POHON dan hutan menjadi ekosistem paling efektif mencegah krisis iklim. Lewat fotosintesis, pohon menyerap karbon dari atmosfer, memadukannya dengan air, dan mengubahnya menjadi oksigen dan gula. Namun, deforestasi dan konversi lahan menjadi penghambat pohon dalam memerangi krisis iklim.
Pertumbuhan manusia dan kebutuhan lahan membuat jumlah pohon kian terbatas. Di tengah tantangan itu, sekelompok orang coba membuat inovasi melalui rekayasa genetika untuk meningkatkan pertumbuhan dan daya serap karbonnya.
Living Carbon, sebuah perusahaan bioteknologi berbasis di Amerika Serikat, menggunakan teknik gene gun untuk merekayasa genetika jenis pohon tremula (Populus tremula) dan pohon alba (Populus alba). Berkat inovasi itu pohon Populus hibrida bisa tumbuh lebih cepat dan berfotosintesis lebih baik.
Para peneliti di perusahaan itu mengklaim jika pohon hibrida mereka dapat mengakumulasi hingga 53% lebih banyak biomassa dibanding tanaman kontrol dalam riset mereka. Selain itu, pohon hibrida juga menyerap karbon 27% lebih banyak dan memiliki laju dekomposisi yang lebih lama.
Selain biomassa dan serapan karbon yang lebih banyak, Populus hibrida racikan Living Carbon juga memiliki kemampuan menyerap dan mengakumulasi logam beracun seperti nikel dan tembaga. Hal ini membuat pohon-pohon itu tahan hidup di lahan bekas pertambangan (Baca: Tananam yang Cocok untuk Reklamasi Bekas Lahan Tambang).
Living Carbon sendiri berkomitmen mengurangi 604 juta ton emisi karbon pada 2023 hingga 2030. Jumlah tersebut setara dengan 1,7% emisi karbon 2021.
Kendati begitu, tidak semua pihak setuju dengan inovasi pohon hibrida. Banyak ahli yang mempertanyakan kemampuan “pohon super” Living Carbon ini. Alasan mereka, pohon hasil rekayasa genetika memiliki potensi menjadi invasif sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem.
Menurut Ricarda Steinbrecher, pakar genetika molekuler, rekayasa genetika menimbulkan efek tak terduga pada suatu organisme. Beberapa yang paling umum terjadi adalah mutasi dan perubahan genom di pohon hasil rekayasa genetika. Perubahan itu tidak hanya terjadi pada individu yang telah direkayasa, juga akan berdampak ke keturunannya.
Rekayasa genetika bukan hal baru. Perkawinan silang sudah terjadi puluhan ribu tahun. Dewasa ini juga banyak organisme hasil rekayasa genetika atau GMO yang telah beredar. Seperti jagung GMO yang kebal terhadap berbagai penyakit, tomat GMO yang lebih lama busuk, dan masih banyak lagi.
Mayoritas organisme hasil modifikasi genetika tersebut adalah tanaman pangan. Mereka semua telah melewati serangkaian uji coba, penelitian, dan penilaian yang ketat untuk dapat diproduksi secara massal.
Berbeda cerita dengan pohon hibrida dari Living Carbon. Pohon hibrida masih minim penelitian. Satu-satunya riset adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Living Carbon. Masalahnya, metode gene gun di Living Carbon menjadi metode yang belum dinilai detail oleh USDA (U.S. Departement of Agriculture).
Menurut Robin Chazdon, profesor ekologi hutan tropis University of the Sunshine Coast, Australia, jika pohon hasil rekayasa genetika menarik untuk jadi solusi krisis iklim, namun rentan gagal (Baca: Bisakah Bambu Jadi Solusi Krisis Iklim?)
Menurut Robin, pohon hibrida hasil rekayasa genetika cenderung memiliki keragaman genetik yang seragam. Rendahnya keragaman genetik akan membuat mereka semakin lemah dan sulit menghadapi tantangan lingkungan. “Apa yang membuat hutan bisa bertahan karena mereka terdiri dari beragam jenis dan materi genetik,” katanya.
Soalnya ekosistem hutan bukan hanya soal karbon. Juga soal bagaimana ia bisa menjadi habitat bagi berbagai jenis hewan dan menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat lokal. Pada akhirnya, pohon hibrida hasil rekayasa genetika perlu diuji lebih lanjut.
Ikuti percakapan tentang rekayasa genetka di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :