SALAH satu fungsi kawasan hutan yang pasti mengalami deforestasi, secara cepat atau lambat, adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Secara regulasi, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang perencanaan kehutanan, pasal 24 ayat (3c) menyebutkan HPK secara ruang dicadangkan untuk pengembangan transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan. Dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, pasal 31 ayat (3d) HPK dicadangkan untuk kegiatan lebih luas, tidak terbatas pada transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, tetapi juga pada kegiatan industri, infrastruktur proyek strategis nasional), pemulihan nasional dan ketahanan pangan (food estate) dan energi serta tanah obyek reforma agraria (TORA).
Proses dan mekanisme perubahan HPK untuk pembangunan nonkehutanan melalui perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dan permanen melalui kegiatan pelepasan kawasan hutan yang tidak produktif, setelah ada penelitian terpadu yang timnya dibentuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Berdasarkan pertimbangan hasil penelitian dapat direkomendasikan pemerintah bisa melepaskan kawasan hutan sebagian atau seluruhnya atau menolak permohonan pelepasan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan dilengkapi kajian lingkungan hidup strategis yang disusun oleh pemrakarsa kegiatan.
Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020”, luas hutan Indonesia 120,3 juta hektare, yang terdiri dari 22,9 juta hektare hutan konservasi, 29,6 juta hektare hutan lindung, 26,8 juta hektare hutan produksi terbatas, 29,2 juta hektare hutan produksi biasa dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversi. Dari luas HPK 12, 8 juta hektare, komposisinya adalah tidak berhutan 6,5 juta hektare dan yang berhutan 6,3 juta hektare. Dari 6,3 juta hektare yang berhutan hanya 2,5 juta ha hutan primer dan 3,8 juta hektare hutan sekunder.
Mestinya hutan produksi yang dapat dikonversi merupakan pintu masuk (entry point) bagi pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan nonkehutanan yang membutuhkan lahan cukup luas. Faktanya, kawasan hutan produksi tetap, bahkan hutan lindung dan hutan konservasi banyak dilepaskan menjadi konsesi maupun masyarakat untuk perkebunan secara ilegal.
Kasus-kasus penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan nonkehutanan sering terjadi kontroversi disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
Pertama, penentuan kriteria kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, tetap, dan konversi) kurang jelas skornya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 /1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, pasal 3 hanya menyebut istilah hutan produksi, yakni kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor.
Untuk kepentingan penetapan kriteria dalam pembagian fungsi hutan produksi ada di Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/81 tentang kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi dengan menggunakan faktor penentu kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan.
Kriteria pembagian hutan produksi hanya ada dua, yakni hutan produksi terbatas (HPT) dengan skor antara 125 -175 dan hutan produksi biasa (HPB) dengan skor kurang dari 125. Dalam keputusan Menteri Pertanian ini tidak disebutkan soal HPK. Padahal di era 1980-an, pemerintah banyak menggunakan lahan hutan untuk kegiatan pembangunan nonkehutanan, seperti transmigrasi, perkebunan kelapa/kelapa sawit, pencetakan sawah baru dan sejenisnya. Di sisi lain, di periode itu ada pembagian kawasan fungsi hutan, dari lindung, suaka alam, cagar alam, taman nasional, dan lain-lain, di tiap provinsi.
Pemetaan itu sudah memuat HPK. Kriteria penentuan HPK adalah hutan produksi biasa yang yang skornya di bawah 125 dan terletak dan berbatasan dengan kawasan hutan.
Kedua, setelah terbitnya UU 41/1999 tentang kehutanan yang diikuti terbitnya PP 44/2004, secara tersurat hutan produksi yang dapat dikonversi disebut. Hanya saja pengertian hutan produksi biasa/tetap (HPB) dan hutan produksi yang dapat dikonversi skornya belum juga jelas.
Dalam PP ini disebut bahwa HPB adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai di bawah 125, di luar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru. Sedangkan HPK adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai 124 atau kurang, di luar hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara HPB dan HPK.
Ketiga, dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan ada perubahan mendasar tentang pembagian hutan produksi. Di pasal 31 ayat (c dan d), hutan produksi hanya dibagi dua, yakni HPB dan HPK. Sementara hutan produksi terbatas (HPT) dihapus dan dilebur dengan HPB.
HPT menjadi HPB, apabila memenuhi kriteria kawasan hutan dengan faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai kurang atau sama dengan 175 di luar kawasan lindung, suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Sementara HPK pengalinya 124.
Uniknya dalam PP baru, HPB dan HPK dapat dilepaskan apabila dimanfaatkan untuk proyek strategis nasional, pemulihan ekonomi nasional, pengadaan tanah food estate dan energi, pengadaan tanah untuk bencana ala, TORA, dan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki izin di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
Keempat, reduksi luas kawasan hutan Indonesia yang sudah terjadi sejak tahun 1970-an, yang dibuka bagi investor asing maupun domestik untuk membuka kebun secara besar-besaran (khususnya sawit, pencetakan sawah dan lahan transmigrasi) dengan membuka kawasan hutan melalui mekanisme alih fungsi kawasan hutan (pelepasan kawasan hutan) hingga saat ini belum dicatat dan didata sebagai luas pengurangan luas kawasan hutan. Padahal reduksi luas hutan khususnya yang bersifat permanen melalui pelepasan kawasan hutan yang sudah terjadi cukup lama.
Kelima, pembagian fungsi kawasan hutan (konservasi, lindung, dan hutan produksi) dalam kawasan hutan mangrove sudah tidak realistis dan tidak ada dasar hukumnya. Menurut PP 44/2004 tentang perencanaan hutan dan diubah dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, pembagian fungsi kawasan hutan (khususnya lindung dan produksi) hanya berlaku dalam kawasan hutan daratan yang didasarkan pada faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan. Sementara dalam kawasan hutan mangrove, faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan relatif sama.
Jadi apa dasar hukum untuk membedakan hutan lindung dan hutan produksi di hutan mangrove?
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :