KELAPA sawit telah menjadi penyebab deforestasi hutan Papua. Koalisi Indonesia Memantau (2021) mencatat ada 1.307.780 hektare izin kelapa sawit, yang berarti mengubah hutan tropis Papua menjadi perkebunan.
Indonesia membutuhkan 51 juta ton minyak sawit mentah per tahun untuk penggunaan domestik maupun ekspor hingga 2025. Pemerintah juga mengandalkan sawit untuk biodiesel dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Kelapa sawit bukan asli tumbuhan endemik tanah Papua. Selain mengubah hutan menjadi perkebunan monokultur, sawit menyebabkan konflik masyarakat adat.
Untuk menumbuhkan ekonomi semestinya pemerintah mengembangkan komoditas asli tiap pulau karena pengelolaannya diakrabi oleh masyarakat setempat secara turun-temurun. Salah satu komoditas yang berpotensi menghasilkan nilai ekonomi tinggi di Papua adalah buah merah (Pandanus conoideus).
Buah merah dikenal dengan aneka macam nama, bergantung pada suku di Papua. Ada Kobokana, Abo, Saj, Bergum, Maler, Wona, dan Wesi. Namun, menurut anthropolog Amerika Serikat, Karl G. Haider, nama ilmiah buah merah di ambil dari suku di lembah Baliem pada 1960-1961. Suku-suku di sana menyebut buah merah sebagai daik.
Buah merah memiliki akar budaya panjang masyarakat adat Papua. Dalam setiap perayaan pesta bakar batu (barapen), buah merah menjadi salah satu menu pendamping makanan utama.
Buah merah merupakan tanaman dari famili pandan-pandanan (Pandanaceae) yang lekat dengan kultur dan hutan masyarakat adat Papua. Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Badan Pusat Statistik (BRIN-BPS) pada 2021 menemukan buah merah memiliki potensi ekonomi hijau yang sesungguhnya.
Dibandingkan dengan budi daya sawit yang merupakan tanaman introduksi, pengembangan buah merah bisa menjaga keseimbangan alam dan tidak merusak ekosistem hutan, tidak menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, dan menjadi sumber makanan bagi berbagai hewan di hutan Papua. Buah merah adalah pakan Cenderawasih, burung endemik dan ikonik Papua.
Mereka yang rutin mengonsumsi buah merah juga terbukti lebih sehat, bugar, dan stamina tinggi. Orang Papua bisa beradaptasi dengan alam yang keras berkat mengonsumsi buah merah.
Masyarakat Wamena, Timika, Jawa Wijaya, dan penduduk di desa-desa pegunungan Papua tercatat tak punya masalah dengan kesehatan mata, jarang yang terkena kanker, atau serangan jantung. Buah merah kaya akan vitamin A dan omega yang berperan sebagai antioksidan.
Beberapa penelitian menyebut buah merah kaya akan karetenoid dan flavonoid, zat antiparasit. Riset Umar (2021), dalam Future Journal of Pharmaceutical Sciences, menunjukkan buah merah bahkan memiliki khasiat sebagai obat HIV.
Penelitian lebih lanjut terhadap 16 metabolit buah merah juga menunjukkan bahwa ada beberapa senyawa dalam buah yang bisa menjadi antivirus. Senyawa tersebut adalah quercetin 3′-glucoside, quercetin 3-O-glucose, dan taxifolin. 3-O-α-arabinopyranose yang merupakan inhibitor atau agen antipenyakit SARS-CoV atau Covid-19.
Selain untuk konsumsi, buah merah juga menghasilkan ekstrak minyak. Di pasar, harga minyak buah merah 15 kali lipat lebih tinggi dibanding minyak sawit, jagung, atau kedelai.
Dosen Universitas Cendrawasih I Made Budi telah menciptakan teknologi pengolah buah merah yang mampu mengekstrak red fruit oil (RFO). RFO dibutuhkan oleh industri farmasi sebagai suplemen makanan.
Harga RFO dengan penggunaan produksi mesin evoporataor milik rakitan I Made dihargai Rp 800.000 per liter. Harga ini jauh lebih tinggi dibanding minyak sawit yang hanya Rp 11.000-12.000 per liter. I Made sedang melakukan riset RFO untuk bisa menjadi salah satu alternatif bahan bakar biodisel.
Berdasarkan data herbarium Global Biodiversity Information Facility (GBIF) selain di Papua, buah merah juga ditemukan di Kepulauan Maluku, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Mikronesia.
Menurut Keim (2009), buah merah merupakan tanaman soliter yang tingginya mencapai 3-10 meter. Pohon buah merah memiliki akar tunjang atau penyangga dan batang yang bercabang. Daun berbentuk pita dengan panjang mencapai 180 sentimeter dan lebar 3-5 sentimeter, serta pinggiran daun memiliki duri. Daun bagian atas berwarna hijau gelap sementara bagian bawah lebih pucat.
Selain memiliki nilai ekonomi tinggi, buah merah tidak memiliki potensi konflik kultural dengan orang asli Papua (OAP). Menurut I Made Budi, bahan baku buah merah yang dia peroleh dibeli dari tanah ulayat orang Papua.
Artinya, orang asli Papua telah memiliki pengetahuan yang telah diwariskan secara turun temurun mengenai cara mendapatkan, merawat, dan mengolah buah merah. Berbeda dengan tanaman kelapa sawit, orang Papua tak pandai membudidayakannya karena baru masuk ke tanah Papua pada 1980-an.
Ikuti perkembangan terbaru tentang buah merah di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Peneliti Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Topik :