MENAIKKAN anggaran kebijakan publik tanpa perbaikan sistem kerja dan cara mempertanggungjawabkannya akan berujung manipulasi, pemaksaan belanja, hingga salah sasaran. Ini kesimpulan sebuah diskusi yang saya ikuti pekan lalu sambil lesehan di Malioboro, Yogyakarta, dengan beberapa kolega dosen.
Tema diskusi itu penting mengingat para pelaksana kebijakan publik biasanya tetap bisa mempertanggungjawabkan kinerja mereka meski anggarannya kurang. Ini terjadi karena tolok ukur kinerja pegawai negeri adalah serapan anggaran, bukan penyelesaian persoalan. Ditambah lagi pertanggungjawaban administrasi sebagai ukuran kinerja pegawai negeri kita.
Ketidaksesuaian antara kinerja dan tolok ukur itu yang menjadi problem kebijakan publik kita hari ini. Para pemimpin yang inovatif bisa menyelesaikannya. Tapi mereka akan dianggap bersalah karena bekerja tak sesuai prosedur, meski benar karena berorientasi pemecahan masalah. Masalah yang memang mau diselesaikan dengan kebijakan publik.
Akibatnya, kepemimpinan inovatif tak punya penerus. Pemimpin berikutnya cenderung tunduk pada tolok ukur administratif karena lebih benar sesuai aturan. Pergantian kepemimpinan dan kepentingan politik membuat kebijakan penggunaan anggaran pun tidak pernah konsisten.
Artikel ini akan membahas soal penting itu, yakni mengapa kepemimpinan inovatif tak mendapat tempat karena sistem tak mendukungnya.
Pertama, hubungan kausalitas yang rendah antara pencapaian target kinerja (outcome) dengan anggaran. Ada banyak kasus pemotongan anggaran meski targetnya terlampaui. Situasi ini bisa mungkin terjadi karena dua hal: targetnya keliru atau target tidak bisa diukur sehingga diasumsikan tercapai ketika anggarannya habis.
Kita tahu target yang bersifat administratif bisa tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Dengan demikian, angka target menjadi “simbolik” agar sesuai dengan dokumen formal seperti dokumen rencana strategis organisasi. Saya menemukan, misalnya, kasus luas lahan yang harus di rehabilitasi di suatu lokasi tidak sesuai dengan dokumen perencanaan. Ketika anggaran disetujui luas rehabilitasi secara faktual pun berubah.
Perubahan-perubahan itu dianggap normal. Dengan kata lain, target bisa dibuat sesuai kebutuhan, bukan dari fakta lapangan. Dalam hal ini, keahlian seseorang tidak bisa dilepaskan dari kemampuan mempertanggungjawabkan anggaran secara administratif. Jika kondisinya begitu, pelaksana kebijakan itu akan dianggap bukan ahli karena ia bisa mencapai target kinerja.
Kedua, solusi sejalan dengan tugas dan fungsi unit kerja lembaga pemerintah, bukan sesuai dengan tantangannya di lapangan. Solusi simbolik membuat program dibuat untuk membelanjakan anggaran yang sesuai dengan tugas dan fungsi unit kerja itu. Masalahnya, tugas dan fungsi unit kerja itu tak sesuai dengan masalah yang ada di lapangan.
Akibatnya, strategi dan inovasi untuk mencapai target tersebut sebenarnya tidak diperlukan. Hal ini juga akibat standar penggunaan anggaran yang tidak fleksibel, karena tidak berdasarkan kondisi spesifik. Dengan alokasi penggunaan anggaran seperti itu, tidak ada pembahasan jenis-jenis strategi penyelesaian masalah yang sesuai dengan problem nyata di lapangan.
Penentunya hanya mata anggaran, apa pun jenis masalahnya. Akibatnya, inovasi atau strategi menyelesaikan masalah tidak diperlukan atau tidak penting lagi. Dengan begitu, sumber daya manusia yang mumpuni pun tidak urgen atau tak diperlukan lagi.
Penyeragaman jumlah anggaran per target juga jadi sebab lain. Penyeragaman akan mengurangi atau bahkan menghilangkan fungsi strategi dalam mencapai target. Strategi untuk menghasilkan outcome tiap kebijakan tentu berbeda-beda. Di sini perlu inovasi. Inovasi memerlukan anggaran yang kebutuhannya berbeda-beda.
Penyeragaman anggaran untuk tiap target membuat pemimpin unit kerja perlu “memanipulasi” strategi agar tetap sesuai dengan pencapaian target. Manipulasi itu kadang bersifat inovatif. Tetapi, secara administratif mungkin tak sesuai dengan tolok ukur.
Ketiga, efektivitas pelaksanaan program dan anggaran memerlukan penyesuaian sejumlah regulasi, kebijakan, maupun pembenahan institusional. Prinsip penyesuaian perlu dikaitkan dengan kondisi lapangan yang berbeda dengan kondisi yang diasumsikan pada saat penyusunan anggaran.
Keempat, cara mengukur inovasi di lapangan biasanya dengan melihat kepemimpinan yang “melanggar” pengklasifikasian kegiatan dan anggaran dengan apa yang sesungguhnya dilakukan di lapangan. Maka agar inovasi itu berguna, perlu diikuti kebijakan pengawasan. Pengawas harus memahami perbedaan antara kesalahan akibat kejahatan dan “kesalahan” akibat inovasi.
Berbagai persoalan program dan anggaran itu, selain memerlukan penyesuaian regulasi, juga memerlukan dukungan perubahan kebijakan dan anggaran sesuai kondisi di lapangan. Juga pembenahannya secara institusional. Regulasi perlu menyesuaikan dengan karakteristik lapangan yang mudah berubah.
Kebijakan program dan anggaran juga menentukan mana yang diikat dan mana yang fleksibel, maupun perubahan sistem pengawasan pembangunan agar inovasi berkembang sejalan dengan kondisi di lapangan.
Target yang sesuai penyelesaian masalah lapangan, termasuk kapasitas pelaksananya, serta jaringan sosial adalah faktor-faktor yang menentukan kelancaran kerja. Dengan kata lain, rangkaian “target-masalah-strategi-anggaran” yang berhubungan secara fungsional dengan kondisi spesifik lapangan akan menentukan efektivitas penggunaan anggaran dan profesionalisme lembaga negara.
Selain itu, setiap pimpinan unit kerja di lapangan perlu mendapat ruang diskresi untuk menyesuaikan kegiatan dan anggaran. Diskresi tak selalu buruk dan berujung penyalahgunaan wewenang karena ada kemungkinan perbedaan kondisi yang tidak dapat diantisipasi sejak perencanaan. Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam diskresi, perlu sistem yang transparan sehingga ada kontrol secara bersama-sama.
Semua cara itu bertujuan menjadikan organisasi berbasis pengetahuan. Cirinya, target, strategi, dan cara melaksanakan sebuah kebijakan berangkat dari kondisi riil dan masalah di lapangan. Dalam organisasi berbasis pengetahuan, transparansi, dan kontrol terwujud dalam pengawasan, evaluasi, serta inovasi ketika asumsi dalam perencanaan meleset akibat perubahan.
Maka evaluasi program dan kegiatan hendaknya berbasis outcome, bukan capaian administrasi atau anggaran. Keberhasilan atau kegagalan harus becermin secara kuat berdasarkan informasi lapangan, bukan pertanggungjawaban administrasi atau sekadar habisnya anggaran suatu kegiatan. Teknologi akan bisa membantu menyelesaikan problem ruwet mengukur kinerja pelaksanaan sebuah kebijakan publik.
Ikuti percakapan tentang kebijakan publik di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :