OTONOMI daerah sejak 2004, yang bertujuan membongkar sentralisme kekuasaan, berdampak cukup signifikan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Cita-cita desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat menyuburkan pembalakan liar, penambangan liar, hingga perkebunan liar, seperti kasus perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan.
Luas perkebunan sawit ilegal mencapai 3,4 juta hektare, yang terakumulasi sejak 1999. Perkebunan kelapa sawit berada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.
Dari 3,1 juta hektare, jika kita pakai data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 576.983 hektare sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta hektare, tak memohon izin pelepasan kawasan hutan.
Pemerintah coba menyelesaikan sengketa kebun sawit di kawasan hutan ini melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60/2012 yang diperbarui PP 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, namun tidak berhasil. Ada juga gagasan menggolongkan sawit sebagai tanaman kehutanan. Juga gagal.
Melalui UU Cipta Kerja dan PP 24/2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan, pemerintah coba mengurai kebun sawit ilegal dengan prinsip keadilan. PP itu mensyaratkan pemutihan sawit di kawasan hutan adalah inventarisasi: sesuai tata ruang dan tidak tumpang tindih.
Sawit yang tidak sesuai tata ruang dipilah dalam kelompok perkebunan yang punya izin tak ada izin. Sawit yang tak memiliki izin akan terkena sanksi administratif berupa denda.
Kebijakan denda administratif dalam kasus penguasaan hutan ilegal diatur dalam pasal 110A dan pasal 110B UU Cipta Kerja. Dengan pasal itu, pidana kejahatan hutan dikesampingkan (ultimum remedium) dan diganti dengan membayar denda yang akan menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Sejak 2021, Menteri LHK Siti Nurbaya menerbitkan 12 pucuk surat keputusan berisi daftar dan informasi tentang penguasaan hutan tanpa izin. SK terbaru pada 5 April 2023 lalu berisi 30 subjek hukum tambahan yang akan mendapat program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin.
Subjek hukum adalah istilah Kementerian LHK merujuk pada kelompok penguasa hutan ilegal, meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah. Sebelumnya, dalam 11 SK terdahulu, jumlah subjek hukum pengguna hutan tanpa izin ada sebanyak 2.671 subjek hukum.
Dengan demikian, saat ini ada 2.701 subjek hukum yang terdata di KLHK. Kawasan hutan itu umumnya telah dialihfungsikan secara ilegal menjadi kebun kelapa sawit. Lokasi penguasaan hutan ilegal terluas berada di Riau.
Menteri Siti Nurbaya menyebut dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR 13 Juni 2023, proyeksi PNBP dari denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai Rp 50 triliun. Penerapan denda kini ditangani Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara melalui Keputusan Presiden Nomor 9/2023 sejak 14 April 2023.
Masa kerja satuan tugas dibatasi hingga 30 September 2024. Satgas berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Presiden menetapkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan sebagai Ketua Pengarah. Sementara, Ketua Pelaksana Satgas yakni Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara.
Di tengah ekspektasi PNPB dari denda sawit dalam kawasan hutan, muncul regulasi anti deforestasi Uni Eropa (EUDDR) yang berlaku mulai 16 Mei 2023. Akibat regulasi ini membuat komoditas andalan Indonesia ke Uni Eropa dilarang masuk ke-27 negara anggota organisasi itu jika tidak lolos uji tuntas deforestasi.
Sudah tentu produk sawit dan turunannya yang berasal dan terindikasi denda akan masuk daftar tolak EUDDR. Jadi bagi subyek hukum pada kelompok penguasa hutan ilegal yang akan dikenai denda PNBP, akan terganggu neraca keuangannya akibat penjualan produk sawit yang tidak lagi semulus sebelumnya.
Dampaknya kemampuan membayar denda PNBP subyek hukum itu akan melemah atau menurun. Apalagi batas tenggang waktu masa kerja satuan tugas hanya setahun hingga 30 September 2024.
Menteri Luhut Pandjaitan mengatakan setelah pendataan ulang luas perkebunan sawit di Indonesia terkoreksi signifikan. Selama ini publik, mengetahui bahwa luas sawit di Indonesia adalah 14,60 juta hektar, setelah diaudit luas perkebunan kelapa sawit lebih dari 18 juta hektare.
Luhut Pandjaitan mengusulkan agar pemilik perkebunan sawit yang melanggar masuk hutan agar diberikan penalti langsung. Apabila mereka tidak bersedia, aset kebunnya diambil dan disita negara.
Jadi, tampaknya harapan mendapatkan PNBP Rp 50 triliun dari denda sawit di kawasan hutan masih jauh dari kenyataan. PP 24/2021 bisa jadi macan ompong yang tidak dapat dilaksanakan di lapangan.
Ikuti perkembangan sawit di kawasan hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :