KEBAKARAN hutan dan lahan adalah peristiwa terbakarnya hutan dan/atau lahan, baik secara alami maupun oleh perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial budaya dan politik. Ini definisi kebakaran hutan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32/2016.
Banyak pihak yang bertanya, apakah yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang? Berdasarkan hasil verifikasi dan data yang tersedia, penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan khususnya di areal konsesi, yang berulang tersebut adalah sebagai berikut (Saharjo, 2022):
- Pembakaran sengaja dalam rangka pembukaan/penyiapan lahan,
- Pembiaran (omission) baik karena kelalaian maupun kesengajaan,
- Pengabaian kewajiban melakukan manajemen air (water management) dalam rangka mempertahan ground water level (GWL) dalam batas yang bisa ditoleransi,
- Tidak bekerjanya peringatan dini (early warning) dan early detection system
- Adanya konflik/sengketa lahan dengan masyarakat,
- Sumber daya manusia yang tidak memiliki kemampuan minimal dalam menangani kebakaran hutan dan lahan.
Berdasarkan fakta lapangan dan hasil investigasi, faktor-faktor berikut yang membuat kebakaran tidak mudah dikendalikan (Saharjo, 2022):
- Sarana dan prasarana pengendalian kebakaran yang minim dan tidak memadai, baik jumlah maupun spesifikasinya,
- Lokasi kebakaran sulit dijangkau,
- Kebakaran terjadi di beberapa lokasi dalam satu hari, namun sarana dan prasarana penanganannya terbatas,
- Kondisi cuaca tidak kondusif (angin kencang dan berubah-ubah arah, kering dan suhu harian tidak biasa, susah mendapatkan awan hujan),
- Terjadi di lokasi dengan potensi bahan bakar yang tinggi (misal, log bekas tebangan hutan alam yang membusuk),
- Tidak tersedia sumber air yang cukup.
Kebakaran hutan dan lahan dapat dicegah karena penyebabnya manusia. Oleh karena itu upaya pencegahan sedini mungkin dan kesamaan persepsi bahwa kebakaran harus dikendalikan serta dilakukan secara bersama-sama secara bertanggungjawab akan mampu menekan dan mengurangi peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Sejak akhir 2022 hingga awal 2023, Indonesia dihebohkan dengan berita akan datangnya El-Niño, atau musim kemarau kering, yang langsung terbayang dengan terjadinya kebakaran saat El Niño datang seperti yang terjadi pada 2015 dan 2019. Hal tersebut dipertegas kembali dengan pernyataan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyatakan bahwa periode tiga tahun La-Niña dan akan segera masuk periode El Niño.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebakaran hutan dan lahan mulai terjadi di beberapa tempat di Sumatera maupun di Kalimantan. Hadirnya El Niño, lebih menciptakan kondisi bahan bakar (biomassa basah dan kering) menjadi lebih kering dan mudah dibakar bila dibandingkan dengan tanpa kehadiran El Niño.
Kedatangan El Niño membuat suhu meningkat, kelembaban relatif (relative humidity) menurun, dan ketersediaan air, karena kurangnya hujan. Situasi ini akan mempercepat proses pengeringan bahan bakar dan kondisi lingkungan sehingga kebakaran yang terjadi menjadi lebih mudah.
Peningkatan potensi kebakaran akibat El Niño ini akan berdampak negatif pula terhadap kondisi lahan dan vegetasi yang berada di atasnya, khususnya pada lahan gambut yang berujung pada kebakaran yang sulit dikendalikan, berlangsung lebih lama dari biasanya dan produksi asap yang lebih karena bahan bakar yang terbakar lebih banyak serta pelambatan dalam upaya pemadamannya. Pengendalian kebakaran, khususnya pemadaman, bila tidak segera dikendalikan akan berujung pada peningkatan luasan lahan yang terbakar.
Berdasarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh The National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pada 11 Mei 2023, periode Mei-Juli 2023 probabilitas El Niño meningkat hingga 90%. Pernyataan ini kembali menegaskan apa yang sudah disampaikan oleh BMKG bahwa kehadiran El Niño di Indonesia itu makin nyata.
Fakta ini menegaskan perlunya kesiapsiagaan yang serius menghadapi ancaman bahaya kebakaran tersebut, apalagi bagi wilayah rawa gambut. Sebab gambut akan makin kering ketika air sulit didapat sehingga rentan terhadap terjadinya kebakaran.
Bila kebakaran terjadi, akan sangat sulit dikendalikan yang berujung pada meluasnya areal kebakaran yang terjadi yang diiringi pula dengan meningkatkan emisi gas rumah kaca khususnya CO2. Banyak hal yang masih mungkin dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya di lahan gambut, misalnya dengan meningkatkan peranan tinggi muka air.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun yang karena ulah manusia. Maka sejatinya kegiatan pengendaliannya bisa dilakukan sejak awal dan tidak harus menunggu El Niño dalam penanganannya.
Khusus untuk masyarakat, sudah sepantasnya mereka diberikan jalan keluar yang bijaksana dan diperlakukan sebagai kolega dan partner dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB diundang oleh PT Mohairson Pawan Khatulistiwa (MPK), yang berlokasi di Ketapang, Kalimantan Barat, untuk melihat upaya pengendalian kebakaran oleh pihak korporasi dengan melibatkan masyarakat. Seperti biasa, saya lebih suka melihat aktivitasnya di lapangan dalam artian yang sesungguhnya atau sekadar narasi perusahaan saja.
Menyimak dan mengawasi kegiatan pemadaman selama uji coba oleh tim Pemadam PT MPK, cukup mengejutkan juga karena cara yang mereka lakukan sudah profesional. Bahkan untuk pertama kali saya menyaksikan upaya pemadaman kebakaran telah menggunakan thermal camera melalui drone yang dioperasikan selama pemadaman api.
Penggunaan kamera pendeteksi panas melalui drone ini memang sangat membantu dalam upaya pergerakan tim pemadaman dan penuntasan pemadaman api. Hal ini dilakukan agar kebakaran yang terjadi tidak berulang ketika tim pemadam menganggap aktivitasnya sudah selesai. Sebab di atas permukaan biasanya tidak terlihat titik api, padahal di bawah permukaan api masih membara.
Api di bawah permukaan hanya bisa terdeteksi oleh thermal camera, khususnya pada kebakaran gambut. Berdasarkan informasi dari perusahaan, saya baru tahu bila pasukan pemadam tadi anggota-anggotanya adalah warga desa yang berada di seputar konsesi perusahaan, yang kemudian dilatih dan bersertifikat. Saya juga mendapatkan informasi bila tim pasukan pemadaman kebakaran tersebut merupakan salah satu tim andalan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Ketapang. Fakta ini menujukkan bahwa warga desa itu menjadi kolega dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan oleh perusahaan.
Selama ini jamak kita tahu masyarakat acap jadi kambing hitam kebakaran hutan dan lahan. Dari cerita PT MPK jelas terlihat mereka mau berbenah bahkan membantu menuntaskan permasalahan kebakaran. Perusahaan acap hanya melarang masyarakat agar tidak membakar lahan tanpa melibatkan mereka sehingga tak menjadi solusi mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Pada saat bertemu relawan api di Desa Tanjung Baik Budi, kami bertemu dengan sekelompok masyarakat yang sedang mengolah lahan untuk perluasan tanaman tebu dan rencana untuk membangun kebun jagung. Sang ketua bercerita bahwa dulu mereka adalah petani tebu, karet dan palawija.
Tebu mereka habis terbakar pada 2015 dan kembali terbakar pada 2019. Tahun 2022 mereka coba bangkit kembali untuk kembali menyiapkan lahan tanpa bakar dengan mencoba menanam tebu seluas 0,5 hektare dengan anggota sekitar 10 orang. Ternyata apa yang mereka tanam cukup berhasil dan menghasilkan pendapatan yang cukup lumayan, sekitar Rp 50-60 juta.
Karena itu mereka ingin memperluas lahan tebu menjadi sekitar 5 hektare dan mencoba menanam jagung yang produksinya diharapkan menjadi jagung pipilan yang diperlukan sebagai bahan pakan ternak. Anggotanya bertambah menjadi sekitar 25 orang.
Upaya masyarakat ini mendapat dukungan dari pihak korporasi. Mereka masuk Kelompok Masyarakat Peduli Alam Gambut dan Mangrove (Mapagama) yang dibentuk PT MPK pada 2022. Kelompok Mapagama menerapkan pengolahan lahan tanpa bakar di semak belukar yang merupakan lahan yang sering terjadi kebakaran.
Satu kelompok masyarakat lagi yang selalu dianggap tidak memberikan kontribusi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah ibu-ibu. Di Ketapang, anggapan ini terbantahkan kelompok ibu-ibu di bawah komando Ibu Muhaimin yang ikut aktif melakukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di PT MPK.
Kelompok The Power of Mama berdiri sejak tahun 2022 lalu beranggotakan 59 orang. Saat ini bertambah menjadi 89 orang. Tugas mereka melakukan patroli, paling tidak di sekitar wilayah desa, melakukan kegiatan pembukaan lahan tanpa bakar, dan lain-lain. Bahkan terdapat seorang mama/ibu yang masih memiliki anak di bawah umur yang dengan gigih ikut terlibat dalam pengendalian kebakaran, meskipun harus bolak balik pulang ke rumah karena harus menyusui bayinya.
Kelompok lain yang punya peran besar mengendalikan kebakaran lahan di konsesi PT MPK adalah penebang liar. Mereka menyebut diri “Kelompok Hijrah”. Tugas mereka adalah ikut melakukan patroli pengendalian kebakaran hutan dan lahan, ikut memberikan edukasi kepada masyarakat tidak menggunakan api dalam pembukaan lahan, juga ikut serta melakukan kegiatan pemadaman di sekitar wilayah desa mereka.
Mereka hijrah dari pembalak dengan cara melakukan kegiatan pembukaan lahan tanpa bakar memadukan kegiatan penanaman pohon buah-buahan, tanaman semusim, tanaman palawija untuk kepentingan anggota kelompok mereka. Mereka sudah sekitar dua tahun melakukan kegiatan tersebut dan mendapat dukungan dari pihak korporasi.
Sudah ada tanaman yang menghasilkan seperti cabai dan terong, namun mereka terkendala hewan liar yang berada di sekitar lokasi itu, yaitu monyet yang sering memakan buah dari palawija yang mereka tanam. Mereka tetap bersemangat, karena tetap menghasilkan secara ekonomi, tanpa harus jadi pembalak lagi.
Dari cerita di PT MPK ini kita tahu bahwa masyarakat bisa menjadi partner yang kuat dalam mengendalikan dan mencegah kebakaran hutan dan lahan. Sehingga El Niño bukan lagi alasan kita membiarkan hutan terus terbakar yang menghasilkan gas emisi rumah kaca penyebab krisis iklim.
Kegiatan pemantauan kebakaran hutan ini dilakukan bersama Dr. Ati Dwi Nurhayati, S.Hut, MSi dan Robi D. Waldi, S.Hut, MSi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB)
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Perlindungan Hutan Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB University
Topik :