Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 04 Juni 2019

Ekosida: Kejahatan Lingkungan yang Belum Diakui

Kejahatan lingkungan mulai ditimbang sebagai bagian dari pelanggaran hak asasi. Jalan masih panjang.

Ekosida: Memutus Impunitas Korporasi (Walhi, 2019)

MESKI sudah dimunculkan sejak 1968, di sekitar perang Vietnam, kata ecocide belum diserap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jika mengikuti pembentukan “genocide” menjadi “genosida”—perpaduaan kata Yunani dan Latin (genos = ras, cide = pemusnahan)—mestinya ecocide sepadan dengan “ekosida”: pemusnahan sumber daya alam secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Ekosida dikenalkan Arthur W. Galston, seorang biologis dan botanis Amerika, dalam Konferensi Pertanggungjawaban terhadap Perang di Washington, D.C. Seminar itu menyoal cara tentara Amerika menggempur tentara Vietkong dengan menyebarkan 19.000 ton bahan kimia di hutan-hutan persembunyian mereka. Penyebaran kimia itu tak hanya membuat kehancuran tanaman, flora, dan fauna, tapi diperkirakan mengubah gen manusia.

Sejak itu, ekosida menjadi istilah populer di kalangan aktivis lingkungan untuk menyebut penghancuran lingkungan besar-besaran. Banyak konvensi dan seminar yang melahirkan statuta dan konvenan sejak 1970 yang mewajibkan pemakaian hukum positif untuk ekosida setara dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang bagi individu maupun lembaga yang merusak alam secara masif.

Sejarah tentang ekosida dan aturan-aturan yang menaunginya dibahas secara panjang lebar dalam buku yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup pada Mei 2019 ini: Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi (klik untuk akses pdf). Hampir setengah buku membahas sejarah secara kronologis usulan-usulan dan upaya-upaya warga negara menuntut tanggung jawab ekosida.

Judulnya amat menjanjikan tentang strategi “memutus impunitas korporasi”. Selama ini kita tahu belaka korporasi yang secara kasat mata merusak lingkungan lolos dari hukuman, alih-alih disamaratakan kedudukannya dengan para pelanggar hak asasi atau penjahat perang yang terpotret berjalan dengan tangan diborgol di pengadilan internasional The Hague.

Ada yang menjanjikan ketika pengadilan memutus bersalah dan mendenda perusahaan yang menjadi penyebab kebakaran hebat di hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan pada 2015. Tapi itu pun masih sebatas hukum pidana dan denda. Pengadilan Jawa Barat bahkan membebaskan penanggung jawab perusahaan yang jelas-jelas terbukti membuang limbah pabrik secara langsung ke sungai Citarum yang membuat sungai ini dijuluki sebagai “sungai terkotor di kolong langit”.

Penyetaraan kejahatan kemanusiaan coba diusahakan dalam penanganan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia hendak memasukkan tragedi luapan sumur dari pengeboran minyak PT Lapindo Brantas itu ke dalam pelanggaran HAM. Usaha ini gagal karena hukum positif Indonesia belum memasukkan kejahatan lingkungan dalam ruang lingkup hukum pidana. Kejahatan pelanggaran hak asasi hanya diakui dua macam: kejahatan perang dan genosida.

Walhi memasukkan lumpur Lapindo sebagai studi kasus ekosida, selain kebakaran hutan dan lahan 2015 dan pembangunan pembangkit listrik tenaga air Koto Panjang di Riau pada 1990. Kebakaran hutan diduga bersumber dari api yang sengaja disulut untuk pembersihan lahan yang menghanguskan jutaan hektare hutan, merenggut mata pencarian, hingga menimbulkan penyakit saluran pernapasan. Begitu juga dengan PLTA Koto Panjang, yang menggusur puluhan ribu permukiman penduduk, membunuh habitat harimau dan gajah.

Walhi memasukkan tiga kasus itu punya bukti komplet dan jelas sebagai ekosida. Setelah itu, seharusnya, buku ini membahas soal strategi-strategi mewujudkannya. Ini perjuangan yang berat. Di Indonesia, proses legislasi selalu sebagai jalan panjang yang penuh onak dan duri. Walhi dan pembela lingkungan harus berhadapan dengan belantara DPR setelah meyakinkan mereka dan pemerintah bahwa ekosida layak masuk konstitusi kita.

DPR Indonesia adalah tempat bertemunya pelbagai kepentingan para politikus, baik kepentingan mereka sendiri dan partainya, maupun sponsor jauh di luar parlemen—para oligark yang tak ingin kepentingan mereka terganggu oleh perombakan status quo. Setelah menjadi beleid pun ekosida belum tentu bisa diterapkan secara taktis dalam hukum kita karena ada tafsir hakim yang acap kali tak berpihak pada kepentingan-kepentingan kemanusiaan yang lebih besar.

Walhi menyadari proses yang berat itu yang gampang menggelincirkan pada keputusasaan yang akut. Tapi terbitnya buku ini sebagai langkah awal kejahatan lingkungan menjadi problem serius yang harus ditangani segera. Ekosida bisa mulai pelan-pelan dikenalkan kepada khalayak sehingga menjadi seakrab genosida.

Bukti kerusakan lingkungan sudah nyata dan tak bisa lagi diabaikan. Pertambahan dan aktivitas manusia—kini mencapai 7,6 miliar—juga keinginan dan keserakahannya, membuat 1 juta spesies punah dalam 50 tahun terakhir. Suhu bumi naik 0,8 derajat C dalam 200 tahun terakhir sejak Revolusi Industri. Planet bumi menuju kehancuran pelan-pelan, umat manusia sedang bunuh diri massal tanpa mereka sadar.

Melebihi ekosida, melampaui genosida. Memutus impunitas korporasi yang jahat dan mengabaikan kelestarian alam adalah kerja besar untuk menyelamatkan planet ini.

___________

ECOCIDE: MEMUTUS IMPUNITAS KORPORASI

Penulis: Ridha Saleh, Wahyu Eka Setyawan, Devi Indriani, Fandi Rahman, Mariaty, Khalisah Khalid
Penerbit: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia didukung Yayasan TIFA
Edisi: Mei 2019
Tebal: 144 halaman

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain