HUTAN menjadi objek pertama yang saya pelajari ketika menelaah kelestarian atau keberlanjutan. Dalam pelajaran itu, kami menaksir jumlah rata-rata pertumbuhan volume kayu per hektare per tahun, berapa lama jarak tebang, plus luas tebangan agar produksi kayunya tak putus dari tahun ke tahun.
Setelah pemanfaatan, kami juga belajar tentang bagaimana memulihkan hutan yang sudah ditebang. Selain itu kami juga belajar tentang keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam lingkup tata kelola pelaksanaannya. Demikianlah para mahasiswa kehutanan mempelajari tentang keberlanjutan. Saya kira di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan konsepnya juga serupa.
Konsep keberlanjutan itu sudah diajarkan sejak 1960-an. Berhasilkah? Jika kita melihat fakta ada 40 juta hektare lebih hutan yang tak lagi berhutan, agaknya konsep itu gagal. Atau konsep keberlanjutan itu tak sejalan dengan pelaksanaannya. Apalagi, konsep keberlanjutan kini harus sesuai dengan gagasan pembangunan berkelanjutan yang memiliki dimensi luas.
Leah V. Gibbons dalam “Regenerative—The New Sustainable?” yang terbit 2020 membahas tiga fase pendekatan berkelanjutan serta sebuah identifikasi keberlanjutan yang bersifat filosofis.
Pertama, keberlanjutan konvensional. Sejak abad ke-17, istilah “keberlanjutan” mengacu pada pelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Gibbons menyebutnya sebagai “keberlanjutan konvensional” yang bersifat antroposentris. Pembangunan ekonomi dijalankan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terbatas.
Cara mewujudkan “keberlanjutan konvensional” melalui efisiensi, dengan mengurangi kerusakan lingkungan, menetapkan tingkat kesejahteraan minimal, mengelola kelestarian alam, menentukan pertumbuhan ekonomi, serta mengembangkan dan menerapkan kemajuan teknologi. Pada tahap ini pendekatan penelitian deskriptif-analitik dominan untuk menelaah fase keberlanjutan ini.
Pendekatan keberlanjutan tahap ini cenderung mekanistik dan reduksionistis karena memandang manusia dan makhluk hidup terpisah dengan sumber daya alam. Akibatnya, keberlanjutan konvensional menggerakkan penghancuran lingkungan. Sebab konsep keberlanjutan tahap ini tidak spesifik dalam definisi, tidak ambisius dalam tujuan, dan tidak memasukkan komponen kelestarian.
Kedua, keberlanjutan kontemporer yang berkembang sejak 1999. Di era ini berkembang ilmu keberlanjutan sebagai disiplin akademis dari peningkatan keberlanjutan konvensional, namun masih fokus pada antroposentris dan pendekatan mekanistik. Meski sudah menggabungkan konsep ekologi seperti sistem adaptif yang kompleks, keberlanjutan kontemporer cenderung bekerja dengan bagian-bagian sistem yang terfragmentasi.
Keberlanjutan kontemporer masih fokus pada gejala daripada penyebab ketidakberlanjutan. Dengan kata lain, keberlanjutan kontemporer mempunyai titik pengaruh yang dangkal dalam sistem, seperti perubahan teknologi, kebijakan, dan ekonomi, serta masih mendukung sistem dan pola pemikiran yang tidak berkelanjutan. Praktiknya, keberlanjutan kontemporer terjebak dalam perangkap greenwashing, inefisiensi, sehingga mendorong ketidakberlanjutan yang lebih besar.
Pendekatan keberlanjutan kontemporer, meski mekanistik dan antroposentris, telah memasukkan konsep keadilan, sistem adaptif yang kompleks, dan transdisipliner. Namun, keberlanjutan kontemporer belum menyertakan pendekatan tata kelola (governance).
Problem tata kelola pengelolaan sumber daya alam, khususnya mengenai korupsi, menjadi penentu konsep keberlanjutan kontemporer berhasil. Dalam pengelolaan hutan produksi, selama 45 tahun, kualitasnya semakin menurun. Pada akhir 2022 hutan alam produksi dikelola oleh 247 izin dari 567 izin pada 1991. Pada awal 2023, pemegang izin yang masih jalan kurang dari 200 izin. Dengan begitu 367 perusahaan terbukti tidak lestari dalam mengelola hutan.
Penurunan jumlah unit manajemen pengelola hutan itu tecermin dari indeks tata kelola oleh Transparency International. Pada 2022 indeks tata kelola pemerintahan turun menjadi 34—semakin kecil semakin korup. Sebagai perbandingan indeks tertinggi dimiliki oleh Denmark (90) dan terendah adalah Yaman (16).
Ketiga, keberlanjutan regeneratif. Keberlanjutan ini mengadopsi pandangan holistik dengan melihat manusia dan seluruh kehidupan sebagai autopoietik—sistem yang mampu memelihara dan memproduksi dirinya sendiri, di mana proses perubahan perkembangan memanifestasikan esensi dan potensi unik dari setiap tempat atau komunitas. Tujuan aspirasionalnya untuk mewujudkan sistem kehidupan yang berkembang sebagai sistem adaptif.
Alih-alih melihat “masalah” dan “solusi”, keberlanjutan regeneratif melihat sistem kehidupan ada dalam keadaan sementara sepanjang waktu. Dengan kata lain, ia mengintegrasikan berbagai dimensi untuk perubahan transformasional menuju sistem kehidupan yang berkembang.
Keempat, keberlanjutan-dalam, keberlanjutan-luar. Keberlanjutan-dalam mengacu pada aspek-aspek keberadaan yang tidak dapat diamati seperti pandangan dunia, paradigma dan kemampuan untuk melampauinya, keyakinan, nilai, pemikiran, emosi, hasrat, identitas, dan spiritualitas. Keberlanjutan-luar mencakup aspek keberadaan yang dapat diamati yang muncul dari aspek dalam seperti kebijakan, struktur tata kelola, pasar, ekonomi, lingkungan, dan ekosistem.
Beberapa ahli dan praktisi setuju alasan mendasar kegagalan keberlanjutan adalah perubahan sistemik akibat “dimensi dalam” yang diabaikan. Pada tingkat individu, pengalaman dan tindakan seperti empati, syukur, kepedulian dan pengertian mendalam, cinta, kemurahan hati, altruisme, pelayanan, kesadaran persatuan, kreativitas, refleksivitas, dan kemampuan mengubah paradigma sangat penting untuk keberlanjutan.
Pada tingkat kolektif, inklusivitas, keragaman, refleksivitas, orientasi proses, kepedulian sosial, dan kepedulian adalah penopang keberlanjutan-dalam. Tingkat kolektif itu termanifestasikan dalam keberlanjutan-luar dalam bentuk proses dan tata kelola yang sangat partisipatif, layanan sosial, ritual, upacara, dan perayaan yang berbasis alam dan/atau berfokus sosial, pendidikan berkelanjutan, praktik berbasis kesadaran, kebijakan yang mendukung kedaulatan masyarakat, alam, dan keragaman.
Pada tingkat konsep maupun praktis, termasuk sebagai bahan pengajaran terutama di perguruan tinggi, telaah keberlanjutan di Indonesia ditelaah memakai pendekatan yang terlalu sempit dan belum menggunakan pendekatan transdisiplin. Apalagi ditambah dengan kondisi tata kelola yang buruk.
Untuk itu, perguruan tinggi dan lembaga penelitian mesti memiliki menelaah lebih dalam tentang keberlanjutan agar segera bisa memeriksa dan mencari solusi ketimpangan konsep maupun implementasinya. Sebelum terlambat.
Ikuti percakapan tentang kelestarian di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :