PELAKSANAAN kebijakan publik pada umumnya berangkat dari peraturan-perundangan yang bisa diinterpretasikan sebagai suatu perintah. Pendekatan command and control itu bisa diinterpretasikan sebagai proses transaksi, yang gratis atau berbiaya mahal. Demikian juga yang terjadi dalam pemberian izin konsesi hutan.
Pendekatan biaya transaksi itu seperti layaknya transaksi di pasar. Jika persaingannya sempurna, biaya transaksinya nol. Ciri pasar yang bersaing sempurna adalah informasi tentang barang tersaji secara utuh dan terbuka. Sebaliknya, pasar yang tertutup akan memunculkan biaya mahal karena informasi dikuasai oleh satu pihak.
Para ekonom menyebut biaya transaksi sebagai faktor yang menghalangi pencapaian solusi terbaik atau optimal, yang kemudian dijabarkan berupa biaya atau pengorbanan untuk melakukan pencarian, mewujudkan negosiasi yang berhasil, atau penegakan peraturan yang mengikat atau menjalankan kontrak.
Dalam “The Problem of Transaction Costs” (1989) Pierre Schlag menyebut dalam suatu pelaksanaan regulasi, bila biaya transaksi berjumlah signifikan, yang harus dilakukan adalah memperbaiki regulasi dan memilih peraturan paling efektif untuk menekannya. Pola klasik biaya transaksi dalam perilaku atau kondisi dengan sebutan free rider, holdout, atau biaya negosiasi.
Bagi perusahaan, mengeluarkan biaya transaksi bisa menjadi cara menentukan kendali dalam pertukaran hukum. Sehingga tugas manajemen adalah menghilangkan biaya itu. Di Indonesia, agaknya ini sesuatu yang masih sulit.
Tidak seperti biaya produksi suatu barang, biaya transaksi akan terjadi ketika pihak kedua yang memproduksi barang (dalam hal ini swasta penerima izin) melakukan transaksi dengan pemilik barang (pemerintah pemberi izin). Biaya transaksi itu dapat berupa biaya pencarian informasi, biaya tawar-menawar, dan biaya pengambilan keputusan serta biaya menentukan kebijakan dan penegakannya. Dalam kondisi tertentu biaya ini berupa kompensasi pemenuhan keinginan pihak kedua.
Dalam pengusahaan hutan alam, pemerintah maupun swasta yang akan berinvestasi memerlukan informasi mengenai kondisi hutan. Atau biaya untuk mengetahui isi kebijakan yang memudahkan mereka. Sementara pemerintah mengeluarkan biaya untuk mengetahui kondisi lapangan serta kebijakan yang tepat termasuk biaya pengawasan dan penegakan hukum sesuai acuan perjanjian kerja yang sejalan dengan peraturan.
Dalam ilmu ekonomi institusi itu dikenal sebagai rasionalitas yang terikat (bounded rationality), yaitu keterbatasan kapasitas pemerintah memahami situasi yang sesungguhnya, yang membatasi faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Selain itu juga terdapat istilah oportunisme, yaitu tindakan demi kepentingan individu (bukan lembaga)—misalnya pengusaha hutan tidak mematuhi keharusan membatasi jumlah volume tebangan dan untuk pengawas dari pemerintah mendapat kompensasi dari pelanggaran itu.
Dalam jangka panjang situasi itu menyebabkan ketidakpastian dalam transaksi dan ketidakpercayaan antar pihak, walaupun dalam dunia nyata semuanya terlihat normal. Dua kondisi di bawah ini pernah saya teliti:
Pertama, dalam telaah mengenai biaya transaksi biasanya kita ingin mengetahui dampak biaya itu, misalnya dampak bagi kelestarian hutan alam produksi. Dampak itu bisa diketahui dengan menyajikan informasi mengenai frekuensi, seberapa sering transaksi semacam itu terjadi. Juga kondisi yang menyebabkan ketidakpastian. Misalnya hubungan kontraktual jangka panjang antara pemerintah dan swasta menjadi tidak jelas.
Bukti realitas itu kini adalah tak lagi beroperasinya sekitar 350 perusahaan konsesi hutan alam. Padahal, dulu, berdasarkan data potensi hutan yang tersedia secara teknis mestinya terwujud pengelolaan hutan secara lestari.
Kedua, pendekatan biaya transaksi juga bisa dipakai secara internal di dalam suatu perusahaan, di mana mereka bertransaksi antar unit kerja atau unit bisnis. Konsep rasionalitas terbatas dan oportunisme yang sama di pihak direktur atau manajer dapat digunakan untuk melihat motivasi di balik setiap keputusan yang dibuatnya.
Formula ekonomi yang menentukan perilaku dan pengambilan keputusan adalah kekhususan asset, kepastian usaha, serta frekuensi menghasilkan keuntungan atau manfaat. Dalam pengelolaan hutan, sifat hutan sebagai aset tidak bisa dipercepat pertumbuhannya sehingga menjadi pembatas. Karena itu cara menetapkan kelestarian hutan produksi, secara teknis atau finansial, sudah saatnya dipikirkan ulang. Hubungan antara kecepatan tumbuh dengan harga komoditas tidak lagi seperti dahulu.
Karakteristik dan tingkat pengaruh terhadap usaha komersial dari ketiga variabel tersebut mengarah pada penentuan tingkat manfaat atau keuntungan sebagai usaha komersial. Untuk itu secara teknis tidak bisa lagi mengikuti cara-cara lama, karena sifat komersial kayu atau pohon tidak lagi seperti pada 1970-1980-an.
Pendekatan biaya transaksi dalam pengusahaan hutan yang memiliki pertumbuhan serta perubahan nilai atau harga dari waktu ke waktu, berpotensi menimbulkan perilaku oportunistik yang akan berakibat fatal dalam pengambilan keputusan. Misalnya, mengubah bisnis yang tidak lagi berbasis kehutanan karena tak lagi mengikuti kehendak ekonomi pasar.
Dengan kemampuan rasionalitas yang terbatas untuk memahami bayak faktor yang berpengaruh, sudah saatnya usaha komersial hutan produksi ini mendapat porsi pembaruan pemikiran yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Salah satu caranya menghilangkan biaya transaksi dengan membuka informasi agar pasar terbentuk dalam persaingan sempurna.
Ikuti percakapan tentang konsesi hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :