Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 26 Juli 2023

Problem-Problem Transisi Energi

Surplus listrik dari batu bara menghambat transisi energi nasional. Pemerintah masih fokus pada aspek ekonomi, bukan lingkungan.

PLTU batu bara

PEMERINTAH Indonesia bertekad meningkatkan bauran energi terbarukan menjadi 25% pada 2025 yang kini masih di bawah 13%. Target transisi energi ini cukup ambisius jika dilihat dari pelbagai masalah yang datang dari pemerintah sendiri untuk mencapainya.

Studi Dala Institute menemukan bahwa problem utama transisi energi fosil ke energi terbarukan adalah masih banyaknya produksi batu bara dalam bauran energi nasional. Dengan begitu, sumber energi listrik dari batu bara masih surplus. “Sehingga transisi energi sulit diwujudkan dalam waktu dekat,” kata Aldy Halimanjaya, pendiri Dala Institute.

Selain itu ada kendala serius transisi energi dari sektor ekonomi-politik, terutama menyangkut kebijakan yang sulit diprediksi dan kurangnya koordinasi antar kementerian dalam pengembangan kebijakan untuk mendukung transisi menuju energi terbarukan. Secara khusus, kata Aldy, Indonesia mengalami kendala prinsipal-agen multi-segi.

Penjelasan Aidy mengacu pada bagaimana Perusahaan Listrik Negara (PLN), sebagai perusahaan listrik milik negara yang memiliki otoritas tunggal dalam mengelola transmisi dan distribusi daya listrik di Indonesia, mengelola berbagai kebijakan prioritas sejumlah pemangku kepentingan prinsipal. Baik yang melibatkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perindustrian, maupun Kementerian Keuangan.

Dampak dari regulasi yang rumit ini, kata Aldy, terlihat dari pendekatan tata kelola campuran pada sektor ketenagalistrikan antara pemerintah pusat dan daerah. “Kerap terdeteksi kendala dalam menegosiasikan perjanjian pembelian tenaga listrik. Selain itu, persyaratan kepatuhan juga menjadi rintangan yang signifikan bagi pengembangan proyek energi terbarukan,” jelasnya.

Laporan studi Nexus Assessment of Indonesia’s Energy Sector oleh Dala Institute menemukan bahwa aspek ekonomi masih menjadi fokus dibandingkan aspek lingkungan dan sosial dalam proses transisi energi di sektor ketenagalistrikan di Indonesia, baik di tingkat kebijakan nasional, tingkat operator dan tingkat implementasi proyek.

Hamidah Busyrah, peneliti Dala Institute, menambahkan pembahasan transisi energi di sektor ketenagalistrikan di Indonesia masih banyak yang terfokus pada aspek teknis, pembiayaan teknologi & infrastruktur produksi energi terbarukan, dan penciptaan lapangan kerja untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil.

Menurut Hamidah, rancangan kebijakan transisi energi yang fokus pada pemenuhan kebutuhan listrik nasional dan target PDB karena dorongan target Indonesia masuk dalam kategori negara maju pada 2045. “Konteks lingkungan dan sosial secara tidak langsung terpengaruh trade-off yang kompleks,” katanya.

Transisi energi adalah solusi lingkungan dan ekonomi sekaligus dalam mitigasi krisis iklim. Biaya eksternatilitas akibat ekonomi kotor membuat biaya pemulihan lingkungan menggerus pertumbuhan ekonomi. Sehingga, dalam perspektif mitigasi, menghidupkan ekonomi mesti berbasis lingkungan sehingga tujuan mitigasi perubahan iklim tercapai keduanya.

Rekomendasi Dala Institute untuk transisi energi lebih masif:

Tingkat Nasional

Dala Institute meminta pemerintah merancang rencana terperinci, praktis, dan kohesif untuk mengintegrasikan tujuan dan target Nexus ke dalam rangkaian pengembangan sistem energi yang sudah ada. Kemudian mencerminkannya dalam sebuah dokumen terpadu yang otoritatif dan secara eksplisit menggantikan regulasi sebelumnya yang bertentangan dan kontra produktif. Per pembangunan kapasitas kelembagaan untuk mengidentifikasi masalah sistemik dan menerjemahkannya ke dalam pengembangan strategi yang dapat mengarah pada reformasi kebijakan energi dan memengaruhi mandat tata kelola.

Tingkat Operator

Operator tenaga listrik perlu lebih sering berkolaborasi dengan komunitas lokal dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam penerapan praktik energi berkelanjutan. Operator juga perlu bekerja sama dengan organisasi di tingkat daerah, misalnya, Asosiasi Energi Surya Indonesia, untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan dan mempercepat penyambungan daya listrik di daerah, terutama di permukiman berpenghasilan rendah. 

Implementasi Proyek

Pelaksana di akar rumput perlu merumuskan kerangka kerja pemantauan dan evaluasi berdasarkan hasil-hasil berbasis target Nexus untuk memantau kemajuan dan dampak proyek energi terbarukan. Kerangka kerja harus mencakup metrik pencapaian, namun tidak hanya fokus pada pengukuran numerik tanpa evaluasi mendalam. Personel yang terlibat juga perlu menggali praktik-praktik baik di tingkat proyek guna mengadopsi standar pengamanan dari investor/pemberi pinjaman, khususnya perihal manajemen risiko dan rencana pemantauan dampak.

Ikuti percakapan tentang transisi energi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain