AKHIRNYA, pendanaan transisi energi Indoneisa melalui skema Just Energy Transition Partnership atau JETP telah terbit. Namun, menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana, porsinya hanya 0,65% dari total pendanaan yang dijanjikan negara-negara koalisi JETP sebesar US$ 200 miliar.
Pemerintah, kata Dadan, meminta hibah pendanaan transisi energi melalui JETP sebesar US$ 130 juta atau Rp 1,99 triliun. Sementara bantuan dalam kategori pinjaman akan dipilih dengan bunga yang rendah dan menarik.
Wakil Kepala JETP Paul Butarbutar menambahkan bahwa penjelasan tentang nilai hibah dalam transisi energi masih akan didiskusikan dengan International Partners Group (IPG). Tapi, ia mengakui, nilai hibah transisi energi terlalu kecil.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, lembaga kajian, Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat dana hibah yang sangat kecil tidak akan mendukung transisi energi. “Untuk mematikan satu Pembangkit Listrik Tenaga Listrik Uap (PLTU) batu bara saja tidak akan cukup dengan dana hibah yang terlalu sedikit itu,” kata Bhima dalam akun Instagram Celios pada 26 Agustus 2023.
Berkaca dari skema pendanaan transisi energi JETP untuk Afrika Selatan, menurut Bhima, skema pinjaman yang jauh lebih besar dibanding hibah untuk transisi energi juga mendapat protes karena membebani negara tersebut dengan utang.
Menurut Bhima, JETP memberikan hibah 4% dari total komitmen pendanaan transisi energi di Afrika Selatan. Dana tersebut habis untuk rapat menyusun rencana transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa sependapat dengan Bhima. Kata dia, porsi hibah yang sangat kecil akan menyulitkan Indonesia melakukan transisi energi.
Soalnya, kata Fabbry dalam podcast IESR, Indonesia memiliki sumber energi terbarukan. Ketika sumber energi terbarukan itu diajukan untuk mendapat pendanaan dari JETP, pengelolaannya mesti di bawah sebuah proyek. Dengan begitu, Indonesia juga punya kewajiban menyiapkannya, termasuk soal biayanya.
Fabby menjelaskan JETP merupakan komitmen investasi global yang akan dialirkan ke Indonesia untuk mengakomodasi proses transisi energi. Tetapi pendanaan ini baru bisa disalurkan ketika Indonesia memiliki proyek yang matang dan diajukan kepada aliansi negara-negara kaya itu. Dia menilai, porsi hibah yang kecil bahkan tak akan cukup membiayai proyek.
Bagi Indonesia, salah satu program transisi energi adalah memensiunkan PLTU batu bara hingga reformasi transisi energi fosil ke energi terbarukan. Indonesia punya target menaikkan bauran energi terbarukan hingga 25% pada 2025 sebagai bagian dari mitigasi krisis iklim dan usaha mencapai nol bersih emisi 2060. "Itu semua perlu biaya, siapa yang membiayai?" katanya.
Menurut Fabbry Tumiwa, hibah sebenarnya bisa menjadi jalan keluar bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk program transisi energi. Sebab, transisi energi adalah program global menahan laju pemanasan global yang sudah ditetapkan dalam tiap tahun Konferensi Iklim. Negara-negara maju harus menyokong negara berkembang dalam mitigasi iklim mereka. Selain paling parah terkena dampak pemanasan global, negara berkembang juga lebih sedikit memproduksi emisi dibanding negara maju.
Ikuti percakapan tentang transisi energi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :