DI tengah terpuruknya usaha industri kayu, ada moto pengelolaan hutan produksi lestari, yakni “kayu melimpah masyarakat semringah”. Moto ini cukup berani di tengah lesunya industri kayu bermodal silvikultur intensif.
Silvikultur intensif (Silin) sudah hampir 20 tahun berjalan dan terus dievaluasi. Silin mengombinasikan tiga pilar, yaitu penggunaan bibit unggul, manipulasi lingkungan dan pengelolaan organisme pengganggu tanaman menjadikan pembinaan hutan produksi yang tidak atau kurang produktif menjadi hutan yang menjanjikan.
Apakah ketiga pilar di atas telah disiapkan secara komprehensif? Nyatanya masih banyak unit manajemen atau perusahaan yang melaksanakan Silin hanya untuk menggugurkan kewajiban, banyak juga yang masih menggunakan bibit yang asalnya dari biji dan cabutan alam yang induknya sembarangan, atau manipulasi lingkungan yang asal-asalan sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimal. Apakah harapan ‘kayu melimpah masyarakat semringah’ dapat digapai dengan kondisi seperti itu?
Tentu saja tidak. Untuk mencapai cita-cita dalam moto itu perlu menerapkan tiga pilar Silin secara disiplin. Silin mesti jadi kebutuhan dan dilaksanakan dengan bijaksana dan penuh tanggung jawab.
Sebab, perbedaan potensi genetik di antara sumber benih yang berbeda, sering kali sangat besar. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan dan kualitas tegakan. Kegagalan pembangunan atau pembinaan hutan umumnya karena kesalahan dalam penggunaan sumber benih. Hal ini terjadi akibat keterbatasan informasi dan pengetahuan pengguna terhadap kualitas sumber benih yang tersedia.
Bibit unggul saja bisa menghasilkan kualitas tanaman yang rendah apabila ruang tumbuhnya tidak optimal atau pemeliharaannya kurang memadai sehingga tanaman berkompetisi unsur hara mineral dan cahaya secara tidak normal. Apalagi jika menggunakan bibit dengan materi genetik yang tidak terjamin.
Bicara tentang bibit unggul, sebenarnya setiap unit manajemen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) memiliki potensi dan kemampuan membangun tegakan benih. Namun, jika baru akan dilaksanakan saat ini perlu waktu yang cukup lama untuk digunakan sebagai sumber benih, sementara program Silin sudah diwajibkan kepada seluruh unit manajemen pengelola hutan alam produksi. Bukan terlambat, tetapi perlu yang lebih cepat dan lebih siap.
Beberapa hutan penelitian bisa menjadi solusi yang ampuh menjadi sumber bibit. Salah satunya hutan penelitian yang sekarang dikenal dengan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Haurbentes di Kabupaten Bogor yang dominansi tegakan Dipterocarpaceae.
KHDTK Haurbentes dibangun sejak 1940 sebagai kawasan hutan yang awalnya untuk tujuan penelitian jenis-jenis Dipterokarpa.
Luas hutan tanaman Dipterokarpa di KHDTK Haurbentes sekitar 60 hektare yang memiliki 33 spesies Dipterokarpa dari Sumatera dan Kalimantan. Diameter pohonnya sudah mencapai di atas 50 sentimeter, dan anakan alam tumbuh subur di sekitar pohon induk membentuk stratifikasi yang lengkap mulai tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.
Produksi bibit dari kawasan ini telah ditanam di beberapa tempat di Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan pertumbuhan yang baik.
Berdasarkan klasifikasi sumber benih Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2004), di KHDTK Haurbentes terdapat tujuh spesies Dipterokarpa sebagai sumber benih dengan kategori Kebun Benih Teridentifikasi (Identified seed stand). Tegakan benih teridentifikasi adalah suatu tegakan alam atau tanaman dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat teridentifikasi dengan tepat.
Tegakan ini dibangun dengan tidak direncanakan sebagai sumber benih. Asal-usul benihnya biasanya tidak diketahui. Tegakan yang diidentifikasi umumnya tegakan yang sudah tua. Maka penjarangan pada tegakan ini hanya seperlunya dengan intensitas yang rendah.
Dari 33 spesies Dipterokarpa yang ada, tujuh spesies di antaranya telah disertifikasi oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan pada 2006 dan berpotensi menjadi sumber benih spesies, jumlah pohon, potensi buah disajikan pada Tabel berikut:
Seiring optimalisasi potensi sumber benih di KHDTK Haurbentes, sudah sepatutnya setiap unit manajemen PBPH membangun sumber benih terseleksi dan areal produksi benih di wilayah kerjanya masing-masing sesuai kebutuhan. Sumber benih di wilayah kerja sendiri akan menghasilkan bibit dengan kemampuan adaptasi tinggi, mudah dalam penanganan dan lebih murah dalam pengadaan.
Apa yang dimaksud dengan kebun benih terseleksi dan areal produksi benih?
Kebun benih terseleksi (selected seed stand) adalah kebun benih yang berasal dari tegakan alam atau tanaman. Pohon-pohonnya memiliki fenotipe di atas rata-rata untuk karakter yang penting seperti batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan. Tegakan ini mirip dengan tegakan benih teridentifikasi.
Perbedaan utama adalah fenotipe tegakan yang lebih baik (di atas rata-rata). Areal produksi benih (seed production area) merupakan tegakan yang dipilih dan direkomendasikan untuk memproduksi bahan reproduktif berdasarkan kriteria fenotipe. Tegakan terpilih karena sebagian besar pohon-pohonnya memiliki karakter dengan fenotipe unggul seperti pertumbuhannya cepat, kualitas batang baik, dan tahan terhadap penyakit.
Tiga sumber benih tersebut pada awalnya tidak untuk produksi benih. Namun karena penampilan yang baik, benih-benih itu kemudian dikonversi menjadi sumber benih dengan penerapan tindakan silvikultur yang lebih intensif. Penunjukannya dilakukan setelah diketahui bahwa tegakan tersebut memenuhi syarat sebagai tegakan benih atau areal produksi benih. Di antara tiga sumber benih di atas, areal produksi benih merupakan sumber benih terbaik hasil penunjukan.
Pada tingkat pemuliaan yang lebih tinggi (advance) dalam membangun tegakan hutan yang baik, sumber benih yang digunakan minimal berasal dari tegakan provenan dan dapat ditingkatkan lagi menjadi kebun benih dan seterusnya (Leksono, 2004). Empat klasifikasi sumber benih berikutnya yaitu:
- Tegakan benih provenansi (provenance seed stand). Tegakan benih provenan merupakan keturunan campuran dari banyak pohon induk dari suatu populasi tunggal. Tegakan benih provenan harus diisolasi dengan tegakan lainnya agar tidak terjadi persilangan. Tujuan utama pembangunan tegakan benih provenan adalah untuk konservasi genetik secara ex-situ. Tegakan benih provenan dari provenan unggul yang sudah menghasilkan buah dapat dimanfaatkan sebagai sumber benih untuk materi pembangunan hutan tanaman.
- Kebun benih semai (seedling seed orchard). Kebun benih semai dibangun untuk membentuk suatu populasi yang bertujuan menghasilkan benih unggul. Pembangunan kebun benih semai tidak terpisah dari kegiatan uji lapang, dikombinasikan dengan uji keturunan dari pohon induk tunggal. Kombinasi tujuan yang berbeda tersebut dikenal dengan istilah kebun benih semai uji keturunan. Tanaman uji keturunan lalu dikonversi menjadi kebun benih setelah satu atau beberapa kali penjarangan selektif. Benih secara langsung diunduh dari kebun untuk membangun hutan tanaman komersial. Persilangan antar pohon yang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat harus dihindari dengan memisahkan secara spasial selama pengujian. Isolasi tanaman uji keturunan dari populasi sekitarnya dengan mengatur jarak yang cukup untuk mencegah aliran serbuk sari dari luar (Finkeldey, 2005).
- Kebun benih klon (clonal seed orhcard). Kebun benih klon dibangun untuk menghasilkan benih dalam jumlah yang banyak dari pohon-pohon yang bergenotipe unggul yang terbatas. Pohon-pohon genotipe unggul dikloning dan beberapa salinannya dikumpulkan dalam suatu populasi. Perbanyakan vegetatif untuk membangun kebun benih klon umumnya adalah teknik sambungan. Pada tahap awal, pohon-pohon terpilih selalu dikumpulkan di dalam suatu clonal garden, multiplication garden atau clonal archive
- Kebun Pangkas (hedge orchard). Kebun pangkas adalah pertanaman yang dibangun untuk tujuan khusus sebagai penghasil bahan stek. Kebun pangkas dikelola secara intensif dengan pemangkasan, perundukan, pemupukan untuk meningkatkan produksi bahan stek. Kebun pangkas dibangun dari benih atau dari bahan vegetatif yang dikumpulkan dari pohon plus. Pembangunan kebun pangkas dilakukan dalam suatu areal tertentu yang akan dimanfaatkan sebagai penghasil stek pucuk. Selain itu dapat dibangun dalam ukuran mini dalam pot-pot di persemaian untuk diperbanyak dengan teknik stek mini.
Penanaman dengan teknik Silin jenis-jenis Dipterokarpa telah mampu dibangun di banyak PBPH. Namun benih belum sepenuhnya menggunakan benih unggul sehingga produktivitas tegakannya tidak maksimal. Untuk itu, pemuliaan pohon jenis-jenis Dipterokarpa perlu dilakukan secara berkelanjutan melalui hasil uji provenan dan uji keturunan hingga terbentuk kebun benih unggul.
Dengan mengimplementasikan tiga pilar Silin, produktivitas hutan alam dari tanaman menghasilkan volume tegakan di atas 150 meter kubik per hektare. Jika hutan alam produksi terdegradasi direhabilitasi seluas 200.000 hektare tiap tahun, dengan rotasi tebang 20 tahun akan diperoleh volume kayu sebesar 30 juta meter kubik per tahun.
Menurut Badan Pusat Statistik Kehutanan (2022), tahun 2021 produksi kayu bulat kelompok meranti sebesar 5,24 juta meter kubik. Jika menggunakan bibit meranti benih unggul, produksi kayu kelompok meranti bisa mencapai lima setengah kali. Volume ini sesuai dengan moto “kayu melimpah masyarakat semringah”.
Ikuti percakapan tentang silvikultur intensif di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Ahli Peneliti Utama Silvikultur dan Pemulihan Ekosistem Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :