Kabar Baru| 29 Mei 2019
Balai Gunung Ciremai Kembangkan Pertanian Sehat
Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang mengembangkan bioprospecting mikroba untuk meningkatkan produktivitas tanaman pertanian tanpa pupuk kimia dan pestisida. “Pengembangannya bekerja sama dengan Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor,” kata Kuswandono, Kepala Taman Nasional Ciremai, 29 Mei 2019.
Kuswandono menyebut proyek ini sebagai proyek menciptakan pertanian sehat di lahan-lahan di sekitar gunung tertinggi di Jawa Barat itu. Sebagai gunung tunggal, yang tak dikeliling oleh gunung lain di sekitarnya, Gunung Ciremai dikelilingi oleh 54 desa penyangga di Kabupaten Kuningan dan Majalengka yang hidup penduduknya mengandalkan pada hasil pertanian. “Hampir semuanya memakai kimia buatan untuk menyuburkan tanaman dan membasmi hama,” kata dia.
Pemakaian bahan kimia dan pestisida dalam waktu lama, tak hanya akan mengganggu keseimbangan alam karena bisa memunculkan spesies baru yang invasif, tapi juga berbahaya bagi manusia yang mengonsumsi hasil-hasil pertanian itu. Menurut Kuswandono, ketidakseimbangan itu pada akhirnya akan merembet ke luar kawasan taman nasional Ciremai.
Sejak 2017, Balai Gunung Ciremai mengajak kerja sama Departemen Proteksi Tanaman IPB meneliti mikroba yang bisa menggantikan bahan kimia dan pestisida itu. Ada 37 sampel yang dikumpulkan dari tanah, akar-akaran, dan daun dari berbagai tanaman untuk mendapatkan mikroba. Berdasarkan hasil isolasi, uji hemolysis, dan uji hipersensitif, dari sampel-sampel tersebut dihasilkan tiga kelompok mikroba yang berguna bagi tanaman.
Pertama, cendawan patogen serangga hama, khususnya kelompok wereng dan kutu-kutuan, yaitu cendawan Hirsutella sp dan Lecanicillium sp. Kedua, isolat bakteri pemacu pertumbuhan (Plant Growth Promoting Rhizobacteria, PGPR) yaitu C71 yang mampu meningkatkan panjang akar bibit tomat 42,35% dan meningkatkan daya kecambah sebesar 178%. PGPR tersebut juga mampu membuat tomat lebih tahan penyakit bercak daun. Ketiga, bakteri yang paling efektif dalam menekan dampak frost bagi tanaman, yaitu PGMJ 1 (asal Kemlandingan Gunung), dan A1 (asal Anggrek (Vanda sp)), keduanya dengan tingkat keefektifan 66,67%.
Uji coba lapangan dilakukan di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) wilayah I Kuningan, Desa Bandorasa Kulon, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, yang dimulai Agustus 2018. Percobaan pada cabai rawit, tomat, dan terong ungu menghasilkan indikator sebagai berikut:
- Cabai rawit, tomat, dan terong ungu pada perlakukan PGPR lebih tahan kekeringan dibanding dengan tanaman cabai rawit kontral (tanpa perlakuan)
- Tanaman cabai memiliki sistem perakaran yang lebih panjang, yaitu 13 sentimeter atau dua kali lipat tanaman kontrol pada usia 28 hari
- Umur tanaman lebih panjang, yaitu sembilan bulan masih segar dibandingkan tanaman kontrol yang pada usia enam bulan sudah tidak produktif lagi
- Pada tanaman cabai, selain pertumbuhan akar lebih panjang, daya tahan tanaman terhadap hama dan penyakit lebih tinggi khususnya antraknosa (busuk buah) dan virus kuning keriting, dibanding dengan tanaman kontrol
- Produksi cabai lebih banyak yaitu 200-250 gram per pohon di banding tanaman kontrol sebesar 100-125 gram.
Sedangkan uji coba di SPTN Wilayah II Majalengka pada demplot tanaman padi dan kentang di Desa Bantaragung, Kecamatan Rajagaluh Kabupaten Majalengka, menghasilkan indikator sebagai berikut:
- Padi lebih tahan serangan hama wereng coklat dibandingkan tanaman kontrol yang juga terserang hama wereng coklat yang sama
- Pertumbuhan padi lebih cepat tumbuhan dibandingkan tanaman kontrol
- Rumpun padi lebih banyak
- Hasil panen 50% lebih banyak dibandingkan tanaman kontrol
- Kentang lebih sehat dan tidak terserang penyakit
- Hasil panen lebih banyak dibandingkan dengan tanaman tanpa PGPR.
Dengan hasil-hasil tersebut, Kuswandono mengatakan bahwa mikroba berguna dari kawasan Gunung Ciremai bisa meningkatkan pertumbuhan, menyehatkan tanaman, dan meningkatkan produktivitas. Untuk mengatasi soal frost atau kegagalan tumbuh pada tanaman akibat suhu dingin, peneliti Ciremai dan IPB mengembangkan bakteri antifrost dari epifit tanaman dataran tinggi seperti Kemlandingan Gunung (Paraserianthes montana) dan anggrek hutan (Vanda sp.).
Bakteri epifitik pada tanaman tersebut merupakan bagian dari mekanisme adaptasi tanaman menghadapi cekaman suhu rendah maupun frost. “Penggunaan bakteri epifit asal tanaman dataran tinggi untuk menanggulangi frost pada tanaman, merupakan yang pertama di Indonesia bahkan di dunia,” kata Kuswandono.
Ia mengatakan kerja sama penelitian ini akan ditindaklanjuti dengan melibatkan lebih banyak peneliti dan lembaga agar bisa tersusu peta jalan karakteristik molekuler, pengujian, dan implementasi lapangan dalam skala yang lebih luas. “Soalnya hasil penelitian ini membutikan Gunung Ciremai sebagai bank genetika yang kaya dan penting,” kata Kuswandono.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :