KITA mafhum rokok membawa dampak negatif bagi kesehatan. Di masa krisis iklim, rokok juga berdampak bagi lingkungan. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), ada 4,5 triliun puntung rokok secara global setahun. Artinya, itu sampah. Sampah toksik bagi lingkungan bahkan merusak atmosfer karena menghasilkan metana yang 30 kali lipat lebih berbahaya dibanding gas rumah kaca karbon dioksida.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan tanaman tembakau salah satu dari sepuluh tanaman yang paling banyak memerlukan pupuk kimia yang mengandung nitrogen tinggi. Penggunaan pupuk kimia, seperti kita baca dalam buku Silent Springs Rachel Carson, membunuh organisme dalam tanah yang ujungnya membunuh burung-burung. Akibatnya, musim semi menjadi sepi.
Data South East Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) menyebutkan 206 ribu hektare lahan di Indonesia terpakai sebagai lahan tembakau. Artinya, seluas itu pula tanah yang terpapar pupuk kimia yang berbahaya bagi atmosfer karena menjadi gas nitrogen dioksida, salah satu gas rumah kaca pemicu krisis iklim.
Nitrogen dalam tanah yang tidak bercampur dengan udara pun berisiko tercampur air hujan dan terbawa ke sungai dan danau. Kadar nitrogen dalam air berlebih dapat merusak ekosistem air dan menyebabkan pertumbuhan tanaman air seperti eceng gondok menjadi tidak terkendali. Tanaman yang terlalu banyak di permukaan air dapat mengganggu bahkan membunuh ikan-ikan dan makhluk hidup lain di air.
Ketika daun tembakau siap panen, sebelum menjadi rokok, daun tembakau harus dikeringkan. Secara alamiah, proses ini mengandalkan sinar matahari. Namun karena perubahan iklim dan perubahan musim, kini banyak petani melakukan pengasapan (fire curing) dan flue curing untuk mengeringkan daun tembakau.
Teknik pengasapan tentu merusak lingkungan karena umumnya menggunakan kayu sebagai bahan bakar utama dan menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah banyak. Selain merusak tanah, tanaman tembakau juga berdampak negatif bagi lingkungan. Menurut FAO (2015) hutan yang hilang akibat pertanian tembakau seluas 500.000 hektare secara global.
Setelah jadi rokok, puntungnya menjadi sampah dan kembali merusak lingkungan. Jadi, dari ujung-ke-ujung rokok dan produk tembakau merusak lingkungan. Maka, di Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 31 Mei tahun ini, semestinya kita sadar bahwa rokok dan tembakau tak hanya merusak kesehatan, juga lingkungan yang menambah beban dan dampak krisis iklim.
Rupanya, industri rokok sadar dengan segala dampak lingkungan produk mereka. Karena itu mereka membuat program “trees for life” dengan menanam 162.000 pohon trembesi di Jawa dan Sumatera yang diperkirakan menyerap 4,2 juta ton setara karbon dioksida. Trembesi adalah pohon yang menyerap emisi karbon paling banyak dibanding pohon lain.
Dalam ilmu komunikasi dan pemasaran, program menanam pohon ini masuk kategori greenwashing. Greenwashing adalah kegiatan perusahaan untuk memberikan citra mereka bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang mereka lakukan, padahal mereka lari dari tanggung jawab sebenarnya.
Maka beberapa lembaga swadaya coba memberikan edukasi agar petani beralih ke tanaman lain. Muhammadiyah Tobacco Control Centre Universitas Muhammadiyah Magelang rutin mengedukasi petani tembakau untuk mengalihkan lahan pertanian yang mereka miliki agar ditanami tanaman lain yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu petani yang berhasil beralih tanam adalah Istanto, penduduk Windusari di Magelang, Jawa Tengah. Istanto kini beralih menanam ubi dan pendapatannya naik dibanding dengan pendapatan tembakau.
Secara peraturan, pemerintah Indonesia sudah berupaya membantu petani melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Sayangnya, DBHCHT sejauh ini masih banyak digunakan untuk membantu petani membeli pupuk dan bibit tembakau, hanya sedikit yang digunakan untuk alih tanam.
Dalam perspektif lingkungan, kita mengenal 3R, reduce (kurangi), reuse (gunakan ulang), dan recycle (daur ulang). Artinya, mengurangi konsumsi produk tembakau dalam bentuk rokok akan mengurangi dampak negatifnya bagi lingkungan dan kesehatan. Karena itu stop merokok sekarang juga. Untuk bumi yang lestari!
Ikuti percakapan tentang Hari Tanpa Tembakau Sedunia di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pegiat Kolaborasi Bumi Indonesia
Topik :