SEBAGAI negara tropis yang mengalami dua musim, hujan dan kemarau, Indonesia rentan terdampak bencana banjir dan longsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Sampai akhir Maret 2023 saja, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah mencatat lebih dari 300 kejadian banjir di Indonesia, atau dengan kata lain rata-rata setiap bulan terjadi lebih dari 100 kali banjir. Sementara untuk kejadian longsor, dalam kurun waktu yang sama BNPB “hanya” mencatat 134 kejadian.
Banjir bandang yang dipicu hujan, sering dianggap sebagai banjir dengan eskalasi yang lebih besar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat. Sementara itu, banjir bandang didefinisikan sebagai banjir besar yang datang dengan tiba-tiba dan mengalir deras menghanyutkan benda-benda besar (kayu dan sebagainya); sering disebut juga air bah.
Kenyataannya, banjir dan banjir bandang adalah jenis bencana yang berbeda. Dalam buku “Petunjuk Tindakan dan Sistem Mitigasi Banjir Bandang” yang ditulis Mulyanto, Parikesit, and Utomo (2012), disebutkan bahwa banjir bandang adalah penggenangan akibat debit sungai yang membesar secara tiba-tiba, berlangsung cepat dan membawa debris. Debris adalah tumpukan pecahan batu atau reruntuhan akibat erosi. Dalam konteks banjir bandang, debris berarti batu, batang atau akar pohon, tanah dan lumpur yang berasal dari longsoran yang terbawa oleh aliran air dan akhirnya menyumbat/membendung aliran sungai.
Selain material tanah dan bebatuan, sumbatan di hulu sungai saat banjir bisa berasal dari batang pohon yang tumbang yang melintang badan sungai yang umumnya mempunyai bentuk penampang seperti huruf “V”. Sumbatan ini mengakibatkan aliran sungai terbendung dan membentuk kolam-kolam alami. Ketika sumbatan/bendungan alami yang terbentuk tidak mampu lagi menahan tekanan air akibat penambahan air di kolam-kolam tersebut terutama ketika turun hujan di daerah hulu, bendungan alami ini kemudian runtuh.
Runtuhnya bendungan mengakibatkan massa air yang besar bercampur dengan material sumbatan aliran air mengalir ke bawah dengan kekuatan besar yang bisa menarik tebing-tebing di kiri dan kanan sungai dan terakumulasi menjadi kekuatan aliran air dengan daya rusak yang tinggi. Jadi secara lebih sederhana, banjir bandang terjadi sebagai akibat runtuhnya penyumbat alami pada suatu aliran sungai. Hal inilah yang menyebabkan kejadian banjir bandang selalu sangat singkat, tetapi justru mengakibatkan korban yang besar.
Pembalakan liar acap jadi penyebab banjir bandang, karena umumnya material yang terbawa banjir bandang berupa batang pohon. Bekas-bekas gergajian, atau batang tanpa akar biasanya menunjukkan bahwa batang pohon tersebut sisa pembalakan, sedangkan pohon yang masih ada akarnya biasanya merupakan proses tumbang alami, atau tumbang terbawa longsoran tebing. Tidak seperti banjir yang bisa diprediksi kapan terjadinya, kejadian banjir bandang tidak dapat diketahui secara tepat, karena banjir bandang tidak selalu didahului dengan hujan di bagian hulunya.
Volume air yang tertahan pada bendungan alami menentukan waktu bendungan runtuh. Sayangnya menemukan lokasi aliran yang tersumbat pun tidak mudah. Penyebabnya bisa karena jauh dari permukiman atau di tengah hutan yang tidak ada aksesnya.
Pembelajaran menarik banjir bandang ada di Sumatera Barat. Masyarakat di Sumatera Barat mengenal banjir bandang dengan sebutan “galodo”. Sumatera Barat sering mengalami galodo karena lanskapnya perbukitan dengan kelerengan curam disertai curah hujan tinggi.
Dengan pengetahuan akan lanskap seperti itu, maka mitigasinya dimulai dengan peta daerah rentan banjir, longsor, dan wilayah-wilayah dengan curah hujan tinggi. Untuk lebih mempersempit lokasi pengamatan, pengamatan hanya dilakukan pada daerah dengan potensi longsor di kiri dan kanan sungai. Bentuk sungai yang berkelok dengan kemiringan yang terjal menjadi daerah yang rentan terjadi pembendungan sebagai awal proses terjadinya banjir bandang.
Peta-peta bencana wilayah rentan banjir bandang dapat dipakai untuk mengedukasi masyarakat mengenai apa dan bagaimana memitigasinya. Paling penting kepada siapa masyarakat harus melapor apabila menemukan tanda-tanda banjir bandang.
Masyarakat perlu diedukasi dengan memperhatikan kondisi sungai. Alur sungai yang pada bagian hulunya tersumbat akan berbeda dengan alur-alur sungai tanpa sumbatan. Di Sumatera Barat, sungai alirannya tetap jernih atau tidak meningkat alirannya walaupun hujan lebat di hulu. Ini ciri sungai yang tersumbat.
Apabila keadaan itu terjadi, masyarakat perlu melakukan susur sungai untuk mencari sumbatan. Kegiatan susur sungai tersebut juga tidak akan mudah, karena sebagian besar lokasi sumbatan berada pada lokasi yang jauh dari permukiman. Beberapa kegiatan memitigasi banjir bandang:
- Memberdayakan masyarakat untuk selalu mengamati keadaan alur sungai di sekitar permukiman, terutama jika daerah tersebut rentan banjir bandang,
- Mengecek kemungkinan sumbatan pada salah satu alur yang dengan cara patroli rutin, sehingga pihak dan susur sungai,
- Memanfaatkan citra satelit atau drone untuk mencari lokasi yang memungkinkan sumbatan, sehingga mempermudah susur sungai apabila ada laporan dari masyarakat,
- Membentuk satuan tugas penanganan banjir bandang di daerah kabupaten/kota untuk menindaklanjuti laporan masyarakat.
Banjir bandang mungkin tidak bisa dihindari. Namun, dengan kewaspadaan dan pengetahuan cukup, banjir bandang bisa diantisipasi dan dampaknya bisa ditekan sekecil mungkin. Kuncinya adalah kerja sama masyarakat dengan pihak-pihak terkait seperti pemerintah daerah, BNPB/BPBD maupun lembaga swadaya masyarakat.
Ikuti pembahasan tentang banjir bandang di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti pada Kelompok Riset Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu dan Kebencanaan, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :