JUMLAH air di bumi tetap dan bergerak mengikuti siklus hidrologi. Secara garis besar, total volume air di bumi adalah 1.385.984.610 kilometer kubik, berupa air asin dan air tawar (UNESCO, 1978). Jumlah total air tersebut terbagi menjadi air laut dan air lainnya (air tawar dan air asin selain air laut).
Proporsi perbandingan air di bumi 96,54% air laut dan 3,46% air lainnya. Dari volume air lainnya tersebut, yang murni berupa air tawar hanya sebesar 2,53% atau sebesar 1.213.263,21 kilometer kubik. Dari sejumlah air tawar tersebut sebagian besar berupa air tanah (98,88%) dan sisanya 1,12% berupa danau tawar (0,85%), rawa/payau (0,11%), sungai (0,02%), air biologi (0,01%), dan air di udara (0,12%).
Berdasarkan informasi di atas maka ketersediaan air yang langsung bisa dimanfaatkan oleh makhluk hidup di bumi ini jumlahnya sangat kecil sementara kebutuhannya semakin meningkat (UNESCO, 1978).
Keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air, baik secara kuantitas maupun kualitas, kecenderungannya semakin kritis saat ini. Salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan air tersebut adalah dengan memanfaatkan airt anah. Namun demikian, berkurangnya cadangan
Air tanah akibat pemanfaatan yang berlebihan akan menimbulkan dampak lainnya yang lebih buruk. Oleh karenanya menjadi sangat penting untuk menjaga ketersediaan air tanah melalui konservasi pada daerah imbuhan airtanah di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS).
Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 31 Tahun 2018 dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 daerah imbuhan air tanah adalah daerah resapan air yang mampu menambah air tanah secara alamiah pada cekungan air tanah. Sementara itu Hendrayana (2013) menyebutkan daerah tangkapan air atau disebut juga daerah imbuhan bagi mata air (recharge area).
Recharge area merupakan daerah yang berpengaruh terhadap mata air. Berdasarkan referensi ada beberapa hal yang mempengaruhi luasan wilayah tangkapan air bagi mata air, yaitu antara lain sistem aliran air tanah, kondisi geologi bawah permukaan dan proses geologi atau proses alam yang membentuk mata air (genesa mata air).
Salah satu wilayah yang mempunyai simpanan air tanah besar di Jawa adalah lereng Gunung Merapi. Gunung Merapi adalah salah satu gunung teraktif di Indonesia yang terletak di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Erupsi Gunung Merapi yang terjadi dari waktu ke waktu menghasilkan batuan penyusun yang didominasi oleh material yang mempunyai porositas tinggi dan permeabilitas besar sehingga berperan penting dalam meresapkan dan menyimpan air sebagai air tanah.
Dengan kondisi geologi seperti itu, Gunung Merapi memiliki potensi mata air cukup besar. Pola sebaran mata air di lereng Merapi menyerupai sabuk yang melingkar di bagian lereng bawah Gunung Merapi (dikenal dengan istilah spring belt).
Salah satu wilayah yang potensi mata airnya cukup besar adalah lereng sisi tenggara, tepatnya di Klaten yang dalam sistem DAS masuk dalam wilayah Sub DAS Dengkeng dan Sub DAS Pusur. Sebaran mata air tersebut berada pada kawasan dengan produktivitas sedang sampai dengan tinggi yang berpengaruh terhadap potensi sumber daya airnya juga, yaitu pada kisaran sedang hingga tinggi.
Umbul Cokro (mata air Cokro), yang terletak di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, adalah salah satu mata air di wilayah tersebut yang potensi airnya cukup besar. Keberadaan umbul Cokro ini sangat strategis tidak hanya untuk masyarakat di Klaten yaitu untuk air irigasi tetapi juga untuk masyarakat di Kota Surakarta karena mata air Cokro merupakan air baku PDAM Kota Surakarta.
Selain itu mata air Cokro juga dimanfaatkan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai destinasi wisata air. Asal usul airnya tidak hanya dari satu sub DAS saja, sehingga daerah imbuhan (recharge area) dari umbul Cokro cukup luas. Satu titik berada di dalam sub DAS Pusur dan dua
titik ada di sub DAS Dengkeng. Hal ini membuktikan walaupun berada di dua sub DAS yang berbeda, karena struktur geologi di bawahnya menyatu, aliran air tanah dari daerah imbuhan di sub DAS Dengkeng memungkinkan menyatu dengan imbuhan air tanah di sub DAS Pusur. Hasil kajian dari Kharisma, H.L. dkk (2015) menunjukkan asal usul air di umbul Cokro adalah dari Sodong, Karang Kendal, dan Karang Podang.
Berada pada zona produktivitas akuifer yang tinggi, potensi mata air Umbul Cokro cukup besar, yaitu 1.500 liter per detik. Dari potensi debit air tersebut, pemanfaatannya terbagi menjadi beberapa, yaitu 400 liter per detik dimanfaatkan untuk sumber air baku untuk PDAM kota Surakarta kemudian untuk air minum Desa Cokro sebesar 4 liter per detik, dan sisanya mengalir bebas menuju sungai Pusur untuk dimanfaatkan sebagai irigasi areal persawahan di wilayah selatan Klaten.
Di samping itu di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, terdapat penggunaan air untuk industri air kemasan, tetapi lokasi pemanfaatannya tidak sama dengan yang digunakan untuk air baku PDAM Surakarta maupun air minum Desa Cokro.
Dengan beberapa pemanfaatan potensi air tersebut maka perlu pengelolaan dan konservasi air wilayah daerah tangkapan airnya sehingga pasokan airnya tetap terjaga baik kuantitas, kualitas dan kontinuitasnya. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa tutupan lahan yang berupa hutan di ketiga sub DAS tersebut sangat kecil, bahkan untuk sub DAS Pusur tidak mempunyai tutupan lahan berupa hutan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam pengelolaan lahan di hulu ketiga sub DAS adalah penerapan pola agroforestri. Agroforestri adalah gabungan antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim, gabungan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan pengawetan dan perlindungan tanah dan air.
Pola agroforestri dengan kombinasi tanaman tahunan (tanaman kehutanan) dan tanaman semusim (tanaman pertanian) akan menurunkan laju limpasan permukaan sekaligus meningkatkan laju infiltrasi. Selain itu, stratifikasi tajuk pada pola agroforestri dapat menurunkan energi kinetik pukulan air hujan yang bisa memicu erosi karena air hujan yang turun terlebih dahulu melewati beberapa strata tanaman sebelum sampai di permukaan tanah. Erosi tanah bisa menyebabkan perubahan struktur dam tekstur tanah pada lapisan permukaan tanah yang akan mengganggu proses infiltrasi.
Selain itu, tanah yang terangkut pada proses erosi akan menghasilkan sedimen yang akan menyebabkan penurunan kualitas aliran air di bawahnya.
Selain agroforestri, hal lain yang bisa dilakukan adalah penerapan konservasi tanah sipil teknis utamanya pada wilayah-wilayah dengan kemiringan lereng sedang sampai dengan terjal untuk meningkatkan laju infiltrasi sekaligus mencegah erosi.
Beberapa alternatif teknis konservasi tanah yang bisa diterapkan untuk meningkatkan laju infiltrasi tanah antara lain adalah terasering, guludan, grass barrier, juga pembuatan rorak atau parit buntu. Peran teknik-teknik konservasi tanah di atas adalah memperpendek dan memperkecil lereng sekaligus menahan laju limpasan dan memberi kesempatan aliran air untuk masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi.
Dengan perlakuan agroforestri dan konservasi tanah dan air tersebut, infiltrasi akan meningkat dan akan meningkatkan perkolasi ke dalam lapisan air tanah dalam. Sehingga sumber daya air di umbul Cokro terjaga dan lestari.
Ikuti percakapan tentang konservasi air di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti Pusat Riset Ekologi Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :