Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 31 Juli 2023

Harga Gaharu Menggila, Mengapa Petani Tak Sejahtera?

Di pasar global harga gaharu tinggi. Tapi mengapa petani tak kunjung sehahtera?

Harga kayu gaharu

GAHARU merupakan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) asli Indonesia yang harganya di pasar dunia begitu tinggi. Untuk kualitas super, harganya mencapai Rp 1,5 miliar per kilogram. Produk gaharu merupakan resin yang mayoritas berasal dari famili Thymelaeaceae. Persebarannya di Indonesia dari Sumatera sampai Papua, dengan spesies yang beragam.

Mengapa kayu gaharu begitu mahal? Ini tidak lepas dari tingginya permintaan terhadap produk tersebut. Timur Tengah, Cina, dan Taiwan merupakan pasar terbesar ekspor gaharu dari Indonesia. Ironisnya, selama beberapa dekade ekspor gaharu dari Indonesia tidak langsung ke negara-negara tersebut, namun harus melalui negara perantara seperti Singapura.

Konstruksi Kayu

Importir dari Singapura yang kemudian mengekspor gaharu dari Indonesia, dengan harga yang jauh lebih tinggi. Dengan demikian, dalam catatan perdagangan global, ekspor gaharu dari Singapura paling besar, bukan Indonesia, dengan keuntungan terbesar juga diterima pedagang Singapura.

Baru pada 2011 Indonesia dapat mengekspor langsung gaharu ke luar negeri tanpa melalui perantara. Dengan demikian keuntungan lebih besar dapat dinikmati eksportir Indonesia.

Selama ini pemenuhan pasar gaharu diperoleh dari perburuan di alam dengan lokasi paling banyak dilakukan di hutan Kalimantan. Perburuan yang begitu masif membuat ketersediaannya di alam semakin menyusut. Apalagi perburuan acapkali dilakukan dengan pola yang tidak lestari, yakni dengan sistem tebang habis atas pohon yang terdapat kandungan gaharu. Padahal dalam satu pohon, kandungan gaharu dengan kualitas super sangat kecil, bahkan sering kali tidak ada.

Perburuan kayu gaharu yang terus-menerus membuat tanaman penghasil gaharu, khususnya species Aquilaria malaccensis masuk Appendix II CITES. Konsekuensinya, peredaran dan pedagangannya harus dikontrol untuk menjaga kelestariannya di alam.

Karena pola perdagangannya bersifat khusus, perdagangan gaharu memerlukan izin khusus bagi pengedar. Ini sekaligus membuat masyarakat tidak bebas memperjualbelikannya. Pola perdagangan yang harus di bawah kontrol ini tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan regulasi. Di lapangan, masih banyak pelanggaran, baik dalam perburuannya di alam, maupun dalam prosedur dan jalur pengirimannya.

Di hutan Kalimantan, penerapan kuota dalam perburuan sebenarnya sangat tepat. Namun dalam implementasinya, kuota tersebut sering kali tidak berjalan, atau dijalankan secara kucing-kucingan antara mereka yang bermain dalam transaksi gaharu, dengan aparat penegak hukum. Terkait perdagangan gaharu, beberapa kali media meliput kasus perdagangan ilegal gaharu.

Pada Maret 2021, di pelabuhan Ambon ditemukan 1.950 kilogram gaharu yang dikirim dengan dokumen pengiriman menggunakan dokumen angkut kakao. Kejadian yang hampir sama terjadi pada bulan Oktober 2022 di mana sebanyak 6 kg gaharu dipalsukan dokumen pengirimannya di mana dalam manifest dinyatakan sebagai kayu manis. Dampak dari banyaknya perburuan dan perdagangan ilegal tersebut, kelestarian gaharu di alam terus terancam. 

Kelangkaan gaharu di alam membuat permintaan gaharu terus meningkat. Untuk memenuhinya perlu budidaya gaharu. Tidak saja untuk memenuhi suplai gaharu di pasar dunia, juga memberi insentif lebih besar kepada petani. Para pemburu gaharu di alam juga bisa beralih menjadi pembudidaya gaharu sehingga kegiatannya menjadi legal.

Hambatan budidaya gaharu, jika melihat penyebabnya, terdapat beberapa hal. Pertama, kualitas gaharu hasil budidaya masih jauh di bawah gaharu hasil perburuan di alam. Dari hasil perburuan di alam, pemburu dapat memperoleh gaharu dengan kualitas super yang bernilai ratusan juta, hingga lebih dari Rp 1 miliar per kilogram. Sementara itu gaharu hasil budidaya tingkat paling rendah (kelas kemedangan) hanya ratusan ribu rupiah di tingkat petani.

Kedua, belum dikuasainya teknik dan jalur pemasaran oleh petani. Meskipun produk dari gaharu hasil budidaya masih tergolong rendah, di pasar global permintaan gaharu kelas kemedangan tetap tinggi. Bahkan dilihat dari sisi volume permintaan, sebagian besar perdagangan gaharu justru ada pada kelas kemedangan. Persoalan yang terjadi petani belum menguasai teknik pemasaran dan seluk beluk jalur pemasarannya.

Mengingat gaharu merupakan produk yang dikontrol peredarannya dan dikenakan sistem kuota, dalam perdagangannya juga harus mematuhi beberapa prosedur. Dalam pengangkutan, dibutuhkan bukti dokumen yang disebut dengan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN) dan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Luar Negeri (SATS-LN). 

Di Batang, Jawa Tengah, ribuan pohon penghasil gaharu yang dibudidayakan puluhan petani mati. Kematian pohon diakibatkan oleh ketidaktahuan petani dalam teknik inokulasi gaharu. Diiming-imingi tawaran pihak yang melakukan inokulasi dengan cairan inokulan tertentu, petani merelakan pohonnya disuntik dengan cairan. Harapan menikmati panen melimpah, berujung kerugian miliaran rupiah. Di daerah lain juga banyak terjadi hal serupa.

Sebagai solusi, perlu pemberdayaan petani yang dilakukan dengan upaya berikut:

Pertama, memberikan pelatihan dan transfer teknologi inokulasi gaharu dan pemanenan hasil ikutannya kepada petani. Inokulasi menghasilkan resin gaharu dengan cara menyuntikkan inokulan pada pohon penghasil gaharu. Untuk mendapatkan inokulan, petani bekerja sama dengan produsen inokulan dengan hasil panen . Setelah inokulasi, petani bisa mandiri melakukannya.

Kedua, penguasaan rantai pasar gaharu melalui koperasi petani. Selama ini rantai pasar gaharu semi tertutup, karena sistem kuota. Kuota sebagai konsekuensi dari gaharu sebagai produk hasil hutan yang dilindungi. Akhirnya hanya pihak yang mendapatkan kuota yang dapat masuk ke dalam rantai pasar gaharu. Untuk masuk ke dalam rantai pasar gaharu, petani perlu mengorganisasikan diri dalam wadah kelompok dan koperasi.

Koperasi juga dapat mewadahi kepentingan petani dalam investasi alat dan teknologi inokulasi dan penyulingan gaharu sehingga nilai tambahnya langsung didapatkan oleh petani. Dengan koperasi, rantai perdagangan gaharu dapat dipangkas sehingga petani langsung menjangkau pedagang besar atau bahkan konsumen langsung.

Ikuti percakapan tentang hasil hutan bukan kayu di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti pada Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sejak Maret 2022

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain