DI Teluk Youtefa, Papua, ada hamparan mangrove berumur ratusan tahun seluas 233,12 hektare. Tidak sembarang orang bisa memasuki hutan mangrove ini. Hanya perempuan yang diizinkan memasukinya. Maka dari itu, hutan mangrove tersebut disebut juga sebagai hutan perempuan.
Hutan perempuan sudah lama menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat Enggros dan Nobati yang tinggal di dekatnya. Bagi masyarakat Enggros, hutan mangrove Teluk Youtefa adalah tempat mereka mencari hasil laut, salah satunya kerang atau bia dalam bahasa Enggros. Secara turun-temurun, mereka menjaga kelestarian hutan perempuan.
Sejak kecil, penduduk Enggros mendapatkan pelajaran tentang tradisi Tonotwiyat. Tonot artinya hutan bakau dan wiyat yang artinya ajakan. Perempuan Enggros rutin mengunjungi hutan bakau Youtefa, untuk mencari bia atau sekadar bertukar cerita.
Sejatinya hutan ini tidak eksklusif untuk perempuan. Laki-laki juga boleh memasuki hutan ini untuk mencari kayu bakar. Tapi itu hanya boleh dilakukan saat tak ada perempuan di hutan tersebut. Jika masih ada perempuan di sana, laki-laki yang memasuki hutan perempuan akan mendapat sanksi adat dan membayar denda berupa manik-manik yang nilainya mencapai Rp 1 juta.
Pelarangan laki-laki memasuki hutan perempuan bukan tanpa alasan. Ini bentuk pembagian tugas antara perempuan dan laki-laki Enggros. “Perempuan tugasnya mencari bia di hutan bakau, laki-laki mencari ikan di laut,” ucap Mama Ani, tokoh perempuan di Enggros.
Saat pagi atau senja, perempuan Enggros akan menaiki perahu mereka untuk pergi mencari bia di hutan bakau tersebut. Sebelum menyeburkan diri, mereka akan menanggalkan semua pakaian. Menurut mereka, hal ini untuk menghindari gatal-gatal di kulit mereka.
Mencari bia di hutan bakau tidak bisa sembarangan. Mereka harus berhati-hati. “Kerang yang hidupnya di laut punya cangkang yang keras, kalau di bakau, kulit mereka tipis dan lembut. Jadi kami harus mencarinya dengan perasaan, kalau tidak, dia akan pecah dan tidak bisa kita makan,” kata Mama Ani.
Jadi, perempuan Enggros harus melangkah pelan-pelan sambil meraba keberadaan bia. Sesekali, mereka mencari sambil menyanyikan lagu dalam bahasa Enggros. Terkadang mereka mengaduh, karena kaki mereka menginjak botol plastik atau sampah plastik yang tersangkut di akar mangrove.
Mencari bia di hutan perempuan sekarang tidak lagi sama seperti dulu. Menurut Mama Ani, dulu air di hutan perempuan air jernih dan bersih. Kini, sampah plastik bertebaran, tersangkut di akar mangrove. Penduduk tak bisa lagi membuat garam dari air laut di Teluk Youtefa. Bia juga kian sulit ditemukan.
Luas hutan perempuan juga terus menyusut. Sejak 1967, kawasan mangrove Youtefa menyusut 50%. Pada 1967, luas hutan bakau di Teluk Youtefa 514,24 hektare, tinggal 259,1 hektare pada 2014, dan pada 2018 hanya 233,12 hektare.
Menurut John Dominggus Kalor, dosen ilmu kelautan dan perikanan Universitas Cendrawasih, mengatakan Teluk Youtefa sudah tercemar parah. Dalam sebuah penelitian Hasmi, dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Cendrawasih, ikan dan kerang di Teluk Youtefa sudah tercemar oleh logam berat timbal (Pb).
Berdasarkan penelitian tersebut, kadar timbal dari ikan belanak (Mugil cephalus) di Teluk Youtefa mencapai 2,46 miligram per kilogram. Angka tersebut jauh dari batas aman yang sebesar 0,5 miligram per kilogram. Selain itu, kadar timbal pada kerang berkisar 0,58 miligram per liter. Lagi-lagi, kadar tersebut jauh di batas aman sebesar 0,3 milgram per liter.
Bahkan, kadar timbal dalam darah 40 masyarakat di sekitar Teluk Youtefa sangat tinggi. Darah setiap orang memiliki kandungan timbal sebesar 1,0 µg/dl. Lagi-lagi, angka tersebut berada di ambang batas 0,64 µg/dl. Tingginya kadar timbal dalam darah bisa menyebabkan anemia, mengganggu kinerja enzim, dan mempengaruhi kemampuan berpikir.
Kerusakan ekologi hutan perempuan Teluk Youtefa tentu tidak lepas dari pengaruh pembangunan dan pengembangan Teluk Youtefa sebagaia destinasi wisata. Selain itu, pencemaran yang terjadi di empat sungai yang bermuara ke Teluk Youtefa juga memperparah kerusakan ekologi di teluk ini.
Makin sedikit generasi muda, khususnya masyarakat Enggros, yang peduli terhadap isu tersebut. Mereka lebih memiliki merantau ke wilayah yang lebih menjanjikan, dibanding menetap di Enggros dan melanjutkan tradisi tonotwiyat. "Ada satu-dua anak muda yang masih peduli, tapi mungkin nanti hutan perempuan tinggal kami saja. Setelah kami, hutan perempuan dan tradisi kami akan hilang.” tutur Mama Ani.
Ikuti percakapan hutan perempuan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :