DUNIA memasuki kepunahan keenam. Para ahli memprediksinya dari gejala makin banyaknya populasi satwa yang hilang dalam dua abad terakhir.
Kepunahan kelima terjadi 66 juta tahun lalu, saat meteor dan pelbagai bencana menghantam bumi menewaskan 75% makhluk, termasuk dinosaurus. Jauh sebelumnya, sekitar 251 juta tahun lalu, juga terjadi kepunahan massal yang dikenal sebagai The Great Dying dan menghempaskan 95% kehidupan.
Sejatinya, kepunahan adalah hal yang wajar terjadi. Sebab, kepunahan memainkan peran penting dalam evolusi dan adaptasi. Sayangnya, kepunahan massal keenam yang kini kita hadapi datang dan melaju terlalu cepat dan terjadi akibat faktor nonalamiah, melainkan oleh aktivitas manusia. Saat ini laju kepunahan spesies 1.000 hingga 10.000 lebih cepat dari laju kepunahan seharusnya.
Saat ini, 48% dari 71.000 spesies satwa turun jumlahnya. Penelitian terbaru soal gejala kepunahan massal dengan judul More Losers than Winners: Investigating Anthropocene Defaunation Through the Diversity of Population Trends di Biological Reviews pada Mei 2023.
Penelitian itu berfokus melihat kondisi satwa berdasarkan perkembangan populasinya dari waktu ke waktu: menurun, tetap, atau meningkat. Para peneliti menganalisis 71.000 spesies satwa yang berasal dari lima grup vertebrata, mamalia, burung, reptil, amfibi, dan ikan, serta serangga.
Jika melihat status IUCN, ada 42.100 spesies yang terancam punah. Jumlah tersebut sekitar 28% dari semua spesies yang diteliti. Jika melihat tren perkembangan populasinya, kita akan melihat hasil yang berbeda.
Berdasarkan studi terbaru tersebut, 48% spesies mengalami penurunan, 49% berada dalam kondisi stabil, dan hanya 3% spesies yang meningkat. Kebanyakan penurunan spesies tersebut terjadi di daerah tropis, salah satunya Indonesia.
Hal menarik, sekaligus mengerikan, sepertiga satwa yang kita perkirakan aman (belum masuk daftar terancam punah), ternyata jumlahnya menurun. Berita baiknya, dengan mengetahui fakta ini lebih cepat, kita bisa menentukan tindakan preventif untuk mencegah spesies tersebut masuk ke daftar terancam punah.
Hal lain yang perlu diperhatikan dari penelitian ini adalah data. Meski sudah mengumpulkan data dari 71.000 spesies, masih banyak spesies hewan yang tidak memiliki data, khususnya di daerah tropis. Hal ini membuat peneliti kebingungan melakukan analisis dan membuat kita jadi tidak mengetahui perkembangan spesies tersebut.
Sebagai contoh, 54% spesies serangga jumlahnya menurun secara global. Kebanyakan spesies tersebut merupakan polinator penting bagi 75% tanaman pangan di bumi.
Sekarang ada lebih dari 1 juta spesies serangga yang teridentifikasi. Di luar itu, masih ada 4,5-7 juta spesies serangga yang belum diketahui. Artinya, masih ada banyak spesies yang tak bisa dianalisis perkembangannya. Tapi satu hal yang pasti, menurut peneliti, sebagian besar spesies serangga kemungkinan besar akan punah.
Kepunahan itu tak lepas dari aktivitas manusia. Perburuan liar, perdagangan satwa ilegal, kerusakan dan fragmentasi habitat, konflik manusia dan satwa liar, perubahan iklim, pemakaian bahan kimia untuk pertanian, dan aktivitas lainnya telah menyusutkan habitat satwa dan membuat angka harapan hidup satwa menurun drastis.
Di Indonesia, konversi lahan di pulau Jawa mendorong menurunnya populasi badak Jawa. Jumlah badak Jawa kini tinggal 100 individu dan hanya bisa ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Hal serupa juga terjadi dengan badak Sumatera, yang populasinya juga kurang dari 100 individu. Tak heran jika mereka berdua ada spesies badak paling langka dari 5 spesies badak di dunia.
Tak hanya badak, deforestasi dan degradasi lahan juga mendorong spesies asli Indonesia lainnya di ujung kepunahan. Sebut saja harimau Sumatera, kukang Jawa, komodo. Berdasarkan laporan IUCN 2021, setidaknya ada 189 spesies satwa di Indonesia yang berstatus kritis terancam punah (critically endangered).
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :