FAKTA bahwa jutaan hektare hutan alam produksi yang tak lagi berhutan karena pengelolaan tak lestari oleh industri di masa lalu menjadi bukti sulitnya menjalankan prinsip kelestarian hasil produksi nabati dalam skala negara. Dalam skala individual mungkin berhasil. Kita menebang satu pohon lalu menanam satu pohon lagi agar siklus karbon yang mengubah proses alamiah di bumi tidak terganggu.
Dalam praktik, karena upaya itu tidak gratis, pengaturan kelestarian mengelola hutan dan sumber daya alam melibatkan banyak instansi pemerintah. Juga soal aspek ekonomi dan tata kelola pemerintahan (governance) yang menjadi penentu kelestarian itu.
Apa yang tidak gratis itu memakan ongkos. Bagi industri, modal usaha acap memakai pinjaman. Belum lagi jika ada konflik lahan, biaya transaksi menegosiasikan aturan, atau lemahnya kontrol terhadap pelaksanaan regulasi di lapangan. Semua itu turut menjadi faktor keberhasilan menjalankan prinsip-prinsip kelestarian mengelola sumber daya alam.
Juga luas lahan pemanfaatan sumber daya alam. Dulu, materi pelajaran untuk tingkat sarjana umumnya berbasis kelestarian hasil seperti pada kelestarian hutan, pertanian, peternakan, selain pengendalian dampak seperti dalam kegiatan pertambangan. Kini, setelah lebih 40 tahun, prinsip kelestarian mencakup banyak segi.
Dalam “Exploring the governance and politics of transformations towards sustainability” (2017), James Patterson dkk menyebut beberapa hal yang terkait dengan kelestarian sebagai berikut:
Pertama, tinjauan terhadap tata kelola dan politik sangat penting untuk memahami dan menganalisis transformasi menuju kelestarian. Hal itu karena tata kelola menjadi faktor kunci dalam setiap upaya membentuk transformasi menuju keberlanjutan, yang dalam pelaksanaannya sangat politis.
Akibat kebijakan dan perubahan segi kelestarian, aktor yang berbeda akan terpengaruh dengan cara berbeda, dan mungkin akan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Hal itu karena adanya penilaian yang berbeda tentang masalah, persepsi tentang proses perubahan, serta ketidakpastian dan ambiguitas yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Misalnya, kebutuhan dekarbonisasi dalam sistem energi, dipromosikan tetapi sekaligus ditentang oleh berbagai aktor dengan berbagai cara.
Kedua, transformasi menuju kelestarian bersifat dinamis, politis, dan memerlukan dukungan perubahan di berbagai lini, termasuk sistem sosial, kelembagaan, budaya, politik, ekonomi, teknologi, maupun ekologi. Dengan demikian kita tidak bisa melihat aspek kelestarian dengan cara disiplin tertentu yang sempit. Akar disiplin yang digunakan secara historis memang dikaitkan dengan ekologi dan produksi, tapi seiring waktu hal itu telah menyatu dengan keragaman perspektif dari disiplin ilmu sosial maupun politik.
Kemampuan melakukan transformasi didefinisikan sebagai kapasitas untuk menciptakan sistem baru ketika kondisi ekologi, ekonomi, atau sosial serta politik membuat sistem yang ada tidak bisa dipertahankan. Proses transformasi itu melibatkan tiga langkah kunci, yaitu menyiapkan sistem untuk perubahan, menavigasi transisi dalam rezim manajemen dan tata kelola ketika jendela peluang sedang terbuka, serta kerja mengkonsolidasikan dan membangun ketahanan rezim.
Untuk kasus di Indonesia, kita bisa melihatnya di PT Kereta Api Indonesia. BUMN ini bisa bertransformasi dari layanan yang buruk menjadi bagus dengan perbaikan di segala lini. Semestinya, BUMN kehutanan seperti Perhutani atau Inhutani bisa melihat pengalaman PT Kereta dalam hal transformasi manajemen perusahaan ini.
Ketiga, perubahan tidak bisa diasumsikan mendapatkan penolakan, terutama ketika norma dan praktiknya mulai dipertanyakan. Dalam kasus pengusahaan hutan di Indonesia, pelaku usaha merasa perlu mendapat kesempatan mengikuti proses pembuatan peraturan agar kepentingan mereka dapat diakomodasi oleh regulasi. Tetapi, menurut pengakuan seorang pengusaha hutan di Samarinda, hal itu acap tak mendapatkan tempat. Sebab, antara aturan dan implementasi peraturan seringkali berbeda. Artinya, ada persoalan di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip kelestarian dalam regulasi.
Di negara ketiga, kondisi seperti itu acap terjadi. Para ahli administrasi menyebutnya sebagai kondisi prismatik: sesuatu berbelok dari apa yang dirumuskan karena pengaruh kepentingan. Dalam gelas prisma, garis lurus terlihat bengkok, atau sebaliknya, sehingga menciptakan keadaan seolah-olah. Seolah-olah benar padahal sebaliknya.
Dari tiga hal yang disebut Patterson itu, jika kita kaitkan dengan pengelolaan hutan produksi, formula jumlah tebangan tahunan yang diizinkan (annual allowable cut/AAC) hanya satu cara menentukan jumlah produksi. Dalam implementasinya perlu diletakkan ke dalam kondisi yang menyebabkan terwujudnya tata kelola yang baik. (lihat Rumus Menghitung Kayu Tebangan)
Maka, sebagaimana diutarakan di awal tulisan ini, secara teknis melestarikan hutan itu mudah, namun ketika kita dihadapkan pada skala yang luas dengan berbagai kondisi yang tidak ideal termasuk bekerjanya beragam kepentingan, bentuk tata kelola yang tepat perlu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penetapan AAC tersebut.
Tantangan politis yang menghadang transformasi menuju keberlanjutan antara lain perlu terwujudnya konsistensi menjalankan perubahan kebijakan dalam waktu cukup panjang. Ia juga harus mampu mengatasi besarnya kepentingan dan kekuatan yang menghadang transformasi, mampu mengatasi fragmentasi fungsi kelembagaan dan koordinasi untuk tujuan tertentu yang masih lemah, serta mampu menghapus defisit representasi masyarakat lokal maupun adat dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya.
Dalam menghadapi situasi seperti itu, dan mengingat beragamnya kondisi di lapangan, lebih mungkin bila sifat-sifat khusus sistem transformasi berbasis pulau besar: Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Pembagian region ini berdasarkan pertimbangan untuk menyesuaikan pelbagai faktor yang saling berhubungan. Misalnya, kondisi sosial, kelembagaan, politik, ekologi, teknologi, maupun budaya. Termasuk berbagai metode yang relevan, yang sejalan dengan karakteristik sosial-budaya wilayah tersebut.
Untuk mewujudkannya butuh kapasitas menetapkan dan menjalankan pemikiran jangka panjang, mengidentifikasi sinyal awal perubahan dan untuk mengadaptasi upaya kolektif dari waktu ke waktu. Berbeda dengan kebijakan politik yang memerlukan kekuatan dan konsolidasi sentralistik, kebijakan pengelolaan sumber daya alam memerlukan desentralisasi substansial, yakni regulasi memakai titik tolak pemanfaatan sumber daya alam dan masyarakat.
Hal lain yang perlu pembaruan kebijakan adalah menciptakan mekanisme umpan balik positif dari praktik-praktik di lapangan, yang memungkinkan kebijakan berjalan dalam jangka panjang. Selain itu, penting mempertimbangkan upaya mendorong transformasi dengan memperhatikan akuntabilitas dalam sistem kelembagaan serta politik.
Urgensi penyempurnaan kebijakan dan transformasi pemanfaatan hutan secara lestari tampaknya sudah mendesak. Ketika pengelolaan puluhan juta hektare hutan produksi terbukti tidak lestari, materi pengajaran di universitas semestinya diperbincangkan kembali memakai fakta dan realita ini. Pembahasan aspek tata kelola dan politik di fakultas-fakultas kehutanan mau tidak mau harus berangkat dari kenyataan itu.
Ikuti percakapan tentang tata kelola di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :