EKSPLOITASI mineral dan batu bara sedang menjadi sorotan dunia internasional. Kebijakan Presiden Joko Widodo yang menyetop ekspor langsung bahan baku tambang, lalu fokus mengolahnya di dalam negeri, membuat sejumlah negara Eropa menggugatnya ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dana Moneter Internasional (IMF) juga memperingatkan dampak hilirisasi ini.
Saat mengukuhkan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) periode 2023-2028 pada 31 Juli 2023, Jokowi menyebut hilirisasi akan menyasar semua sektor. Menurut Presiden, hilirisasi nikel meningkatkan nilai tambah ekspor dan meningkatkan lapangan kerja berlipat kali.
Menurut Jokowi, sebelum hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah terjadi, hanya 1.800 pekerja yang terserap di pengolahan nikel. Setelah hilirisasi, setidaknya 71.500 tenaga kerja terserap. Hal serupa terjadi di Maluku Utara. Sebelum hilirisasi nikel, hanya 500 pekerja yang terserap di pengolahan nikel, setelahnya menjadi 45.600 pekerja.
Nilai ekspornya juga meningkat dari US$ 2,1 miliar pada 2014-2015 menjadi US$ 33,8 miliar atau Rp 510 triliun pada 2022. Perizinan pertambangan nikel hingga 2023 berada di urutan kedua setelah emas dengan luas hampir 900.000 hektare. Entitas pertambangan nikel menjadi yang terbanyak dengan jumlah 319 perizinan.
Masalahnya adalah ekspansi tambang secara besar-besaran bisa memicu laju deforestasi baru di tengah upaya pemerintah sedang menekan emisi gas rumah kaca dan menurunkan emisi karbon melalui program FOLU Net Sink 2030. Celakanya lagi, ekspansi tambang dalam kawasan hutan hingga saat ini masih diizinkan tidak hanya dilakukan di dalam kawasan hutan produksi saja tetapi juga dapat dilakukan di dalam kawasan hutan lindung.
Dalam Undang-Undang 26/ 2007 tentang penataan ruang, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Bersama dengan kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung masuk dalam lima kriteria kawasan lindung yang dimaksud dalam UU Penataan Ruang tersebut. Hutan lindung bersama dengan kawasan bergambut, dan kawasan resapan air; masuk dalam kawasan lindung dengan kriteria kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya.
Lain halnya dengan kawasan hutan produksi. Dalam UU 26/2007 hutan produksi masuk ke dalam kawasan budidaya yang dampak lingkungannya tidak signifikan dibanding dengan kawasan lindung apabila terjadi kerusakan lingkungan. Kenapa kegiatan pertambangan diizinkan di hutan lindung?.
Dalam UU 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, tidak disebutkan secara tersurat kegiatan pertambangan dapat diizinkan dilakukan dalam kawasan hutan. Baru pada UU 41/1999 tentang kehutanan, secara tersurat dalam pasal 38 ayat (1) disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Kegiatan pembangunan nonkehutanan yang dimaksud adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain pertambangan, pembangunan jalan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan izin pinjam pakai yang dikeluarkan Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Pada kawasan hutan lindung terlarang penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
Begitu strategisnya kegiatan pertambangan di kawasan hutan dalam memberikan dan menyumbang pendapatan negara, sampai–sampai pada tahun 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menganulir UU41/1999 dengan Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang (Perpu) Nomor 1/2004 pada 11 Maret 2004, untuk menyelesaikan tumpang-tindih areal pertambangan dengan hutan lindung sekaligus mengakomodasi izin tambang bagi 13 perusahaan untuk melanjutkan kegiatan produksinya.
Perpu itu dibuat untuk memberi kepastian kepada investor karena pada 2004 merupakan tahun investasi. Perpu tersebut menambah ketentuan baru dalam UU 41/1999, terutama pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum UU 41/1999, tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.
Regulasi dalam UU 41/1999 diturunkan lagi menjadi PP 24/2010 tentang penggunaan kawasan hutan dan diatur dalam pasal 5 ayat (1b) yang menyebut bahwa dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan terlarang mengakibatkan: 1) turunnya permukaan tanah; 2) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan3) terjadinya kerusakan akuiver air tanah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penambangan bawah tanah pada hutan lindung diatur dengan Peraturan Presiden 28/2011 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk
penambangan bawah tanah. Dalam Perpres ini dijelaskan bahwa penambangan bawah tanah di hutan lindung adalah penambangan yang kegiatannya dilakukan di bawah tanah (tidak langsung berhubungan dengan udara luar) dengan cara terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) atau terowongan (tunnel) atau terowongan buntu (adit) termasuk sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan produksi di hutan lindung.
Dalam Perpres yang ditandatangani Presiden SBY ada pasal 6 ayat (5) yang menyebutkan bahwa dalam hal pemohon yang mendapat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan lindung dengan kompensasi lahan bagi pinjam pakai kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30%dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau, menyediakan dan menyerahkan kompensasi lahan dengan rasio paling sedikit 1:2.
Ketentuan ini juga diulang dan dipertegas kembali dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 27/2018 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan dalam pasal 5 ayat (2). Sayangnya, PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, turunan UU Cipta Kerja, ketentutan lahan pengganti inidihapus, diganti dengan membayar PNBP kompensasi, bagi pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan pada provinsi yang kurang kecukupan luas kawasan hutannya (PP 23/2021, pasal 99 ayat (1).
Penggantian lahan kompensasi dengan PNBP kompensasi pada kegiatan penambangan bawah tanah di hutan lindung oleh para pihak dan pengamat lingkungan dituding tidak adil dan tidak prolingkungan karena tarif PNBP yang murah.
Data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK periode tahun 1984-2020 menunjukkan luas IPPKH pertambangan yang diterbitkan oleh pemerintah sejak Orde Baru seluas 529.966 hektare. Pada era Soeharto luasnya 53.101 hektare, era Habibie 21.196 hektare, era Gus Dur 32.110 hektare, era Megawati 1.474 hektare, era SBY 305.070 hektare, dan era Jokowi 11.106 hektare. Tidak ada rincian luas area pertambangan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Ikuti percakapan tentang pertambangan di kawasan hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :