KONSEP mengurangi emisi karbon dari degradasi dan deforestasi hutan (REDD+) berupa kegiatan menjaga hutan sehingga aktivitas itu menghasilkan jasa yang bisa menyerap karbon di atmosfer. Kegiatan ini pada akhirnya ditujukan untuk mencegah krisis iklim, yakni naiknya suhu permukaan bumi yang menyebabkan pelbagai bencana, yang sedang kita hadapi saat ini.
Dari kegiatan itu pelaku usahanya mendapat kompensasi sebanyak karbon yang dapat diserap. Upaya seperti itu menyamakan serapan karbon dengan pohon sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Untung-rugi penjual pohon atau karbon pun bergantung pada biaya untuk aktivitas tersebut dan kompensasinya.
Dalam praktiknya, terutama dalam skala yang luas, ada banyak faktor yang akan menentukan kegagalan atau keberhasilannya. Baik-buruknya tata kelola, misalnya, akan menentukan keberhasilan kegiatan menjaga hutan.
Masalahnya, dalam suatu proses yang melibatkan kepentingan dan pihak-pihak tertentu, tujuan yang baik bagi publik dan berjangka panjang tersebut bisa tereduksi oleh kepentingan individu berjangka pendek. Publik juga cenderung hanya memperhatikan hasil akhir atau kesimpulannya, kurang mencermati kerangka pemikiran atau metodologi di balik prosesnya.
Dalam “The Politics of Deforestation and REDD+ in Indonesia” (2023), David Aled William menyebut beberapa hal yang menjadi persoalan REDD+ tersebut, antara lain:
Pertama, hubungan penjual dan pembeli. Pada September 2021, dua tahun setelah Norwegia setuju membayar Indonesia US$ 56 juta untuk mencegah emisi 11,23 juta ton setara karbon dioksida (CO2) melalui pengurangan laju deforestasi pada tahun 2017, pemerintah Indonesia membatalkan perjanjian jangka panjang REDD+. Namun, pada awal Oktober 2022, kedua negara kembali bersepakat menjalin kerja sama perdagangan karbon.
Alasan pembatalan perdagangan karbon Indonesia-Norwegia adalah karena pemerintah Norwegia ingin mengawasi pengeluaran pembayaran REDD+ melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), termasuk melalui tinjauan mereka sendiri, kunjungan lapangan, dan evaluasi. Pemerintah Indonesia menganggap permintaan itu sebagai penghinaan diplomatik karena Indonesia dianggap sama dengan lembaga nonpemerintah penerima hibah dari pada negara berdaulat, yang telah menunjukkan pencapaian penting dalam mengurangi laju deforestasi.
Saat itu, Indonesia tidak hanya menarik diri dari perjanjian, juga berusaha menghentikan lusinan bahkan ratusan proyek lingkungan oleh kelompok masyarakat sipil yang telah berkumpul di sekitar jalur utama hubungan Norwegia–Indonesia. Karena itu dalam kesepakatan baru tidak menyebut dukungan untuk masyarakat sipil dan kelompok masyarakat lokal dan adat, yang keduanya dilibatkan dalam naskah kerja sama sebelumnya.
Kedua, kesetaraan. Keinginan Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas sepenuhnya dapat dipertahankan dan bahkan patut dipuji. Namun, David Aled Williams menyebut, dengan latar belakang ilmu iklim, jalur yang berorientasi ekstraktif, penghasil karbon, tetap berpotensi menimbulkan ketimpangan. Deforestasi juga masih terjadi di daerah tropis lain, seperti Brasil dan Kongo.
Ketiga, program unggulan. Meskipun REDD+ di Indonesia pernah memiliki pendukung, masih ada penentangan cukup besar. Dukungan terkuat untuk REDD+ muncul dari Badan REDD+ Nasional multipihak dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, terutama mereka yang fokus pada isu lingkungan. Namun, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tampak kurang memperlakukan REDD+ sebagai program unggulan.
Keempat, ongkos politik. Sumber daya alam masih menjadi objek dan sasaran pembiayaan dalam pemilihan anggota legislatif maupun pimpinan daerah. Partai politik di Indonesia mengenakan biaya tinggi kepada calon kandidat jabatan politik sebagai imbalan atas dukungan mereka. Diperkirakan harga satu kursi di parlemen bisa senilai Rp 1 miliar, sementara seorang calon gubernur dilaporkan membayar Rp 40 miliar untuk mendapat dukungan satu partai.
Dengan mengacu pada laporan investigasi Proyek Gecko (2018), David Aled Williams menyebut sistem yang mahal itu memberi insentif kepada kandidat jabatan politik untuk menyetujui pengaturan quid pro quo atau barter dengan pelaku bisnis. Mereka bisa bertukar dukungan keuangan untuk keputusan probisnis setelah mereka terpilih.
Dalam dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan laju deforestasi di Indonesia kini menjadi perhatian keras dunia internasional. Melegakan, karena dari agregat secara nasional angka-angka deforestasi menurun. Menteri menyebut bahwa pada 2022, Indonesia mengalami deforestasi seluas 107 ribu hektare. Sebelumnya, pada 2015, angka deforestasi mencapai 1,09 juta hektare. Kemudian 2019 menurun jadi 460 ribu hektare dan pada 2021 angka deforestasi Indonesia seluas 110 ribu hektare.
Kita tahu angka-angka lahir dengan cara berbeda. Pada gilirannya akan melahirkan pernyataan yang berbeda. Angka deforestasi secara agregat menggambarkan keadaan hutan kita secara umum. Namun, untuk membahas deforestasi di wilayah tertentu perlu angka deforestasi di wilayah tersebut. Sebab kondisi deforestasi berbeda-beda. Sehingga sebuah kebijakan untuk mencegahnya berbeda pula tidak wilayah.
Dalam hal deforestasi, pendekatan ilmu politik perlu menjadi jangkar dalam mengkomunikasikan kebijakan publik. Sebab, keberhasilan sebuah kebijakan acap gagal atau berhasil justru karena faktor-faktor nonteknis. Tanpa pendekatan politik, angka-angka deforestasi hanya memicu perdebatan karena dibuat dan ditinjau secara berbeda.
Dengan begitu, kebijakan perdagangan karbon dari penurunan deforestasi dan degradasi hutan, akan menjadi kebijakan yang baik tak hanya bagi lingkungan, tapi juga secara sosial dan ekonomi. Pada akhirnya, sebuah kebijakan publik akan bermanfaat tak hanya bagi hidup manusia, tapi juga bagi masa depan planet ini.
Ikuti percakapan tentang perdagangan karbon di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :