestari itu telah mempercepat penebangan, lebih cepat dari kemampuan hutan konsesinya tumbuh. Artinya, ratusan perusahaan itu telah melanggar aturan. Masalahnya, hingga kini, kita belum mendengar ada sanksi bagi mereka.
Dengan menggunakan telaah rasionalitas oleh Steven Griggs tadi, ketidaklestarian pengelolaan hutan produksi bisa kita lihat sebagai hasil keputusan rasional pengusaha. Ini upaya rasional mencapai maksimisasi manfaat. Artinya, walaupun keputusan itu melanggar aturan, para pengusaha tetap melakukannya karena melihat manfaatnya lebih besar daripada biaya atau pengorbanannya.
Dengan fakta ratusan perusahaan hutan yang sudah tidak beroperasi menunjukkan dalam penetapan kebijakan tidak lagi bisa memakai jalan pintas universal, sambil mengesampingkan ketidakpastian transaksi yang ditelaah dalam pengambilan keputusan.
Artinya, pendekatan teknis dan administrasi dalam menetapkan kelestarian hutan perlu dilengkapi dengan telaah kelembagaan yang memungkinkan peraturan bisa berjalan. Demikian pula dalam pendidikan kehutanan. Ia perlu penyempurnaan materi ajar terkait pengelolaan hutan lestari yang memadukannya dengan telaah atas teori pilihan rasional.
Ikuti percakapan tentang pengelolaan hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :