Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 06 Agustus 2023

Inovasi Restorasi Rawa Gambut Rendah Emisi

Sebagai pengendali iklim, restorasi gambut perlu rendah emisi. Tawaran inovasi restorasi gambut yang lestari.

Inovasi 4N dalam restorasi rawa gambut yang rendah emisi

INDONESIA memiliki lahan rawa gambut terluas di Asia Tenggara, dan terluas ketiga di dunia. Sebagai ekosistem penyerap emisi, gambut bisa menjadi pengendali iklim. Lahan gambut Indonesia diperkirakan mampu menyimpan setidaknya 28,1 Giga ton karbon dan merupakan habitat berbagai spesies tanaman, hewan, dan mikroba. Namun, lahan gambut saat ini banyak yang terdegradasi sehingga berpotensi menyumbang emisi yang berkepanjangan.

Oksidasi gambut terjadi karena kebakaran dan kanalisasi yang tidak terkendali. Padahal, di tingkat nasional, gambut sebagai sektor berbasis lahan diharapkan menjadi kontributor utama penurunan emisi. Upaya mengurangi kebakaran gambut dan meningkatkan serapan karbon di lahan gambut sejauh ini dilakukan melalui reforestasi sebagai salah satu aktivitas untuk mencapai program FOLU net sink 2023.

Konstruksi Kayu

Restorasi rawa gambut telah berkembang dan meluas secara spasial, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Kegiatan restorasi diinisiasi oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah dan pihak swasta, dengan kegiatan utama perbaikan hidrologi. Di balik pentingnya kegiatan pembasahan lahan gambut, banyak studi yang menekankan pentingnya peran penutupan vegetasi di atas permukaan untuk menjaga kelembaban tanah dalam jangka panjang .

Upaya pembasahan lahan gambut harus diikuti dengan kegiatan revegetasi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan penegakan hukum untuk menjamin keberhasilan dan keberlanjutan program restorasi.

Meski restorasi lahan gambut menghasilkan manfaat karbon tinggi, penting memastikan keseluruhan proses tidak menghasilkan sumber emisi lain sehingga bisa mengurangi serapan karbon yang dihasilkan dari pertumbuhan tanaman.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim (PustanDPI) bekerja sama dengan The Mushroom Initiative (TMI), telah menerapkan konsep inovasi 4N: “No Burning, No Plastic, No Chemical Fertilizer, dan Native Species” yang diintegrasikan dalam konsep restorasi rendah emisi.

Konsep inovasi 4N mengedepankan prinsip keberlanjutan untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial dari setiap fase aktivitas reforestasi, dari pembibitan, penanaman, hingga fase pemeliharaan yang menjadi titik kritis keberhasilan kegiatan reforestasi di lahan gambut.

Fase pemeliharaan menjadi tahapan penting. Upaya membebaskan tanaman dari penutupan semak belukar dan perlindungan terhadap kebakaran akan menjamin keberhasilan kegiatan reforestasi. Setidaknya ada lima SDGs yang teridentifikasi menjadi kontribusi proyek, yaitu: no poverty, gender equality, climate action, life on land, partnership for the goal.

Konsep 4N telah diaplikasikan pada dua area reforestasi gambut The Mushroom Initiative di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah; dan Pedamaran, Sumatera Selatan. Berikut ini implementasi inovasi 4N di dua area rawa gambut tersebut:

Tanpa plastik

Untuk proses pembibitan pada kegiatan penanaman per hektare dengan jarak tanam 3 x 3 meter, jumlah plastik polybag yang dibutuhkan mencapai 1.650 unit yang setara dengan ± 9 kilogram plastik. Untuk mengurangi penggunaan plastik, reforestasi proyek ini menggunakan polybag berbahan purun yang diproduksi masyarakat lokal sekitar proyek.

Purun dikumpulkan dari rawa gambut dan dianyam oleh perempuan desa di sekitar area proyek. Pot anyaman purun merupakan produk organik yang secara alami terdekomposisi di tanah sekaligus memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah memastikan polybag purun tahan dalam jangka panjang (lebih dari enam bulan) dan harga yang lebih terjangkau dibandingkan produk berbahan plastik.

Polybag berbahan purun

Saat ini, produk pot purun dijual Rp 1.500-2.000 per pot. Perlu usulan penambahan Standard Biaya Umum (SBU) pengadaan pot organik khusus kegiatan restorasi pada ekosistem gambut kepada Kementerian Keuangan. Apabila terdapat mekanisme insentif dari pengurangan penggunaan plastik, misalnya kredit plastik, manfaat tambahan akan mendorong inovasi produk purun serta mengganti biaya tambahan yang dibutuhkan pelaku reforestasi dalam menggunakan pot purun saat tahap pembibitan.

Penggantian polybag plastik 9 kilogram per hektare dengan pot purun berkontribusi pada penghindaran emisi sebanyak 54 kilogram setara CO2 per hektare yang bersumber dari penggunaan energi memproduksi plastik dan proses pengolahan limbahnya.

Tanpa bakar

Data nasional lahan gambut telah menyingkap lahan terdegradasi yang kian meluas. Di luar masalah kepemilikan lahan, rendahnya pemanfaatan area terdegradasi dikarenakan mahalnya proses pembersihan lahan dan perawatan area penanaman. Untuk mengganti biaya yang cukup tinggi, pemilik lahan menggunakan metode pembakaran saat tahap pembersihan lahan sebelum penanaman.

Metode bakar lahan skala kecil bisa memicu kebakaran lebih besar api yang tersimpan di bawah tanah. Selain itu, dalam jangka panjang, teknik membakar lahan akan mengubah kondisi tanah gambut dan mikro organisme tanah, serta melepaskan polutan PM2.5 yang berbahaya bagi atmosfer (Baca: Praktik Mengolah Lahan Tanpa Bakar Tanpa Kimia)

Pemerintah Indonesia telah melarang pembakaran lahan dalam membersihkan lahan melalui Undang-Undang 32/2009. Dengan konsep 4N, pembersihan lahan dilakukan dengan tenaga manusia dalam membersihkan semak tumbuhan paku dan menyingkirkan sampah kayu. Selain menyerap tenaga kerja, aktivitas ini menghindarkan emisi dari penyiapan lahan jika dibakar yang diperkirakan melepas emisi karbon sebanyak 290 ton setara CO2 per hektare.

Tanpa pupuk kimia

Banyak studi yang menyingkap peningkatan penggunaan pupuk kimia di lahan pertanian. Meski penggunaan pupuk kimia untuk menjaga nilai produksi, dalam jangka panjang bisa mengubah kondisi ekologi, pencemaran lingkungan, dan keanekaragaman hayati di lahan .

Konsep 4N menyajikan opsi mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia melalui pemanfaatan ektomikoriza untuk kegiatan reforestasi pada fase pembibitan. Di lokasi kegiatan reforestasi The Mushroom, peneliti menginokulasi jamur Scleroderma columnare yang dominan di area pembibitan”. Ektomikoriza membantu mengambil nutrisi makanan untuk pohon di area reforestasi.

Penggantian penggunaan pupuk kimia pada area reforestasi berkontribusi pada penghindaran emisi sebanyak 1,65 kilogram N2O-N setiap pengurangan 1.000 kilogram pupuk NPK (IPCC 2006). Kegiatan reforestasi The Mushroom Initiative diperkirakan menghindarkan penggunaan pupuk NPK hingga 187 kilogram per hektare sehingga mencegah pelepasan emisi sebanyak 82 kilogram setara CO2 per hektare.

Penggunaan tanaman asli

Kegiatan restorasi rawa gambut semestinya disesuaikan dengan konteks lokal, termasuk pemilihan spesies. Dalam konsep 4N, kegiatan reforestasi difokuskan pada penanaman tanaman lokal dan asli lahan gambut. Pada dua lokasi proyek reforestasi The Mushroom Initiative, jenis spesies yang digunakan disesuaikan dengan ketersediaan bibit tanaman lokal.

Total ada 34 spesies yang telah ditanam di Tumbang Nusa dan 32 spesies di Pedamaran. Di antara banyak spesies asli, jenis balangeran (Shorea balangeran), pelawan (Tristaniopsis obovata), jelutung (Dyera polyphylla), dan tembesu (Fragraea fragrans) menunjukkan resiliensi atau daya hidup tertinggi.

Tingkat pertumbuhan tanaman sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis dan kondisi hidrologi pada area reforestasi. Pada plot kegiatan penanaman tahun 2010, pertumbuhan beberapa jenis tertentu seperti balangeran dan jelutung mencapai 2 sentimeter per tahun.

Proses fotosintesis yang hasilnya digunakan untuk pertumbuhan dan tersimpan dalam biomassa tanaman akan menyerap gas CO2 yang menjadi sumber emisi utama gas rumah kaca. Pada kegiatan penanaman dengan jarak tanam 3 x 3 meter dengan pertumbuhan diameter sebesar 2 sentimeter per tahun itu, karbon dioksida yang terserap diperkirakan sebanyak 53 ton per hektare per tahun.

Dengan begitu, inovasi 4N dalam restorasi lahan gambut terdegradasi bisa menjadi solusi iklim berbasis alam. Selain rendah emisi, inovasi 4N bisa berkelanjutan karena memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.

Dari perhitungan sementara, pilot proyek reforestasi The Mushroom Initiative seluas 100 hektare diperkirakan akan mencegah emisi gas rumah kaca hingga 29.000 ton setara CO2 dan peningkatan serapan karbon sebanyak 5.000 ton setara CO2 per tahun.

Pemerintah Indonesia baru saja merilis Peraturan Presiden No.98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang kemudian diturunkan dalam aturan tata laksana penerapan NEK melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Keberadaan pasar karbon domestik dan luar negeri, akan memberikan peluang ekonomi kegiatan mitigasi iklim sektor lahan.

Selain itu, inovasi kegiatan reforestasi, seperti pada konsep 4N menjadi penting diperluas karena memberikan posisi tawar tersendiri bagi pelaksana proyek untuk memperoleh harga karbon yang premium dan/atau mekanisme insentif atas aspek keberlanjutannya.

Ikuti percakapan tentang restorasi lahan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti ahli madya pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Klimatologi Terapan, IPB

Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Peneliti Pusat Riset Mikrobilogi Terapa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain