SEHARUSNYA, pemerintah Indonesia menandatangani draf rencana komprehensif kerja sama investasi transisi energi atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) pada 16 Agustus 2023. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunda pengesahan draf tersebut hingga akhir tahun ini.
JETP adalah hasil perundingan Konferensi Tingkat Tinggi G20. Sebanyak 20 negara setuju menyediakan pendanaan untuk membantu Indonesia melakukan transisi energi sebagai program mitigasi krisis iklim hingga 2030. Dana yang disepakati sebanyak US$ 20 miliar.
Dana tersebut akan dipakai untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memakai batu bara. Batu bara adalah sumber energi fosil yang menghasilkan emisi banyak karena dikeruk dari bumi yang membuat deforestasi, proses pembakarannya membutuhkan energi besar, dan asap pembakarannya menjadi gas rumah kaca penyebab pemanasan global.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, penundaan dokumen pengesahan pendanaan JETP karena pemerintah masih harus menghitung perencanaan keseluruhan biaya transisi energi dalam JETP. “Kami hitung ulang supaya perencanaannya bagus lalu kami konsultasikan kepada publik,” kata Dadan pada 16 Agustus 2023.
Dalam perhitungan ulang itu, pemerintah akan memasukkan pensiun dini pembangkit listrik di luar PLN, yakni pembangkit listrik milik swasta. Dengan masuknya pembangkit swasta, kemungkinan pendanaannya juga bertambah. Sebetulnya tak hanya itu, pendanaan JETP juga terganggu akibat masih banyaknya PLTU batu bara baru yang terus dibangun pemerintah.
Terkait konsultasi publik, Kementerian Energi akan membuka akses draf CIPP JETP di website pemerintah. Masyarakat, kata Dadan, bisa turut meninjau ulang dokumen tersebut. Selama ini, kebijakan pemerintah jarang melibatkan partisipasi publik dan cenderung tertutup. “Masukan bisa dibaca di website itu,” kata Dadan.
Ketertutupan pemerintah mengonsep pendanaan JETP mendapat banyak kritik karena bertolak belakang dengan kebijakan lain dalam penggunaan batu bara. Juga soal ketertutupan prosesnya. Salah satu kritik datang dari Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Bhima khawatir transisi energi melalui JETP berkontribusi pada naiknya utang negara. “Sebab skemanya mengunci arsitektur pendanaan karena modelnya lebih banyak mengandalkan dana pinjaman yang ada bunganya,” kata Bhima dalam diskusi "Kemana Uang JETP Harus Dialirkan?" pada 15 Agustus.
Dalam draf terakhir, Bhima melihat skema pendanaan JETP akan menambah beban baru untuk keuangan negara. “Kalau kita lihat secara detail, pilihan pembiayaan secara tradisional hanya ada tiga jenis, pertama utang, kedua ekuitas atau modal langsung, dan ketiga APBN. APBD atau APBDesa tidak termasuk,” jelasnya.
Dengan pemenuhan dana transisi energi secara tradisional, transisi energi tak membuka ruang terhadap komunitas dalam pendanaan. “Semua keputusannya dari pemerintah pusat, keputusan dari negara kreditur, dari perbankan, karena itu konsep JETP harus ditata dari awal,” kata Bhima.
Ikuti percakapan tentang transisi energi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :