JAUH sebelum budidaya lebah diusahakan oleh masyarakat, produksi madu di Riau didominasi perburuan madu hutan liar (Apis dorsata). Pada 2010 produksi madu hutan liar di Riau tidak kurang dari 400 ton per tahun. Perubahan tata ruang dan berkembang pesatnya perkebunan kelapa sawit membuat produktivitas madu semakin turun dari tahun ke tahun. Hal ini memicu peternak beralih ke jenis lebah budidaya, yakni lebag Apis mellifera.
Di Riau, lebah madu merupakan komoditas paling banyak diusahakan sebagai hasil hutan bukan kayu dan merupakan salah bentuk dari skema kegiatan perhutanan sosial. Hampir di setiap Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) memiliki kegiatan yang berhubungan dengan lebah budidaya. Gubernur Riau telah menyiapkan 1,2 juta hektare lahan yang dapat digunakan untuk berbagai skema perhutanan sosial meskipun sampai pertengahan tahun 2023 baru 120.000 hektare yang telah terealisasikan.
Sekitar akhir 2020, ketika pandemi Covid-19 melanda, kebutuhan masyarakat akan madu meningkat drastis dan tidak bisa dipenuhi oleh hanya madu hutan maupun madu budidaya dari pulau Jawa. Mulai sejak itu, banyak bermunculan peternakan lebah.
Apis mellifera merupakan jenis lebah paling banyak dipakai karena memiliki produktivitas madu tinggi meskipun harga per koloninya mahal dan harus didatangkan dari Jawa. Bahkan skema investasi ternak lebah menjadi begitu populer. Ini belum termasuk peternak lebah di Jawa yang bermigrasi ke Riau.
Riau menarik bagi para peternak lebah karena provinsi ini memiliki ratusan ribu hektare tanaman Acacia crassicarpa. Jenis tanaman ini banyak ditanam oleh perusahaan pulp dan kertas. Berbeda dengan sumber nektar lain di Jawa yang dominan mengandalkan bunga, Acacia crassicarpa menghasilkan nektar dari ketiak daun dalam jumlah yang banyak dan tidak mengenal musim. Sehingga madu yang dihasilkan lebih dikenal sebagai madu akasia. Inilah yang membuat Riau menjadi surga bagi budidaya lebah baru di Indonesia.
Madu akasia pernah menyentuh harga Rp 80.000 per kilogram pada tingkat grosir sewaktu pandemi Covid-19 dan merupakan harga tertinggi pada saat itu. Hal ini yang menjadikan usaha madu terlihat menjanjikan pada awalnya. Munculnya ladang pekerjaan baru sebagai perawat lebah, tenaga panen, dan penjual madu merupakan dampak positif dari keberadaan ternak lebah ini terutama di masa pandemi ketika banyak terjadi PHK.
Keadaan berbalik ketika pandemi berakhir. Tingkat konsumsi madu masyarakat menurun sementara pasokan madu sudah terlanjur berlimpah. Satu peternakan lebah yang dimiliki sebuah perusahaan yang mengusahakan sekitar 2 rit atau kurang lebih 340 koloni lebah, menghasilkan tidak kurang dari 1 ton madu setiap kali panen dan dalam satu bulan dapat dua kali panen jika cuaca mendukung.
Meskipun tidak ada data yang pasti mengenai jumlah peternak lebah madu, diperkirakan tidak kurang dari 400 ton madu setiap bulan mampu diproduksi oleh lebah A. mellifera di Riau. Produksi madu ini tak terserap oleh masyarakat.
Fenomena seperti perang harga dan kompetisi yang tidak sehat pun tak terhindarkan. Saling menjatuhkan di antara para peternak lebah tidak hanya terjadi di lapangan, sering kali berlanjut sampai media sosial. Usaha pembentukan wadah atau asosiasi yang menaungi para peternak lebah dan bertugas untuk menetapkan harga jual minimum madu juga terkesan formalitas karena sebagian besar anggotanya tidak terikat aturan sehingga banyak yang bermain di belakang. Akibat lain adalah kerugian finansial yang berujung pada kebangkrutan beberapa peternak lebah yang disebabkan karena tingginya biaya.
Sebagai contoh, biaya gaji yang harus dikeluarkan mencapai Rp 6 juta per bulan untuk pengelolaan dan perawatan kotak sebanyak dua rit dan belum termasuk biaya lain seperti obat-obatan dan transportasi. Sehingga tidak sedikit peternak lebah yang membiarkan lebah-lebahnya tidak terawat.
Lebah A. mellifera, meskipun jenis lebah unggul yang memiliki produktivitas madu tinggi. Ia rentan terhadap serangan hama dan tidak boleh dibiarkan kelaparan sehingga perawatan berbiaya tinggi.
Pemerintah pun seperti menghadapi dilema. Pada awalnya pemerintah gencar dan mengajak masyarakat memanfaatkan salah satu skema perhutanan sosial melalui budidaya lebah. Ketika harga madu hancur, pemerintah seperti bingung.
Beberapa solusi pernah digulirkan pemerintah setempat untuk mengatasi permasalahan ini. Aalah satunya dengan mencanangkan hari minum madu, memborong madu ketika melakukan kunjungan, dan mengarahkan para pegawai negeri membeli produk madu para peternak. Solusi ini hanya bersifat sementara dan tidak memecahkan permasalahan secara menyeluruh.
Beberapa usaha telah banyak dilakukan seperti mencarikan peluang pasar di luar negeri dengan menggandeng BUMD dan BUMN yang ada di Riau sampai memberi fasilitas berupa ruang untuk pameran. Namun, hal tersebut belum banyak memberikan pengaruh yang nyata bagi para peternak yang masih kesulitan dalam menjual madunya.
Solusi diversifikasi produk lebah juga pernah digulirkan dengan tujuan agar peternak tidak hanya bergantung pada madu. Akan tetapi, penerimaan masyarakat akan hal ini masih sangat rendah karena kurangnya pengetahuan sampai pada permasalahan klasik yaitu pemasarannya.
Sampai sekarang, permasalahan ini belum mendapatkan solusi. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, selain kebangkrutan dan kompetisi yang negatif, kepercayaan masyarakat terhadap program perhutanan sosial sebagai pemberdayaan masyarakat sekitar hutan bisa goyah
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti Muda pada Pusat Riset Zoologi Terapan, Badan Riset dan Inovasi Nasional
Topik :