Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 09 Juni 2023

Kemitraan Konservasi dalam FOLU Net Sink 2030

Kemitraan konservasi bisa menjadi andalan FOLU net sink. Apa kendalanya?

Kemitraan konservasi Wakul Lani di Taman Nasional Gunung Rinjani (Foto: Marcellinus Utomo)

UJUNG tombak kebijakan mitigasi perubahan iklim pemerintah Indonesia di sektor kehutanan adalah FOLU net sink 2030. Targetnya cukup ambisius: menghasilkan karbon negatif 140 juta ton pada 2030. Kemitraan konservasi bisa menjadi salah satu andalan mencapainya.

Pilar kegiatan FOLU net sink adalah konservasi sumber daya hutan, melalui pencegahan deforestasi lahan mineral seluas 172.495 hektare di sembilan cagar alam, tujuh suaka marga satwa, delapan taman nasional, dua kawasan suaka alam, dan dua taman hutan raya. 

Konstruksi Kayu

Strategi kedua FOLU net sink berupa pencegahan deforestasi di rawa gambut seluas 224.467 hektare, yang meliputi dua cagar alam, enam suaka marga satwa, lima taman nasional, satu taman wisata alam, dan tiga kawasan suaka alam.

Cara ketiga adalah pengayaan hutan alam dalam rencana operasoinal ke-5 seluas 450 hektare yang meliputi tiga cagar alam dan tiga taman nasional. Lalu cara keempat adalah peningkatan cadangan karbon tanpa rotasi di rencana operasional ke-8 seluas 653.989 hektare meliputi 13 cagar alam, sebelas suaka marga satwa, dua taman wisata alam, tiga kawasan suaka alam, delama taman nasional, dan dua taman hutan raya.

Restorasi rawa gambut dalam rencana operasional ke-10 seluas 9.446 hektare yang meliputi tiga cagar alam, satu suaka marga satwa, satu taman wisata alam, dan lima taman nasional. Sementara perlindungan areal bernilai konservasi tinggi dalam rencana operasional ke-11 seluas 39.689.111 hektare meliputi hutan produksi, hutan lindung, dan area penggunaan lain.

Di mana posisi kemitraan konservasi? Peraturan Direktur Jendera Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Nomor 6/2018, bisa menjadi payung hukum aktivitas pemanfaatan sumber daya alam nonkayu bagi masyarakat yang bermitra dengan Balai Taman Nasional.

Payung hukum ini juga yang menjadikan hubungan antara staf taman nasional dengan masyarakat menjadi lebih cair karena ada pintu kolaborasi. Ekstraksi hasil hutan bukan kayu yang mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat mendorong mereka melindungi sumber daya hutan.

Untuk wilayah taman nasional yang telah rusak, bentuk kemitraan konservasi dapat berupa pemulihan ekosistem, berupa penanaman jenis tanaman asli. Kemitraan konservasi Gawah Gantar di Desa Sajang, Sembalun, Lombok Timur dan kemitraan konservasi Wakul Lani di Desa Toya Nusa Tenggara Barat, bisa menjadi contoh.

Dalam Bahasa Sasak, gawah berarti hutan, gantar berarti tangga, wakul berarti rotan, dan lani berarti madu. Kedua jenis kemitraan konservasi ini memiliki perjanjian kerja sama dengan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di zona tradisional yang bersebelahan dengan wilayah desa, tanpa ada penyangga seperti hutan lindung atau hutan produksi. 

Konsekuensinya, aktivitas masyarakat di kedua desa ini akan menekan keberadaan hutan konservasi di taman nasional. Ini menjadi tipikal batas TN di wilayah timur.  Masyarakat sudah lama memanfaatkan hasil bukan katu di wilayah ini seperti pakan ternak, rotan jernang, jamur, kemiri, atau madu hutan. 

Dari observasi dan wawancara dengan para pihak di sana, ada beberapa titik krusial agar suatu konservasi lestari: 

Pertama, modal masyarakat sekitar hutan. Modalitas itu terdiri dari dua hal, yakni etos kerja/keuletan (instrinsik) dan kepemilikan lahan (ekstrinsik), terutama kepemilikan lahan yang subur. Faktor pertama ini sangat berpengaruh dalam membentuk hubungan masyarakat dan hutan dalam kemitraan konservasi dan pelestarian hutan.

Di Desa Sajang kami bertemu dengan salah satu anggota KTH, Gusti, yang ulet dalam merawat lahan wanatani sehingga hasil komoditasnya memuaskan. Pohon durian berbuah lebat berpadu dengan tanaman kopi arabika dan robustanya. Gusti adalah local champion yang bisa menginspirasi anggota kemitraan konservasi yang lain.

Faktor kedua, kepemilikan lahan yang menjadi simpul krusial bagi kelestarian hutan, terutama wilayah hutan yang langsung berbatasan dengan lahan milik. Dengan memiliki lahan garapan milik pribadi yang produktif, ketergantungan pada hutan akan berkurang sehingga interaksi ke dalam hutan menjadi tidak intensif. 

Para mitra konservasi di Desa Sajang memiliki lahan pribadi dalam jumlah yang relatif luas, sehingga rumput pakan ternak tidak selalu menggantungkan pada wilayah taman nasional. Di musim penghujan, rumput di lahan pribadi cukup memenuhi kebutuhan ternak sapi mereka. 

Kondisi yang bertolak belakang terjadi dalam kemitraan konservasi Wakul Lani. Ketua KTH Wakul Lani menjelaskan bahwa 70% lahan sudah tidak lagi menjadi milik warga sekitar hutan karena transaksi jual-beli di masa lalu. Cucu mantan tuan tanah menjelaskan bahwa dahulu kakeknya menukar tanah dengan beberapa karung singkong. Tanpa tanah garapan, masyarakat menjadi lebih bergantung menjadi buruh serabutan atau bekerja menjadi pekerja migran ke Malaysia.

Melihat fakta ini, mengamankan hutan perlu sinergi banyak aktor, terutama aktor di luar pihak kehutanan dalam mengupayakan agar lahan-lahan masyarakat tidak dengan mudah diperjualbelikan agar secara modalitas masyarakat sekitar hutan tetap kuat. Studi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Lombok Timur berfokus pada fenomena semakin banyaknya sawah masyarakat sekitar Sembalun terbeli untuk investasi pariwisata. 

Kedua, kepercayaan yang terbangun dalam kemitraan konservasi harus dibarengi dengan pendekatan yang terukur. Patroli rutin menunjukkan bahwa teritori di bawah penjagaan yang serius. Pelibatan kelompok masyarakat peduli hutan dan masyarakat mitra polisi hutan menjadi andalan dalam mengamankan hutan.

Ketiga, optimalisasi pemasaran dan pengolahan hasil hutan bukan kayu bernilai tinggi. Beberapa jenis komoditas seperti kemiri memiliki potensi menjadi minyak yang memiliki nilai tinggi. Kendala utama pengembangan hasil hutan ini adalah keterbatasan kapasitas dan kurangnya semangat masyarakat dalam mencoba kegiatan produksi. Selain itu, saluran-saluran pemasaran baru juga belum muncul agar masyarakat memiliki opsi untuk memasarkan hasil panennya dengan harga yang lebih baik. Kehadiran local champion bisa menjadi cermin dan pemantik semangat bagi para anggota kemitraan konservasi lain.

Keempat, kekuatan pendanaan. Setiap tujuan pasti membutuhkan biaya. Operasional pengamanan, penguatan kapasitas kelembagaan, dan kapasitas pengelolaan sumber daya hutan memerlukan dukungan biaya yang pemanfaatannya berbasis capaian dan akuntabilitas.

Dengan empat faktor tadi, kemitraan konservasi akan menyumbang capaian FOLU net sink berbasis pemberdayaan masyarakat yang mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial berupa redanya konflik pemanfaatan hutan dengan paratur negara. Manfaat sosial dan ekonomi akan dengan sendirinya mengurangi tekanan pada hutan yang akan meningkatkan nilai ekonomi sumber daya alam.

Ikuti percakapan tentang kemitraan konservasi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti senior di Pusat Penelitian Komunitas dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional

Peneliti prinsipal di Pusat Riset Komunitas dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional

Profesor riset di Pusat Riset Komunitas dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain