Kabar Baru| 31 Agustus 2023
Tersisa di Sulawesi, Hutan Gugur Kering Terancam Tumbuhan Invasif dan Kekeringan
PULAU Sulawesi yang beriklim basah ternyata punya hutan gugur kering. Sebab, biasanya, tipe hutan ini tumbuh di kawasan beriklim kering seperti Nusa Tenggara Barat dan Timur serta di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.
Kartawinata (2013) memaparkan tempat tumbuh hutan gugur kering memiliki pola iklim musiman dengan periode kering dan basah yang menonjol, minimal empat bulan kering berturut-turut dengan curah hujan kurang dari 1.500 milimeter per tahun pada ketinggian kurang dari 800 meter dari permukaan laut. Pada musim kemarau, pohon-pohonnya merontokkan daun dan menumbuhkannya kembali pada musim hujan. Masuk kategori hutan gugur kering jika lebih dari 50% pohon-pohonnya gugur daun.
Beberapa jenis pohon bernilai ekonomi di tipe hutan gugur kering antara lain kemiri (Aleurites moluccana), asam jawa (Tamarindus indica), kapuk (Ceiba pentandra), cendana (Santalum album) dan ketimunan atau gaharu (Gyrinops versteegii). Pohon lain yang juga sering dijumpai adalah jenis-jenis akasia (Acacia leucophloea, A. tomentosa, A. nilotica), albasia (Albizia chinensis, A. lebbekoides), Borassus flabellifer, Dalbergia latifolia, Schleichera oleosa dan Schoutenia ovata.
Hutan Gugur Kering Lembah Palu, Sulawesi Tengah, yang beriklim tropis basah dan didominasi hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan hujan tropis pegunungan juga memiliki hutan gugur kering. Hutan ini berada di Lembah Palu yang memiliki tipe iklim E berdasarkan klasifikasi Schmidt & Ferguson.
Ciri tipe iklim E adalah bulan kering yang panjang, lebih dari enam bulan, sedangkan bulan basah kurang dari dua bulan setiap tahun. Tanahnya berpasir dalam dengan bahan organik yang miskin. Whitten dkk. (1987) dalam “Ecology of Sulawesi” menyebutkan kawasan lembah Palu sebelumnya tertutup hutan kering yang menghilang akibat kebakaran berulang dan alih fungsi menjadi pertanian dan pemukiman.
Belum lama ini Siregar dkk. (2021) menemukan sisa hutan gugur kering di Biromuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Kawasan hutan ini memiliki luas tidak lebih dari 100 hektare yang dikelilingi lahan pertanian dan perbukitan hutan hujan tropis basah di sebelah timur.
Beberapa jenis penciri hutan gugur kering masih dijumpai seperti kemiri, dan kapuk yang tumbuh terpencar. Sekurangnya ada 24 jenis berkayu masih menghuni hutan ini. Ada juga pohon-pohon kecil kurang dari 10 meter, seperti jelutung badak (Tabernaemontana pandacaqui), delima (Punica granatum), srikaya (Annona squamosa), jarak landi, dan Randia spinosa.
Tidak banyak satwa hidup di hutan ini. Namun beberapa jenis burung masih bisa kita temukan. Purnomo dkk. (2019) melaporkan ada 19 jenis burung di hutan ini. Jenis paling sering dijumpai adalah tekukur (Spilopelia chinensis), kaca mata belukar (Zosterops everetti), kirik-kirik Australia (Merops ornatus) dan kerak kerbau (Acridotheres javanicus). Kerak kerbau termasuk satwa dalam daftar jenis terancam kepunahan kategori rentan (vulnerable). Burung ini bersuara ribut dan berceloteh keras, kadang-kadang meniru suara burung lainnya. Biasanya mereka bersarang pada lubang-lubang pohon.
Permukiman di sekitar hutan dihuni oleh masyarakat suku Kaili. Mereka tinggal di rumah-rumah semi permanen dengan pekerjaan tidak tetap, sebagian bertani dan menjadi buruh di peternakan milik pemerintah daerah. Intervensi masyarakat ke dalam hutan sebatas memungut kayu bakar dan buah asam yang mereka sebut “poi”. Mereka memungut poi 70 kilogram (sekitar 2-3 karung goni) dalam sepekan yang dijual ke pengepul dan pasar tradisional seharga Rp 10.000 per kilogram.
Hutan gugur kering di lembah Palu kini terancam akibat perluasan pertanian dan pembakaran untuk mendapatkan rumput sebagai pakan ternak. Namun ancaman lain yang juga mengkhawatirkan adalah invasi akasia (Acacia nilotica). Dari laporan Siregar dkk (2019) diketahui invasi akasia di hutan ini telah mencapai 19% dari total area hutan.
Acacia nilotica merupakan tumbuhan asli Afrika. Masuknya jenis ini di lembah Palu berawal dari biji kiriman dari Kebun Raya Bogor tahun 1890-an saat kegiatan penelitian ekstraksi gom arab yang kemudian ditinggalkan begitu saja (Setiabudi dkk. 2013).
Di berbagai tempat, akasia ini banyak dipromosikan sebagai pohon yang dapat memberikan suplemen protein dan berbagai keperluan lain di bidang pertanian. Di Taman Nasional Baluran, A. nilotica pertama kali ditanam pada tahun 1970-an sebagai sekat bakar untuk mencegah api tidak menjalar ke hutan jati. Namun belakangan ini telah menjadi spesies invasif yang mengancam ekosistem sabana dan hutan gugur kering.
Pesatnya penyebaran A. nilotica digambarkan oleh Mackey (1996). Dalam kurun sepuluh tahun sejak diperkenalkan, pohon ini telah berkembang menjadi 7 juta hektare di Queensland, Australia. Setelah 67 tahun sejak diperkenalkan di Queensland tahun 1890-an, akasia ini dinyatakan berbahaya bagi lingkungan.
Agen utama penyebaran biji akasia adalah angin, air dan ternak. Biji akasia bisa bertahan hidup selama enam hari di dalam usus mamalia seperti domba dan sapi (Mackey, 1996). Berdasarkan penelitian Sutomo dan van Etten (2016), di Taman Nasional Baluran akasia menyebar melalui kotoran kerbau. Dalam 500 gram feses dapat ditemukan ratusan biji akasia.
Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan datangnya El Niño pada paruh kedua tahun ini, ditambah potensi kekeringan yang semakin nyata akibat Indian Ocean Dipole (IOD). Pada kondisi kering, hanya dengan curah hujan kurang dari 1.500 milimeter per tahun, biji-biji akasia mampu tumbuh dengan cepat dibandingkan jenis lainnya.
Tindakan yang mungkin dapat dilakukan untuk menyelamatkan hutan gugur kering adalah mencegah ternak masuk dan mencabut A. nilotica lalu menambah jenis tanaman dengan jenis asli seperti kemiri, asam jawa, dan kapuk yang lebih bernilai jual.
Ikuti percakapan tentang hutan gugur kering di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :