Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 24 Juli 2023

Politik Pengetahuan dalam Mitigasi Krisis Iklim

Politik pengetahuan perlu dirumuskan agar mitigasi krisis iklim berjalan dalam wadah keadilan sosial. Bagaimana merumuskannya?

Advokasi krisis iklim

AKHIR-akhir ini muncul banyak publikasi, termasuk buku, yang membahas perlawanan terhadap asumsi dominan mengenai masalah sosial yang terkait perubahan iklim. Ada yang menyebut sirkuit pengetahuan global berjalan tidak demokratis yang melegitimasi suara kelompok sosial dominan dalam isu-isu yang berkaitan dengan tanah, sumber-sumber agraria, pangan, maupun krisis iklim.

Transformasi isu-isu tersebut tumpang tindih dengan gerakan keadilan lingkungan dan iklim serta kedaulatan pangan dan perubahan penting dalam politik gerakan agraria. Dengan demikian, politik pengetahuan yang mengarah pada gerakan tertentu perlu kita kritik, terutama apabila gerakan itu berkaitan dengan perjuangan mewujudkan keadilan sosial.

Konstruksi Kayu

Individualisme dan self-centrism, ciri khas akademisi konvensional, merupakan kebalikan dari aktivisme-cendekiawan (scolar-activism) yang berorientasi pada pendidikan komunitas dan kolektif. Dalam kelompok kedua, menjalankan tugas secara multidisiplin menuntut mereka berorganisasi dan memperluas jajaran. Selain itu, seorang cendekiawan-aktivis membutuhkan naluri sebagai community organizer.

 

Buku “Scholar-Activism and Land Struggles”, terbit pada 2023, karya Saturnino M. Borras Jr. dan Jennifer C. Franco, mengutarakan beberapa hal berikut:

Pertama, politik pengetahuan. Dengan perkembangan pengelolaan sumberdaya alam, politik pengetahuan perlu dibuat lebih eksplisit. Negosiasi kepentingan politik dan nilai maupun kerangka serta perspektif perlu ditempatkan dalam isu keadilan.

Sebab, politik pengetahuan masih sama dengan beberapa dekade sebelumnya. Kerangka dominan analisis perubahan iklim tetap berfokus pada peristiwa iklim sebagai penyebab utama. Pendekatan ini mengaburkan dan membungkam banyak penyebab krisis non-iklim, sosial, dan politik-ekonomi.

Dengan demikian, menjadi tugas penting bagi para aktivis-cendekiawan untuk menentang politik pengetahuan yang mengabaikan faktor-faktor lain penyebab krisis iklim. Mereka juga harus mendemokratisasi sirkuit pengetahuan dengan pendekatan dan bermuara pada keadilan sosial.

Kedua, perluasan arena. Cakupan berbagai isu kini lebih luas dibanding dekade lalu, terutama mengenai studi agraria konvensional. Pergeseran ini membentuk perubahan karakter gerakan kontemporer, yang pasang-surut dari waktu ke waktu.

Dimensi kelas dan perbedaan ras, etnis, gender, generasi, agama dan kebangsaan yang dinamis, mempersulit pemahaman dalam kompleksitas sebagian besar gerakan kontemporer. Transformasi gerakan sosial pun menjadi atau tumpang tindih dengan gerakan keadilan lingkungan atau iklim serta gerakan pangan.

Ketiga, gerakan bersama. Di era perubahan iklim, perjuangan anti-kapitalisme seharusnya bermetamorfosis menjadi gerakan “trans-lingkungan”. Gerakan keadilan lingkungan kontemporer umumnya peduli terhadap kerugian khusus dalam komunitas lokal, namun tidak cukup terkoordinasi dengan perjuangan anti-kapitalisme, seperti masalah reproduksi dan perawatan sosial maupun persoalan tenaga kerja.

Istilah “trans-lingkungan” menekankan perlunya gerakan lingkungan yang berkaitan dengan seluruh sistem maupun perspektif anti-kapitalisme dan eko-sosialis dengan melampaui “sekadar lingkungan”. Dalam kasus gerakan agraria, misalnya, para aktivisnya harus melampaui “semata-mata agraria”. Ini adalah transisi dari studi agraria klasik menjadi studi agraria kritis.

Keempat, menjalankan kerja aktivis-cendekiawan agraria kontemporer membutuhkan strategi “berorientasi gerakan”. Perspektif ini berdampak pada orientasi gerakan agraria dan gerakan politik yang lebih emansipatif. Orientasi gerakan bertujuan melakukan tinjauan secara individu maupun kolektif melalui penelitian maupun gerakan cendekiawan-aktivis. 

Riset aktivis dan gerakan cendekiawan-aktivis memiliki ciri-ciri gerakan sosial yang mengacu pada asumsi dan visi bersama tentang dunia saat ini dan dunia yang ingin diwujudkan. Proses itu tidak berbentuk, cair, informal, terinspirasi dan menginspirasi, kreatif dan berani yang memerlukan dan melibatkan jaringan penelitian formal.

Hasilnya harus bisa menavigasi medan yang sulit dalam hubungannya dengan gerakan agraria, dan harus menyebar tetapi memiliki pusat imajinasi intelektual-politik serta kreativitas dalam cara polisentris operasional. Hasilnya harus dibagikan dan disebarkan secara demokratis di tiga situs utama, yaitu akademisi, lembaga penelitian independen non-akademik, dan pusat penelitian berbasis gerakan sosial.

Kelima, hak untuk memiliki hak. Salah satu kebutuhan akses yang paling mendasar bagi masyarakat adalah kebebasan mendapatkan informasi dan ekspresi berpendapat yang terbebas dari rasa takut akan pembalasan. Di lingkungan yang kurang demokratis, partisipasi dalam bentuk advokasi tertentu mengakibatkan retribusi kekerasan oleh aparat negara dan elite, hilangnya pekerjaan, bahkan nyawa.

Untuk itu, tugas paling mendesak bagi aktivis-cendekiawan adalah memperjuangkan hak untuk memiliki hak dan hak untuk membentuk hak. Kekuatan aktivis-cendekiawan tidak terletak pada pencapaian individu, tetapi pada kekuatan komunitas dan kolektivitas.

Tugas membangun gerakan anti-kapitalis global di mana perebutan tanah menjadi inti, membutuhkan kontribusi intelektual publik. Implikasinya, cendekiawan-aktivis harus berkomitmen pada gerakan yang tertib.

Di Indonesia, perebutan lahan kemungkinan besar akan semakin meningkat dan meluas apabila konsensus mitigasi krisis iklim melalui proyek karbon akan bekerja berdasarkan struktur penguasaan lahan yang tidak adil. Hal ini membuat peran aktivisme agraria sangat mendesak, sehingga cendekiawan-aktivis memiliki tugas ganda: kerja akademik dan kerja politik.

Ketimpangan dalam penguasaan tanah saat ini menjadi masalah utama bagi Indonesia, sehingga akan berdampak pada usaha-usaha mencegah dampak buruk krisis iklim bahkan mewujudkan keadilan dan keberlanjutan. Aktor-aktor politik, termasuk pemerintah, semestinya memprioritaskan penyelesaian soal ini.

Ikuti percakapan tentang mitigasi krisis iklim di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain