SEJAK Mei, secara konsisten Jakarta masuk daftar kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Pada Agustus, Jakarta menduduki peringkat pertama dengan indeks kualitas udara berdasarkan IQAir mencapai 161-170. Artinya, pencemaran udara Jakarta sudah kritis dan membahayakan kualitas hidup penduduknya, termasuk di kota-kota aglomerasi, dengan jumlah penduduk mencapai 30 juta jiwa.
Polutan halus atau particulate matter (PM2.5) yang ada dalam udara Jakarta sebanyak 45,3 mikrogram per meter kubik, sembilan kali di atas ambang batas udara sehat menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut WHO, setidaknya ada lebih dari 10.000 kematian akibat polusi udara Jakarta setiap tahun. Warga Jakarta juga kehilangan harapan hidup rata-rata 4 tahun akibat polusi udara.
Untuk mengatasinya, pemerintah mengimbau masyarakat beralih ke kendaraan listrik. Benarkah?
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ada tiga sektor utama pencemaran udara Jakarta, yakni sektor transportasi, manufaktur/pabrik, dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memakai batu bara. Tiga sektor ini menghasilkan tujuh jenis polutan polusi udara, yakni karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), partikulat udara 10 mikrometer (PM10), PM2.5, karbon hitam, dan non-methane volatile organic compounds (NMVOC).
Sektor transportasi menyumbang 96% polutan karbon monoksida, 98% NMVOC, 57% polutan PM10, dan 67% polutan PM2.5. Namun, dalam polusi udara Jakarta, jumlah SO2 juga dominan. SO2 adalah gas yang merusak sistem pernapasan manusia jika terhirup. Sulfur dioksida adalah hasil pembakaran bahan bakar di industri terutama PLTU batu bara.
Maka, benarkah beralih ke kendaraan listrik bisa mengendalikan polusi udara Jakarta?
Di Norwegia, sebanyak 80% kendaraan adalah kendaraan listrik. Namun, sumber listrik pengisi baterai di Norwegia berasal dari energi terbarukan, bukan dari batu bara. Sejak Norwegia beralih ke kendaraan listrik dengan energi terbarukan, jumlah PM2.5 turun sampai 75% selama 2000 hingga 2020.
Menurut penelitian di Natural Resources Defense Council, mengganti kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik bisa mengurangi polusi karbon hingga 430 juta ton karbon per tahun. Sementara penelitian di Proceedings of the National Academy of Sciences mencatat peralihan ke kendaraan listrik mengurangi risiko 170.000 kematian prematur dan menghindari kerugian senilai US$ 1,5 triliun.
Namun, jika sumber energi kendaraan listrik tetap dari batu bara, nilai kerugian sektor kesehatan yang bisa dihindarkan hanya US$ 17 juta. Berkurangnya polusi udara, khususnya NOx, juga akan membantu lapisan ozon di perkotaan pulih.
Proses manufaktur kendaraan listrik menghasilkan dua kali lebih banyak emisi karbon dibanding produksi kendaraan berbahan bakar fosil. Rata-rata mobil listrik menghasilkan 189 gram karbon per mil. Sementara mobil berbahan bakar fosil menghasilkan 385 gram karbon per mil. (Baca: Baterai Kendaraan Listrik dari Kayu dan Sel Kayu Pengganti Energi Fosil)
Masalahnya, produksi baterai kendaraan listrik membutuhkan logam bumi, seperti nikel, kobalt, dan litium. Proses penambangan tersebut menimbulkan polusi logam berat bagi pemukiman yang ada di sekitarnya dan mengancam kesehatan. Semuanya dikeruk dari perut bumi yang mengakibatkan deforestasi dan konflik sosial.
Meski residunya lebih kecil, baterai kendaraan listrik yang telah habis masa pakainya juga akan jadi problem lingkungan. Saat ini baru 5% baterai kendaraan listrik usang yang didaur ulang.
Belum lagi infrastruktur penunjangan kendaraan listrik. Hingga Desember 2022, jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Jakarta baru berjumlah 118 unit di 92 lokasi. Jika 20 juta kendaraan beralih menjadi kendaraan listrik jumlah pengisian baterai itu jauh dari cukup.
Maka, solusi tunggal beralih ke kendaraan listrik untuk mengendalikan polusi udara bukan satu-satunya cara. Tata kelola batu bara dan memaksa industri beralih ke energi terbarukan jauh lebih solutif.
Pemerintah sudah mewajibkan industri memasang scrubber atau cairan pemurni gas beracun di pabrik-pabrik. Scrubber akan menyerap polutan berbahaya hasil pembakaran energi di industri sehingga gas yang tersebar ke udara tak lagi mengandung gas beracun polutan dalam polusi udara Jakarta.
Ikuti perkembangan terbaru pencemaran udara Jakarta di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :