Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 20 Juni 2023

Polemik Ekspor Pasir Laut

Ekspor pasir laut memicu polemik. Pemerintah bersikeras perlu ada pengelolaan sedimentasi di laut.

sampah pantai

PERATURAN Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut tengah menjadi perbincangan publik. Melalui peraturan ini, pemerintah membuka keran ekspor pasir laut yang sebelumnya dihentikan sejak 2003.

Penolakan atas kebijakan tersebut, salah satunya datang dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Ia menilai masih ada kebijakan lain yang lebih baik untuk diterbitkan, ketimbang mengizinkan ekspor pasir laut ke luar negeri.

"Daripada kalian keruk pasirnya dan kau ekspor, kenapa kalian tidak berpikir untuk pulau kalian sewakan saja 100 tahun seperti Hong Kong disewakan ke Inggris," tulis Susi.

Cuitan Susi itu merespons siaran pers Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang merangkum suara penolakan terhadap PP 26/2023 dari para nelayan. Ada puluhan nelayan dari Desa Suka Damai Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Riau, yang mendesak pemerintah menghentikan ancaman tambang pasir laut, terutama di Pulau Rupat.

“Cabut PP Nomor 26 Tahun 2023, lindungi wilayah tangkap nelayan, laut bukan ruang tambang,” tulis Walhi.

Andre, nelayan dari Dusun Suling, mengatakan penambangan pasir berdampak pada lingkungan dan menggerus pendapatan nelayan.

“Aktivitas penyedotan pasir laut membuat hasil tangkap nelayan turun drastis, apalagi jika mereka terus beroperasi hingga beberapa tahun nanti. Sudah pasti ikan habis, pulau kami pun rusak dan tenggelam,” ujar Andre diungkapkan oleh Walhi.

Potensi kerusakan lingkungan juga disampaikan oleh Anggota Komisi VII DPR RI Sartono. Ia mendesak pemerintah mencabut kebijakan ekspor pasir laut, karena akan menimbulkan kerusakan ekosistem laut, erosi pantai, gangguan kualitas air, serta berpotensi menenggelamkan pulau-pulau yang memiliki aktivitas pengerukan pasir laut.

“Tidak hanya pasir saja yang dieksploitasi, juga pulau-pulau sekitarnya itu. Selama ini kan kita tahu, berapa pulau hilang. Makanya pemerintah sebelumnya melarang ekspor pasir laut atau pengelolaan pasir laut. Sebab praktiknya, pulau di sekelilingnya bisa hilang,” tegas Sartono dalam TVR Parlemen.

Selain berdampak pada lingkungan dan masyarakat, kebijakan ini menuai kontroversi karena terbit demi mendorong pintu investasi asing ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Pemerintah sedang melobi investor Singapura agar menanamkan modal di IKN. Singapura tengah membutuhkan pasir untuk reklamasi meluaskan wilayah daratannya.

Namun Presiden Joko Widodo membantah tuduhan "barter" itu. “Tidak ada hubungannya. Ini sebetulnya adalah pasir sedimen yang mengganggu pelayaran dan terumbu karang. Ini rapat sudah banyak sekali, bolak-balik. Arahnya ke situ,” kata Jokowi dalam keterangannya (14/06/23).

Kritik lain adalah pengelolaan sedimentasi di laut bertentangan dengan kebijakan mitigasi krisis iklim. Dengan mengeruk sedimentasi, selain mengeruk pasirnya, juga akan melepaskan karbon biru yang tersimpan di dalam. Karbon biru adalah ekosistem karbon di mangrove dan padang lamun. Dua ekosistem ini menyimpan emisi karbon lima kali lebih kuat dibanding hutan daratan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklaim kebijakan ini juga mengamanatkan dilakukannya perlindungan dan rehabilitasi terhadap ekosistem dari hasil sedimentasi yang dikelola. 

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Victor G. Manoppo menyebut pengelolaan sedimentasi diperlukan untuk mengendalikan penurunan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut. 

"Jadi pemanfaatannya bukan sebatas untuk kepentingan pembangunan, juga perlindungan pada ekosistem dan amanat memanfaatkan hasil sedimentasi untuk rehabilitasi ekosistem di situ,“ kata Victor dalam rilis KKP pada 8 Juni 2023.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskannya kembali dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Senin lalu (12/6/2023). 

Trenggono mengklaim salah satu alasan pemerintah menerbitkan kebijakan ini adalah banyaknya keluhan masyarakat, khususnya para nelayan, yang terhambat produktivitasnya akibat alur sungai yang mereka lintasi mengalami pendangkalan imbas sedimentasi.  

Karena itu ia menegaskan pemerintah akan tetap menjalankan kebijakan ini. Sebagai tindak lanjut dari PP, pemerintah akan membentuk Tim Kajian yang bertugas menyusun dokumen perencanaan pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang berisikan sebaran lokasi prioritas, jenis mineral, dan volume hasil sedimentasi.

"Di PP itu dikatakan untuk menentukan apakah dia (material) sedimentasi, harus ada Tim Kajian. Dibentuk dulu. Siapa isinya? KKP, Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pushidrosal, Kementerian Perhubungan, pemerintah daerah, lembaga lingkungan," kata Trenggono rilis KKP pada 12 Juni 2023

Ikuti percakapan tentang ekspor pasir laut di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain