DAMPAK kekeringan di daerah aliran sungai (DAS) Capluk di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, berdampak terhadap masyarakat di bagian tengah DAS, mereka yang berdiam di Kecamatan Sulang dan Sumber.
Untuk menghadapi dan mencegah dampak kekeringan, masyarakat di daerah ini menerapkan kearifan lokal. Untuk menunjang kegiatan pertanian yang menjadi mata pencarian mayoritas penduduk, mereka membangun beberapa embung secara swadana maupun dengan bantuan pemerintah. Sayangnya, beberapa embung pertanian mengering di tengah musim kemarau.
Para petani mulai melirik komoditas pertanian yang tahan kekeringan, salah satunya adalah tembakau. Pertanian tembakau berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Kecamatan Sulang memiliki kawasan pertanian tembakau terluas di Kabupaten Rembang, 1.100 hektare. Data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Rembang menyebutkan produksi tembakau di Kecamatan Sulang pada 2021 terbesar di kabupaten ini.
DAS Capluk memang bukan DAS prioritas untuk rehabilitasi hutan dan lahan. Capluk merupakan salah satu DAS di pesisir utara Pulau Jawa, yang berada di kawasan dataran rendah. Ketinggiannya bervariasi antara 0 sampai 255 meter dari permukaan laut. Daerahnya meliputi area 218,4 kilometer persegi, berada di empat kecamatan, yaitu Rembang, Kaliori, Sulang, Sumber, dan Bulu. Bagian hulu DAS berada di Kecamatan Bulu, sedangkan hilirnya di Kecamatan Rembang dan Kaliori.
Jika Rembang merupakan kecamatan kota pusat pemerintahan kabupaten, Kecamatan Kaliori terletak di sebelah timurnya dengan segudang potensi tambak perikanan maupun tambak garam, dan dialiri oleh banyak sungai kecil di sekitarnya.
Hulu DAS ini tertutupi oleh hutan namun di area ini pula terdapat bentang alam karst. Sungai bawah tanah di kawasan karst memang berkembang dan menyimpan sumber daya air melimpah. Sayangnya, aliran permukaannya tidak berkembang sebaik aliran bawah. Oleh sebab itu, jika tidak ada mata air, masyarakat di sekitar bentang alam karst akan berpotensi mengalami kekeringan.
Air permukaan menjadi sumber air bersih bagi masyarakat lokal di DAS Capluk, di antaranya adalah sungai Karanggeneng, waduk Banyukuwung, dan embung Sambongan. Karena kekeringan telah menjadi karakter alami DAS Capluk, air permukaan juga turut mengering ketika musim kemarau. Banyak anak sungai hanya menyisakan alur yang tidak teraliri.
Selain tembakau, masyarakat juga menanami lahan milik dengan jati. Jati merupakan tanaman keras yang tumbuh sangat baik di daerah kapur seperti Rembang. Pohon ini tahan terhadap kekeringan. Siklusnya yang panjang dan tidak memerlukan perawatan intensif menyebabkan jenis ini digandrungi.
Jika melihat penutupan lahan di Google Earth Imagery, banyak spot-spot kecil di tengah kawasan pertanian yang ditumbuhi tanaman keras yang rapat. Artinya, jati masih menjadi primadona bagi para pemilik lahan.
Tanaman yang populer di Rembang selain jati, juga pohon lontar, yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai siwalan atau bogor. Bogor banyak dijumpai di pematang tegalan. Pohon ini mampu memproduksi air nira maupun buah sepanjang tahun, yang bisa menjadi sumber pendapatan ekonomi masyarakat.
Di Desa Pedak, Kecamatan Sulang, masyarakat membuka wahana “Seribu Bogor”, dan menjadi satu-satunya desa wisata di Rembang yang mengusung bogor sebagai tema utama. Wahana yang telah memiliki berbagai fasilitas penunjang ini menyediakan kuliner lokal berupa siwalan dan legen (buah dan nira bogor).
Di daerah permukiman, masyarakat umumnya memiliki penampungan air yang relatif lebih besar. Misalnya bak kamar mandi yang mampu menampung satu meter kubik air, hingga sumur tandon yang hampir dimiliki oleh semua rumah tangga dengan tingkat perekonomian menengah ke atas.
Saat musim hujan, air hujan dialirkan ke sumur-sumur tandon milik penduduk, agar bisa dimanfaatkan saat musim kemarau datang. Proses ini mirip dengan prinsip pemanenan air hujan secara sederhana, hanya saja masih menyisakan limpasan permukaan yang besar jika hujan turun dengan intensitas yang tinggi (Baca: Cara Panen Air Hujan).
Mereka yang tingkat kesejahteraannya menengah ke bawah seringkali mengambil air dari sumber air permukaan yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu, permukiman di bagian tengah DAS Capluk terdispersi mengikuti alur sungai atau sumber air permukaan lainnya.
Kini masyarakat berpikir lebih kritis dalam upaya penyediaan air bersih untuk konsumsi rumah tangga. Mereka yang bermukim di dekat sumber mata air memasang pipa secara swadana untuk mengalirkan air ke rumah. Proses ini diatur secara mufakat oleh warga setempat. Sebagaimana yang terjadi di Desa Jatimudo, Kecamatan Sulang.
Mereka memasang pipa untuk mengalirkan air dari embung Sambongan. Embung Sambongan merupakan salah satu mata air yang jarang surut sepanjang tahun. Peran serta aktif dari masyarakat menjadi kunci utama dalam menghalau dampak kekeringan. Kepedulian mereka akan menumbuhkan rasa memiliki, sehingga sumber daya alam yang ada di sekitarnya akan terjaga kelestariannya.
Ikuti percakapan tentang dampak kekeringan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :