Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 02 Agustus 2023

Problem Kebijakan Satu Peta di Sektor Kehutanan

Untuk menghindari tumpang-tindih penggunaan lahan, ada kebijakan satu peta. Bisakah sektor kehutanan bergabung dengan sektor lain?

Kebijakan satu peta di sektor kehutanan

KEBIJAKAN satu peta menjadi isu yang timbul-tenggelam. Kebijakan ini penting di tengah tumpang tindih pemakaian lahan untuk pelbagai kepentingan: kehutanan, pertambangan, pertanian, perkebunan. Dengan kebijakan satu peta, sistem referensi akan sama, yaitu pengukuran dan metode pemetaan sehingga menghasilkan peta yang lebih konsisten dan kredibel.

Penggunaan standar yang sama, yaitu aturan, prosedur, dan spesifikasi yang sama, akan menghasilkan konsistensi format, kaidah dan aspek teknis yang sama. Dengan demikian kebijakan satu peta mempermudah pertukaran informasi antar sektor/instansi. Dengan basis data yang sama, peta penggunaan lahan akan konsisten, terbuka, dan transparan.

Sektor kehutanan merupakan sektor yang khusus dan unik. Kenapa? Meskipun luas hutan di Indonesia secara hukum 120,3 juta hektare (atau lebih dari 60 Persen luas daratan Indonesia); kewenangannya ada di satu lembaga, yaitu di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan, tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan/atau mengubah status kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.

Oleh karena itu, menurut saya, kebijakan satu peta di sektor kehutanan tidak bisa digabung dengan sektor lain, misalnya sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor lainnya. Sektor agraria dan pertanahan sekalipun tidak bisa mencampuri urusan sektor kehutanan, karena kewenangannya berbeda. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional berwenang mengurus lahan di luar kawasan hutan. Kawasan hutan menjadi tanggung jawab dan kewenangan sepenuhnya KLHK. 

Sudah sejak lama KLHK mengembangkan kebijakan satu melalui citra satelit. Karena itu, apabila terjadi perambahan/penyerobotan kawasan hutan secara ilegal untuk kepentingan nonkehutanan, seperti perkebunan sawit dan pertambangan, akan sangat mudah dideteksi, meskipun batas-batas kawasan hutan belum dilakukan penetapan/pengukuhan hutan (pemasangan pal-pal tata batas kawasan hutan).

Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang kehutanan, dengan sangat jelas menyebutkan di pasal 1 bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Sedangkan penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas, dan luas suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.

Dalam PP 44/2004 tentang perencanaan hutan maupun PP 23/2021 tentang penyelenggaraan hutan, penetapan hutan hanya sebagian dari rangkaian pengukuhan hutan yang terdiri dari kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan.

Jadi jelas lahan atau wilayah tertentu yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap sudah dapat disebut sebagai kawasan hutan.

Kebijakan satu peta untuk pengurusan hutan yang telah lengkap dilakukan oleh pemerintah adalah peta pembagian fungsi kawasan hutan menjadi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.

Menurut buku “The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020” yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia 120,3 juta hektare, yang terdiri dari 22,9 juta hektare hutan konservasi, 29,6 juta hektare hutan lindung, 26,8 juta hektare hutan produksi terbatas, 29,2 juta hektare hutan produksi biasa dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversi.

Dari 120,3 juta hektare itu, yang boleh diusahakan untuk kegiatan ekonomi hanya seluas 68,8 juta hektare. Dalam kawasan hutan produksi terdapat dua peta penting yang terkait dengan izin atau persetujuan pemanfaatan kawasan hutan dan atau penggunaan hutan. Khusus untuk izin pemanfaatan hutan produksi yang berskala besar dan luas, petanya jelas dan terukur, yakni izin usaha pemanfaatan hutan hasil hutan.

Yang belum jelas adalah kebijakan satu peta untuk persetujuan penggunaan kawasan hutan. UU41/1999 pasal 38 ayat (1) menyebut bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Pembangunan nonkehutanan di dalam kawasan hutan antara lain untuk pembangunan jalan, pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.

Mekanisme membangun jalan di kawasan hutan lindung melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari KLHK. Masalahnya, dari IPPKH yang telah terbit tidak ada penjelasan di mana saja letaknya dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi. 

Satu lagi peta yang belum jelas di sektor kehutanan adalah kegiatan rehabilitasi hutan berupa penanaman tanaman hutan yang telah dilakukan sejak Instruksi Presiden Reboisasi dan Penghijauan tahun 1976. Kini namanya berubah menjadi program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Sudah hampir 47 tahun kegiatan penanaman di dalam kawasan hutan, tapi tak jelas lokasi dan hasilnya.

Belum lagi, peta pelepasan kawasan hutan yang akan beralih fungsi dan statusnya menjadi hak guna usaha. HGU berada di bawah kewenangan Kementerian ATR/BPN. Pada 1984-2020, luas kawasan hutan yang telah dilepaskan menjadi HGU dan sejenisnya dan tak lagi menjadi hutan negara seluas 7.327.651 hektare. Pertanyaannya, apakah luas pelepasan kawasan hutan ini sudah masuk dalam kebijakan satu petan bagi hutan produksi yang dapat dikonversi?

Ikuti perkembangan terbaru tentang kebijakan satu peta di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain