DARI pengalaman saya mengikuti pengurusan izin atau wawancara dengan mereka yang mengurus izin industri kehutanan selama ini, tampaknya ada pemisahan antara mereka yang terbiasa mengurus segala hal memakai suap atau korupsi dan mereka yang bersih.
Mereka yang terbiasa menyuap melakukannya untuk mempengaruhi kebijakan publik sehingga kebijakan menguntungkan mereka. Kelompok ini bisa dibagi lagi menjadi tiga grup: menyuap dengan nilai uang sangat besar, sedang, dan kecil. Besar-kecilnya nilai suap itu menentukan siapa penyuap dan yang disuap.
Sementara kelompok masyarakat dengan bidang kerja yang relatif tidak ada suap terbentuk karena sifat pekerjaannya yang memang tidak berhubungan dengan suap-menyuap. Lingkungan kerja mereka belum punya kesempatan menyuap atau disuap atau memang karena benar-benar tidak mau melakukannya.
Orang yang tidak bersedia melakukan suap atau disuap bukan berarti mereka tak mengetahui lingkungan pekerjaannya penuh praktik korupsi. Kelompok ini cenderung menganggap korupsi sebagai urusan personal. Karena itu mereka cenderung menghindar terlibat praktik dalam lingkungan seperti ini.
Kebijakan publik kita tak mampu mendorong perilaku masyarakat mencegah suap atau korupsi sehingga praktik ini dianggap hal biasa. Memanipulasi pertanggungjawaban administrasi, misalnya, menjadi pekerjaan normal sehari-hari. Mengurus izin tanpa suap malah dianggap aneh.
Studi korupsi dan suap pada 2014 yang berlanjut hingga 2018 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menyimpulkan bahwa suap/korupsi bukan semata perilaku perorangan. Suap dan korupsi menjadi segmen kerja tidak terpisahkan dalam instruksi atasan-bawahan.
Kajian transaksi dalam perizinan pada periode itu saya lanjutkan melalui berbagai pertanyaan informal dengan berbagai pihak sampai 2022. Transaksi dalam pengurusan izin tidak berhenti. Apakah korupsi itu juga dipengaruhi oleh sanksi dan pola hukuman?
Artikel National Institute of Justice, USA, pada Juni 2016 berjudul “Five Things About Deterrence” memulainya dengan pertanyaan: Apakah hukuman bisa mencegah kejahatan? Jika demikian, bagaimana, dan sejauh mana? Publikasi itu merangkum sejumlah besar penelitian terkait pencegahan kejahatan dalam lima poin.
Pertama, jika seseorang merasa ia akan tertangkap oleh penegak hukum karena melakukan korupsi menjadi cara yang ampuh mencegah sebuah kejahatan dibanding dengan hukuman. Dengan meningkatnya kasus-kasus korupsi di Indonesia menunjukkan para pelakunya merasa tak akan terdeteksi oleh penegak hukum.
Kedua, memasukkan seorang yang tertangkap melakukan kejahatan ke dalam penjara ternyata tak efektif mencegah kejahatan. Penjara hanya bagus untuk menghukum penjahat tapi tidak menghalangi kejahatan serupa di masa depan. Penjara justru memberikan peluang kepada penjahat mempelajari strategi kejahatan yang lebih efektif.
Ketiga, patroli bisa mencegah kejahatan ketimbang undang-undang baru yang menambah waktu hukuman. Kehadiran para penegak hukum dengan borgol, pistol, dan radio komunikasi di sekitar area kejahatan ternyata lebih ampuh mencegah seorang penjahat berbuat kriminal.
Keempat, naiknya hukuman tidak banyak membantu mencegah kejahatan sebab penjahat atau calon penjahat biasanya hanya tahu sedikit tentang sanksi kejahatannya.
Kelima, hukuman mati tidak membuat jera pelaku kejahatan. Para penjahat tetap melakukan kejahatan-kejahatan dengan sanksi hukuman mati sejak vonis ini diberlakukan.
Sejalan dengan publikasi National Institute of Justice itu, dalam esainya pada 2013, “Deterrence in the Twenty-First Century,” Daniel S. Nagin meringkas teori dan pengetahuan empiris tentang pencegahan kejahatan. Menurut dia, ada perbedaan penting antara ketidakmampuan dengan mencegah sebuah tindak kejahatan.
Seseorang di dalam penjara tidak membuat kejahatan tambahan—ini kasus di penjara luar Indonesia—karena bui membuat para terhukum tidak mampu melakukannya. Bagi mereka yang ada di luar penjara, terungku bisa menjadi pencegah sebuah kejahatan. Artinya, imajinasi tentang hukuman bisa mencegah orang berbuat jahat.
Hukuman penjara yang lama juga ternyata tak membuat efek jera signifikan dibanding hukuman yang pendek. Hukuman yang singkat justru bisa menjadi pencegah sebuah kejahatan—terutama bagi mereka yang punya kejerian pada hukuman bui.
Dengan begitu, bagaimana mode hukuman yang tepat untuk mencegah korupsi? Dari studi-studi itu terlihat bahwa penegak hukum yang tegas bisa mencegah sebuah kejahatan. Penegak hukum yang independen bisa menjadi alat efektif mencegah korupsi.
Pada dasarnya orang takut pada hukuman. Sehingga masyarakat akan punya imajinasi yang buruk jika kita memiliki penegak hukum yang tak pandang bulu terhadap pelaku kejahatan. Masyarakat akan jeri dengan penegak hukum yang independen karena mereka punya persepsi akan tertangkap jika melakukan sebuah kejahatan.
Hukuman penjara jelas bukan cara yang efektif mencegah kejahatan, selain membebani keuangan negara karena dana publik terpakai untuk menyediakan kebutuhan mereka yang dihukum. Para penegak hukum yang bebas dari kepentingan politik, para penegak hukum yang memakai undang-undang secara tegas, adil, dan transparan, jauh lebih efektif sebagai alat pencegah sebuah kejahatan di masyarakat.
Ikuti percakapan tentang tata kelola mencegah korupsi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :