DALAM sepekan terakhir viral berita kebakaran di savana lembah Watangan yang lebih dikenal dengan Bukit Teletubbies di wilayah Taman Nasional (TN) Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Kebakaran savana tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas pengunjung yang menyalakan hand flare atau suar dalam rangka pengambilan foto pranikah.
Akibatnya wisata Bromo ditutup selama beberapa hari karena kebakaran berlangsung cukup lama meski petugas telah berupaya memadamkannya. Sebenarnya pada kondisi tertentu, kebakaran di ekosistem savana dianggap lazim. Apa dampak api terhadap ekosistem savana?
Savana adalah padang rumput dengan vegetasi kayu berupa semak hingga pohon yang jarang dan tersebar. Ekosistem terpengaruh oleh musim hujan dan kemarau, terutama savana di daerah tropis-subtropis.
Musim hujan memicu pertumbuhan tunas rerumputan baru dan jenis tumbuhan lainnya di savana. Saat musim kemarau, jenis-jenis penyusun ekosistem savana beradaptasi terhadap kondisi ekstrem seperti keterbatasan air, turunnya kelembaban tanah dan udara, bahkan kebakaran.
Tidak hanya jenis tumbuhan penyusunnya yang khas, savana juga merupakan habitat berbagai jenis satwa yang biasanya unik karena tidak terdapat di habitat lain. Savana yang luas dalam bentuk bioma (kumpulan ekosistem) ada di Brazil, Afrika, India dan Australia.
Bioma savana yang paling terkenal dan paling banyak dipelajari adalah savana Afrika. Ketika kita mengetik kata “savanna” di mesin pencari, savana Afrika akan muncul pada hasil pencarian teratas.
Savana Serengeti di Tanzania adalah salah satu savana Afrika yang paling sering kita lihat di berbagai media visual. Padang rumput yang luas, pohon akasia besar berbentuk payung (Vachellia tortilis), jerapah yang sedang memakan dedaunan pohon akasia, singa yang sedang tidur siang, gajah yang sedang bermain, gerombolan zebra dan wildebeest yang sedang berlarian adalah beberapa pemandangan khas savana tersebut.
Indonesia memiliki beberapa savana yang khas, baik dari cara terbentuknya, letaknya, topografinya, maupun tumbuhan dan satwa penghuninya. Namun, berdasarkan luasnya, savana Indonesia lebih sesuai disebut dengan ekosistem dibanding sebagai sebuah bioma.
Berdasarkan asal terbentuknya, ada savana buatan seperti savana Sadengan di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur, yang merupakan hutan yang dibuka dan dimanfaatkan sebagai feeding ground bagi satwa endemik banteng jawa (Bos javanicus), ada juga savana yang terbentuk secara alami seperti savana Sumba Timur yang merupakan habitat kuda Sumba (Equus caballus).
Berdasarkan letaknya, ada savana dataran rendah seperti savana Youram di Taman Nasional Wasur, Papua Selatan, yang merupakan habitat kanguru Tanah (Macropus agilis), ada savana dataran tinggi seperti savana Propok di Taman Nasional Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, yang juga merupakan habitat rusa timor (Cervus timorensis).
Tidak semua savana Indonesia memiliki topografi datar (flat savanna), ada juga savana yang berbukit-bukit atau bergelombang (undulate savanna). Flat dan undulate savanna dapat dilihat sekaligus di satu lokasi misalnya di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur, yang merupakan habitat bagi banteng jawa dan merak hijau (Pavo muticus).
Selain habitat beberapa jenis satwa khas, beberapa savana di Indonesia adalah rumah bagi satwa endemik yang terancam punah. Savana di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, misalnya, adalah rumah bagi komodo (Varanus komodoensis), burung jalak bali (Leucopsar rothschildi) memiliki habitat alami di savana Taman Nasional Bali Barat, burung julang sumba (Rhyticeros everetti) memiliki habitat alami di daerah ekoton (zona transisi) antara savana dan hutan di Taman Nasional Matalawa, Sumba, dan masih banyak contoh lainnya. Jenis-jenis satwa tersebut selain endemik juga berstatus endangered hingga critically endangered dalam daftar merah spesies terancam IUCN.
Alang-alang (Imperata cylindrica) adalah jenis rumput yang umum sebagai jenis utama penyusun ekosistem savana Indonesia. Jika dilihat lebih rinci, setiap savana di Indonesia memiliki jenis tumbuhan penyusun yang berbeda-beda sesuai dengan karakter lokasi, tanah dan iklim tempat savana tersebut berada.
Sebagai contoh, savana di Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru adalah rumah bagi dua tumbuhan endemik Jawa yaitu melelo (Styphelia javanica) dan anggrek tanah tosari (Habenaria tosariensis). Contoh lainnya savana dataran rendah seperti di Baluran, Bali Barat, dan Komodo biasanya sama-sama ditumbuhi palem-paleman seperti lontar (Borassus flabellifer) dan gebang (Corypha utan).
Pada savana dataran tinggi seperti di Gunung Rinjani terdapat tumbuhan khas pegunungan seperti pohon cemara gunung (Casuarina junghuhniana) dan edelweiss (Anaphalis viscida).
Meskipun gambaran ekosistem savana di Indonesia tidak semeriah bioma savana Afrika, kekhasan setiap ekosistem savana di Indonesia menunjukkan bahwa keberadaannya esensial bagi alam dan manusia di sekitarnya.
Savana Indonesia adalah rumah bagi tumbuhan dan satwa khas, menjaga keseimbangan lingkungan, berpotensi pakan bagi ternak, daya tarik wisata, laboratorium alam, bahkan juga sebagai cagar budaya situs megalitik tertua di Indonesia sebagaimana dapat ditemui di savana Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Kebakaran alami memiliki peran tertentu pada siklus regenerasi ekosistem savana. Pada bioma savana Afrika, kebakaran savana biasanya dipicu oleh sambaran petir di musim kemarau. Efeknya hewan-hewan besar seperti mamalia akan bermigrasi ke tempat yang aman, namun hewan-hewan kecil seperti serangga akan terbakar atau mati oleh panas api. Jasad serangga ini menjadi sumber makanan bagi burung dan insektivora lainnya yang beradaptasi terhadap suhu panas sisa kebakaran.
Kebakaran savana Afrika akan berhenti seiring dengan habisnya bahan bakar berupa rumput tua dan semak-semak kering. Kebakaran itu memusnahkan rerumputan tua, menghasilkan hamparan terbuka yang terpapar sinar matahari penuh dan subur oleh abu sisa kebakaran. Pada musim hujan, rumput baru akan tumbuh dengan mudah, savana Afrika kembali menghijau, hewan pemakan rumput (grazers) kembali datang dan berkembang biak, rantai makanan pun kembali berputar.
Sedikit berbeda dengan savana Afrika, savana Indonesia jarang mengalami kebakaran alami, namun bukan berarti tidak mengalami kebakaran alami sama sekali. Kebakaran savana di Indonesia lebih sering terjadi akibat aktivitas manusia, baik disengaja maupun karena kelalaian seperti terjadi di Bromo.
Kebakaran savana seperti yang baru terjadi di Bromo juga sempat terjadi di savana Gili Lawa di Taman Nasional Komodo pada 2018. Saat itu kebakaran diduga oleh ulah wisatawan yang membuang puntung rokok yang masih menyala. Aktivitas berisiko tersebut berpotensi besar menyebabkan kebakaran savana terutama ketika segitiga api tersedia di savana itu.
Pada musim kemarau, segitiga api tersedia di savana yaitu panas, bahan bakar (misal rerumputan dan semak savana yang kering), dan oksigen. Upaya pemadaman kebakaran biasanya dilakukan dengan melemahkan ketiga unsur api tersebut seperti mendinginkan suhu pada titik api, memisahkan atau menghabiskan bahan bakar, dan menyelimuti titik api untuk mengurangi ketersediaan oksigen.
Savana lembah Watangan di Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru yang baru saja terbakar, sebagaimana kebanyakan savana di Indonesia, didominasi oleh jenis alang-alang. Secara vegetatif alang-alang berkembang biak menggunakan rimpang, yaitu batang yang tumbuh mendatar dan menjalar di bawah permukaan tanah.
Ketika terjadi kebakaran maka bagian yang terbakar dari alang-alang hanyalah daunnya. Hal ini menjadikan alang-alang sebagai salah satu tumbuhan yang tahan terhadap kebakaran (fire resistant) karena tunas daunnya akan tumbuh lagi dari rimpangnya setelah menyerap air yang cukup pasca kebakaran.
Menilik tumbuhan endemik yang hidup di savana lembah Watangan, yaitu melelo dan anggrek tanah tosari, keduanya berpotensi bertahan dari kebakaran untuk berikutnya tumbuh kembali. Anggrek tanah tosari memiliki umbi yang berada di bawah tanah, sedangkan melelo adalah jenis semak yang tidak mudah terbakar (low flammable).
Jika dilihat dari tiga jenis tumbuhan itu saja, savana lembah Watangan kemungkinan akan pulih dengan cepat setelah turun hujan, bahkan alang-alangnya bisa tumbuh lebih subur menggantikan padang alang-alang yang jenuh. Namun untuk melihat dampak kebakaran sesungguhnya pada savana lembah Watangan, tentu tidak bisa disimpulkan hanya dengan melihat morfologi tiga jenis tumbuhan penyusun ekosistem savana itu.
Sebagai sebuah ekosistem, savana lembah Watangan ditinggali oleh puluhan jenis tumbuhan lain, satwa yang tinggal di tanah, serangga, burung dan juga mamalia yang saling berinteraksi. Ketika beberapa jenis penyusun ekosistem savana tersebut hilang sementara akibat kebakaran, lalu hujan lebat tak kunjung turun untuk memulihkannya, maka rantai makanan pada ekosistem itu akan terganggu.
Jika gangguan tersebut bertahan dalam waktu yang cukup lama, risiko berkurangnya keragaman hayati ataupun berkurangnya keseimbangan ekosistem itu akan semakin tinggi. Faktor waktu dan cuaca dalam hal ini berpengaruh terhadap dampak kebakaran pada ekosistem savana.
Bahkan ketika hujan turun tak lama setelah kebakaran, pemulihan ekosistem savana lembah Watangan masih berisiko terganggu oleh pertumbuhan spesies invasif yang pertumbuhannya lebih cepat dibanding tumbuhan lokal.
Lavender (Verbena brasiliensis), misalnya, adalah spesies invasif yang banyak terdapat di savana lembah Watangan. Mereka tahan api, tahan kekeringan, dan tidak dimakan oleh herbivora. Dengan sifatnya tersebut, lavender menjadi kompetitor yang sulit dikalahkan pertumbuhannya oleh tumbuhan lokal savana lembah Watangan, seperti anggrek tanah Tosari.
Dampak kebakaran pada savana Gunung Bromo dan savana lainnya di Indonesia perlu diteliti dengan seksama, bersama-sama dan berkelanjutan, sehingga hasilnya menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan dalam pengelolaan ekosistem savana yang lestari di Indonesia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :