Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 23 September 2023

Sarangan: Bioprospeksi Hutan yang Terancam Hilang

Pohon sarangan makin langka. Buah dan kayunya bernilai ekonomi tinggi.

Buah sarangan

BANYAK tumbuhan hutan yang bisa menghasilkan manfaat bukan kayu yang punya nilai ekonomi tinggi, sehingga bisa masuk dalam bioprospeksi. Salah satunya Castanopsis argentea (Blume) A.DC., atau sering disebut rambutan hutan dengan nama lokal sarangan atau saninten. 

Sarangan tersebar secara alami di Pulau Jawa dan Sumatera di daerah dengan ketinggian 150-1.400 meter dari permukaan laut. Di Jawa, sarangan merupakan salah satu jenis khas penyusun ekosistem hutan pegunungan seperti di Gunung Gede-Pangrango, Halimun, Ungaran, Merapi, Merbabu, dan Lawu. Di Sumatera, jenis ini ditemukan di Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, dan kawasan hutan di Provinsi Riau. Sarangan juga ditemukan di Pulau Bangka dengan nama berangan.

Konstruksi Kayu

Biji sarangan dapat dikonsumsi (edible nuts) dan menjadi komoditas pangan yang bernilai tinggi, seperti halnya kacang kastanya (chestnut). Pada jaman dulu jumlah pohon sarangan masih cukup banyak dan buahnya melimpah, sehingga warga sekitar Gunung Merapi memanfaatkan biji sarangan untuk dikonsumsi dan sebagai alat untuk pertukaran barang (barter).

Selain bijinya, kayu sarangan juga mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Kayu sarangan dapat digunakan untuk konstruksi, bahan furnitur, bahan baku kapal dan alat musik.

Saat ini regenerasi alami sarangan sangat rendah, terutama akibat gangguan bencana alam dan satwa liar. Biji sarangan yang masih muda biasanya dimakan tupai. Jika sudah matang biasanya dimakan oleh monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Sarangan tidak menghasilkan buah setiap tahun, namun setiap dua atau tiga tahun sekali. Perilaku saranan ini menyebabkan populasi maupun jumlah individu pohon sarangan semakin lama semakin berkurang. Sebaran alami sarangan telah berkurang lebih dari 50% dalam tiga generasi terakhir. Jumlah pohon sarangan di populasi alam saat ini hanya berkisar 1-15 pohon per hektare.

Keberadaan sarangan yang semakin terancam tersebut menyebabkan IUCN memasukkannya ke dalam daftar spesies yang terancam punah (endangered species). Sarangan merupakan salah satu dari 22 spesies tumbuhan prioritas konservasi nasional berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P57/Menhut-II/2008, dan telah ditetapkan menjadi jenis tumbuhan dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. 

Upaya konservasi sarangan, karena itu, menjadi penting. Upaya konservasi tidak terbatas pada perlindungan habitat alaminya, namun juga terkait dengan pengawetan dan pemanfaatannya secara lestari untuk kepentingan masyarakat.

Konservasi in-situ untuk menjaga keberadaan populasi dan pohon yang masih tersisa di habitat alamnya. Selain menjaga sarangan yang masih ada, perlu juga pengayaan untuk menambah individu dengan tetap memperhatikan keragaman dan kemurnian genetikanya. Jumlah plot konservasi in-situ yang ditunjuk dapat mewakili sebaran dan keragaman genetikanya. Populasi sarangan dengan jumlah individu yang masih banyak dan mempunyai keragaman genetik tinggi, perlu ditunjuk sebagai plot konservasi in-situ.

Konservasi eks-situ di luar populasi alam dengan cara menduplikasi populasi dan individu pohon sarangan. Materi genetik untuk pembangunan plot konservasi eks-situ mesti melihat keterwakilan sebaran alami dan keragaman genetikanya. Jumlah plot konservasi eks-situ sebaiknya tidak hanya satu tempat. Perlu pula pemisahan materi genetik dari populasi yang berjauhan untuk mempertahankan kekhasan genetikanya. 

Plot konservasi eks-situ juga mesti bisa dimanfaatkan buahnya oleh masyarakat, baik untuk pembuatan bibit maupun pemanfaatan biji untuk kepentingan komersial. Dengan melibatkan masyarakat, keberadaan plot konservasi lebih terjamin keamanannya dan masyarakat dapat merasakan manfaatnya.

Selama ini kebutuhan akan kacang kastanya di Indonesia terpenuhi dari impor atau menanam jenis-jenis dari luar negeri di Indonesia seperti Macadamia. Dengan banyaknya permintaan pada kastanya, biji dari sarangan menjadi potensial dikembangkan.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Gunung Merapi pada tahun 2018-2019 telah mengidentifikasi individu pohon sarangan di kawasan Gunung Merapi. Survei dilakukan di 12 populasi yang tersebar di lima resor pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi. Jumlah individu per populasi bervariasi antara 1-15 dan total individu sarangan sebanyak 82 pohon.

Survei populasi sarangan di Gunung Merapi hanya menemukan tingkat pohon. Tingkatan tiang dan pancang sama sekali tidak ada, sedangkan tingkatan semai jumlahnya sangat sedikit. Hal ini menandakan tak terjadi regenerasi alami sarangan di wilayah Gunung Merapi selama beberapa puluh tahun. Apabila hal ini dibiarkan, lama-kelamaan pohon sarangan akan semakin habis.

Penelitian lainnya pada studi pembuahan, analisis keragaman genetik, perbanyakan vegetatif, dan pembangunan demplot. Walaupun jumlah pohonnya sedikit, keragaman populasi sarangan di Gunung Merapi cukup tinggi. Informasi keragaman genetik ini penting untuk menentukan strategi konservasi. Keberadaan sarangan masih bisa dipertahankan apabila keragaman genetikanya juga bisa dipertahankan.

Demplot penanaman sarangan telah dibangun menggunakan bibit cabutan dari populasi alam. Persentase hidup bibit cukup tinggi dan pertumbuhannya juga relatif cepat. Hal ini menandakan apabila dipelihara dengan baik, pohon sarangan bisa tumbuh dengan baik pula.

Mengingat status sarangan terancam punah, penanaman sebaiknya dilakukan di kawasan konservasi. Penanaman yang cukup luas dapat dilakukan pada area pemanfaatan seperti di zona tradisional maupun zona pemanfaatan taman nasional. Para pemangku kawasan konservasi dapat menyediakan areal tersebut untuk penanaman sarangan untuk perlindungan sekaligus pemanfaatan. 

Dengan konservasi, keberadaan sarangan akan terjaga dan kemungkinan akan semakin bertambah. Jumlah pohon sarangan yang mengalami degradasi populasi maupun individu memerlukan perbanyakan, baik melalui teknik perbanyakan generatif maupun vegetatif makro (stek, grafting, cangkok) dan mikro (kultur jaringan).

Kunci dari keberhasilan konservasi sarangan adalah menggabungkan antara perlindungan dan pemanfaatan dengan pelibatan masyarakat sekitar hutan. Dengan begitu, populasi dan pohon sarangan akan terus terjaga dan semakin bertambah, masyarakat sekitar hutan juga bisa merasakan manfaatnya.

Ikuti percakapan tentang bioprospeksi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain