DALAM negara hukum dan demokrasi, kedudukan masyarakat begitu istimewa. Mereka adalah subjek yang harus dilayani oleh pemerintah melalui kebijakan publik. Namun, keistimewaan itu masih punya banyak tantangan. Mendapatkan lingkungan yang sehat adalah bagian dari hak pelayanan itu. Kebijakan publik yang dibuat untuk menyejahterakan dan memberikan kenyamanan publik tak selalu linier dalam kenyataannya.
Masih banyak masyarakat miskin, lingkungan dan sumber daya alam juga rusak. Pemerintah, dengan kenyataan itu, bisa dikatakan belum mencapai apa yang menjadi tujuan dan tersurat dalam pelbagai kebijakan. Kenyataan itu, kerusakan sumber daya alam itu, bisa terjadi secara sah. Dalam arti, di atas kertas kerusakan bisa dipertanggungjawabkan secara administratif.
Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Nomor 63 Tahun 2023 tentang tim percepatan reformasi hukum memandatkan pembentukan empat kelompok kerja. Salah satunya membidangi persoalan agraria dan sumber daya alam. Kelompok kerja ini, saya termasuk anggotanya, sedang mengidentifikasi berbagai masalah, berikut ini:
Pertama, hak kepemilikan agraria maupun pengelolaan sumber daya alam yang belum berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah korupsi. Korupsi membuat perizinan pemanfaatan agraria dan sumber daya alam menimbulkan konflik dan meminggirkan hak-hak dasar kelompok rentan.
Juga termasuk keadilan gender serta kepentingan antar generasi. Rendahnya kapasitas pemerintahan akibat sentralisasi kewenangan menjadi penyebab lemahnya kapasitas secara nasional, termasuk lemahnya penyelamatan dan pengamanan pulau-pulau kecil dan pulau terluar.
Untuk itu, prioritas kebijakan perlu mencakup penyelesaian konflik pertanahan dan sumber daya alam, konflik penguasaan tanah oleh Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang perkebunan (PTPN), konflik penguasaan lahan untuk tambang di wilayah rencana lokasi ibu kota negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, konflik penguasaan tanah masyarakat yang berada dalam kawasan hutan, serta konflik terkait penguasaan tanah/wilayah masyarakat hukum adat. Solusinya adalah kebijakan satu peta yang dijalankan oleh semua sektor sebagai instrumen penyelesaian konflik dan mewujudkan akuntabilitas kinerja pengelolaan sumber daya alam.
Bagian penting dari penyelesaian dan pencegahan konflik baru adalah mendesaknya upaya peningkatan perlindungan pembela hak asasi manusia, termasuk pembela hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Untuk itu, perlu satuan tugas pemberantasan mafia tanah dan korupsi sumber daya alam yang bertanggung jawab kepada Presiden dan berada dalam koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Transparansi dan akuntabilitas termasuk pencegahan hilangnya pendapatan negara juga menjadi target penting satuan tugas ini. Selain itu, satuan tugas juga perlu memprioritaskan pelanggaran penggunaan kawasan hutan.
Kedua, masalah mendasar lainnya terkait kinerja pemerintah adalah pertanggungjawaban penggunaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang pada umumnya didasarkan pada indikator capaian yang bersifat administratif (bukan outcome/hasil), sehingga menghasilkan gap dengan perbaikan di dunia nyata.
Reformasi hukum pengelolaan agraria dan sumber daya alam juga perlu memperhatikan berkurangnya inisiatif pemerintah daerah akibat sentralisasi oleh pelbagai undang-undang. Padahal dampak buruk akibat kerusakan sumber daya alam secara langsung dirasakan oleh masyarakat di daerah. Karena itu Peraturan Pemerintah Nomor 26/2023 yang mengizinkan pemanfaatan hasil sedimentasi laut harus dibatalkan karena, di masa lalu, eksploitasi sedimentasi berakibat merusak kondisi lingkungan hidup di daerah.
Ketiga, secara khusus kelompok kerja juga memberikan perhatian kepada persoalan yang telah menjadi perhatian publik untuk masuk ke dalam prioritas penanganan. Misalnya mengenai penegakan hukum kasus kematian anak-anak di lubang tambang yang ditelantarkan oleh perusahaan tambang (abandoned pit mines) dan pencegahan terulangnya kasus serupa di masa depan. Tim juga fokus membuat satu strategi mencegah korupsi dan hilangnya aset negara dalam pemanfaatan sumber daya alam di Papua, terutama akibat lemahnya fungsi pemerintahan pada masa transisi pemekaran wilayah provinsi.
Agenda prioritas itu tidak berarti paling mendesak sehingga penyelesaiannya bersifat jangka pendek. Perbaikan kebijakan maupun peningkatan kapasitas kelembagaan serta penyesuaian pola administrasi baru memerlukan waktu panjang. Rekomendasi kelompok kerja terhadap kegiatan dengan waktu penyelesaian yang lebih panjang juga mencakup penetapan rancangan undang-undang yang terkait dengan masyarakat hukum adat, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta perbaikan tata kelola pesisir dan pulau-pulau kecil. Waktu yang sempit, apalagi mendekati pemilihan presiden seperti saat ini, tidak layak dalam menyelesaikan hal-hal yang memerlukan konsistensi dalam proses dan keputusannya.
Apabila perbaikan yang memerlukan waktu lebih panjang itu tidak bisa dilaksanakan secara konsisten dan terus-menerus, perbaikan secara fundamental akan bersifat sporadis dan cenderung kembali pada kondisi awal, seperti yang selama ini telah terjadi.
Selain ketiga agenda itu, kelompok kerja juga membahas strategi penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam. Berbagai konflik itu telah melahirkan proses pemiskinan yang melibatkan korporasi dan aparat penegak hukum. Juga terjadi pembiaran atau penanganan tanpa penyelesaian terhadap berbagai bentuk kegiatan ilegal dan korupsi yang melibatkan aparat hukum, mafia tanah, mafia pertambangan, termasuk pembiaran pertambangan ilegal.
Di sisi lain, dengan sentralisasi saat ini, khususnya yang terkait dengan perizinan pemanfaatan sumber daya alam, kebutuhan memperkuat peran pemerintah pusat dan daerah semakin sulit terwujud. Hal itu menyebabkan kapasitas sinergi dalam mengendalikan perusakan sumber daya alam dan lingkungan juga semakin rendah.
Semakin renggangnya sinergi itu juga mengakibatkan pengabaian pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam semakin rendah. Padahal, Tap MPR ini menjadi norma dan landasan untuk menjawab problem ketidakadilan penguasaan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dari waktu ke waktu.
Dengan berfokus pada tiga area itu, kelompok kerja agraria dan pengelolaan sumber daya alam menyusun indikator, salah satunya, perbaikan angka indeks tata kelola atau antikorupsi yang turun dari 38 menjadi 34—agar Indonesia keluar dari sepertiga kelompok negara dengan persepsi korupsi terburuk. Perbaikan dan efektivitas kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa lepas dari kemampuan negara memberantas korupsi secara menyeluruh.
Ikuti percakapan tentang konflik agraria di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :