DI Bali ada tumbuhan yang dikenal masyarakat dengan sebutan “nyabah”. Nama ilmiahnya Pinanga arinasae Witono. Nyabah adalah tanaman endemik pulau Bali. Tanaman endemik adalah sekelompok tanaman yang hanya hidup pada suatu daerah tertentu.
Nyabah hanya ada di Bali karena ruang tumbuhnya cocok dengan pulau ini. Tumbuhan ini dipublikasikan sebagai jenis baru pertama kali oleh J.R. Witono, J.P. Mogea dan S. Somadikarta pada 2002 di jurnal Palms. Sementara itu, nama jenis Arinasae disematkan untuk menghormati Ida Bagus Ketut Arinasa, botanis Bali yang berperan besar dalam koleksi dan pelestarian palem ini, yang menjabat Kepala Kebun Raya “Eka Karya” Bali periode 31 Maret 1998-3 Juli 2002. Nyabah merupakan satu dari tiga jenis Pinanga yang ada di Pulau Bali, dua jenis lainnya adalah palem hutan atau bingbin (P. coronata) dan pinang Jawa (P. javana).
Meski relatif baru di dunia ilmiah, masyarakat Bali sudah memanfaatkannya untuk berbagai hal. Mengacu pada beberapa publikasi ilmiah yang tersedia, daun nyabah dapat digunakan sebagai sarana upacara dalam ritual adat Hindu Bali. Daun muda nyabah juga bisa dikonsumsi. Sementara buah nyabah dapat digunakan sebagai penganti pinang. Nyabah juga merupakan palem soliter yang cocok sebagai tumbuhan hias luar ruangan.
Pada awalnya nyabah hanya ditemukan di Bukit Tapak di dataran tinggi Bedugul pada ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Di sini nyabah tumbuh di antara Casuarina dan Engelhardtia. Namun, pada perkembangannya nyabah juga dilaporkan tumbuh di Desa Jatiluwih dan hutan Pilan dengan ketinggian 500-1.500 dan 600-700 mdpl.
Penelitian mengenai struktur populasi dan kecocokan habitat nyabah di lokasi-lokasi tersebut menyimpulkan status konservasi nyabah mesti dinaikkan menjadi terancam (endangered). Pada 2020, IUCN Red List of Threatened Species menetapkan status konservasi nyabah sebagai terancam punah (endangered).
Status konservasi nyabah sebagai tumbuhan terancam membuat usaha pelestarian palem endemik dan terancam ini menjadi penting. Beberapa usaha konservasi untuk menjamin kelestarian nyabah di ataranya konservasi ex-situ palem di Kebun Raya Eka Karya Bali dan Kebun Raya Gianyar.
Kedua kebun raya itu ideal mengingat lokasinya yang berhimpit oleh habitat asli nyabah di Bedugul dan hutan Pilan. Selain usaha konservasi di kebun raya, usaha pelestarian lain seperti reintroduksi nyabah ke habitat asalnya serta pemanfaatan palem ini sebagai tanaman reboisasi juga telah dilakukan oleh Kebun Raya “Eka Karya” Bali.
Usaha pelestarian itu perlu diiringi dengan usaha perbanyakan yang tepat. Hal ini penting untuk memastikan tersedianya material tumbuhan untuk mendukung usaha pelestarian palem tersebut.
Secara alami Nyabah berkembang biak secara generatif dengan biji. Penelitian menunjukkan nyabah memiliki tipe perkecambahan adjacent ligular. Jenis perkecambahan ini merupakan satu dari tiga tipe perkecambahan tumbuhan palem di mana tunas tumbuh menempel pada biji dan diliputi oleh lidah daun.
Dalam tipe perkecambahan, biji palem menumbuhkan button yang diikuti dengan calon akar (radikula). Pada nyabah, calon akar ini muncul kurang lebih satu bulan setelah biji disemai. Untuk menjadi anakan lengkap dengan satu daun sejati, biji nyabah memerlukan waktu kurang lebih 190 hari sejak biji disemai.
Selain perbanyakan generatif, perbanyakan nyabah juga bisa dilakukan dengan metode kultur jaringan. Kultur jaringan adalah teknik mengisolasi bagian-bagian tumbuhan, seperti sel, jaringan atau organ untuk diinduksi agar mampu tumbuh dan beregenerasi kembali menjadi tumbuhan yang lengkap dalam lingkungan yang aseptik dan terkendali.
Dalam penelitian kami, teknik ini didasari teori totipotensi, di mana setiap bagian tumbuhan memiliki kemampuan membentuk tumbuhan lengkap karena masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik yang lengkap. Teknik kultur jaringan telah dikenal sejak 1970-an dan telah digunakan dalam memperbanyak berbagai jenis tumbuhan. Metode kultur jaringan sangat direkomendasikan bagi tumbuhan dengan kategori terancam seperti nyabah karena hanya memerlukan sedikit bahan tanam.
Faktor penting keberhasilan kultur jaringan adalah eksplan. Eksplan merupakan bagian tumbuhan yang digunakan pada awal kultur dilakukan. Eksplan dipilih dari tumbuhan induk yang sehat dan bebas dari hama penyakit. Metode kultur jaringan, eksplan berasal dari tiga bagian tanaman: daun muda, tangkai daun, dan embrio.
Berbeda dengan perbanyakan konvensional, dalam kultur jaringan media yang digunakan berupa agar dengan penambahan unsur hara makro dan mikro serta zat pengatur tumbuh. Umumnya kombinasi zat pengatur tumbuh dari golongan auksin dan sitokinin.
Auksin berperan dalam merangsang pertumbuhan kalus, mendorong pemanjangan pada selumbung jaringan daun, penghambatan tunas samping, merangsang aktivitas kambium, dan merangsang pertumbuhan akar. Sedangkan sitokinin mengatur pembelahan sel, penambahan tunas ketiak, dan dalam konsentrasi tertentu dapat menghambat pembentukan akar.
Secara alamiah, tumbuhan memproduksi auksin dan sitokinin sendiri. Pada upaya perbanyakan nyabah secara kultur jaringan, zat pengatur tumbuh antara lain α-naphthaleneacetic acid, indole-3-butyric acid, 2,4-dichlorophenoxyacetic acid, dan 6-benzyl amino purine yang ditambahkan pada media murashige skoog (MS).
Hasilnya, perbanyakan nyabah secara kultur jaringan menunjukkan embrio lebih potensial sebagai eksplan. Arah perkembangan eksplan ditentukan oleh interaksi antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi sendiri oleh sel dalam tumbuhan. Contohnya, pembentukan akar memerlukan auksin tanpa sitokinin atau sitokinin dalam konsentrasi yang sangat rendah.
Pembentukan embrio atau embriogenesis terjadi umumnya memerlukan nisbah auksin dan sitokinin yang tinggi. Namun, studi ini menemukan konsentrasi sitokinin lebih rendah dari auksin. Pada tumbuhan dikotil, kalus dapat terbentuk memerlukan auksin yang tinggi dan tetap dibutuhkan sitokinin dalam prosesnya.
Berkebalikan dengan pembentukan akar, untuk membentuk tunas adventif diperlukan sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi dan auksin konsentrasi rendah. Sitokinin dengan konsentrasi tinggi untuk menambah tunas ketiak. Auksin tidak berperan atau dalam konsentrasi yang sangat rendah.
Tahapan terakhir dalam kultur jaringan adalah aklimatisasi. Setelah eksplan mampu beregenerasi membentuk planlet atau tumbuhan sempurna yang memiliki daun dan akar yang baik, planlet dipindahkan dari lingkungan steril dan terkontrol ke lingkungan semi steril sebelum dipindah ke lapang. Tahap aklimatisasi untuk memastikan bahwa planlet dapat beradaptasi dengan lingkungan baru.
Proses aklimatisasi diawali dengan mengeluarkan planlet dari botol kultur dan ditanam dalam media steril. Media yang bisa digunakan dalam proses ini antara lain tanah, kompos, pasir, sekam, dan cocopeat.
Selama proses aklimatisasi, kondisi tumbuh planlet perlu dijaga dengan baik. Soalnya, planlet memiliki daya tahan yang lebih rendah daripada tumbuhan hasil perbanyakan konvensional. Sebagai contoh, planlet memiliki lapisan lilin pada jaringan epikutikula daun yang tipis dibandingkan tumbuhan yang tumbuh alami. Hal ini membuat planlet tidak bisa mengontrol transpirasi sebaik tumbuhan hasil perbanyakan konvensional.
Keberhasilan aklimatisasi ditandai dengan terbentuknya tunas dan akar baru pada planlet. Tumbuhan yang menunjukkan pertumbuhan yang baik pada tahap ini akan dipindahkan ke lapang. Perbanyakan tumbuhan secara kultur jaringan menghasilkan bibit dalam jumlah besar yang dapat digunakan untuk tujuan konservasi dan juga dapat direintroduksi ke habitat aslinya.
Sayangnya penelitian mengenai aklimatisasi nyabah hasil perbanyakan secara kultur jaringan hingga saat ini belum tersedia.
Ikuti percakapan tentang silvikultur di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Peneliti di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :