Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 25 September 2023

Filsafat Sains untuk Pertanian Berkeadilan

Filsafat sains penting untuk menopang pertanian berkelanjutan. Seperti apa?

Filsafat sains untuk pertanian berkelanjutan

Pengetahuan tentang latar belakang historis dan filosofis bisa membebaskan prasangka ilmuwan. Kemandirian wawasan filosofis ini, menurut saya, adalah pembeda antara seorang seniman atau spesialis dengan seorang pencari kebenaran sejati.

APA yang dimaksud dengan “kebenaran sejati” dalam surat Albert Einstein kepada Robert Thornton pada 1944 itu? Mengapa para pencarinya perlu memiliki pengetahuan tentang latar belakang historis dan filosofis untuk mendapatkannya?

Konstruksi Kayu

Artikel Lucie Laplane, dkk “Why science needs philosophy” (2019) coba mengurai apa yang disebut sebagai tinjauan filosofis itu:

Pertama, meskipun ada hubungan historis yang erat antara sains dan filsafat, para ilmuwan masa kini acap memandang filsafat sebagai sesuatu yang berbeda, bahkan bertentangan dengan sains. Padahal sebaliknya. Filsafat punya dampak positif dan produktif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Berbagai bidang ilmu kehidupan kontemporer secara eksplisit berkontribusi pada sains.

Kontribusi filsafat dapat mengambil setidaknya empat bentuk, yaitu klarifikasi konsep-konsep ilmiah, penilaian kritis terhadap asumsi atau metode ilmiah, perumusan konsep dan teori baru, serta pembinaan dialog antara ilmu-ilmu yang berbeda maupun antara sains dan masyarakat luas.

Kedua, filsafat menawarkan klarifikasi konseptual. Klarifikasi konseptual tidak hanya untuk meningkatkan ketepatan dan kegunaan istilah-istilah ilmiah, juga mengarah pada penyelidikan eksperimental baru, karena pilihan kerangka konseptual tertentu membatasi atau memperluas penyusunan sebuah eksperimen.

Melengkapi peranannya dalam klarifikasi konseptual itu, filsafat berkontribusi pada kritik terhadap asumsi ilmiah—bahkan proaktif merumuskan teori-teori baru yang bisa diuji dan diprediksi, yang membantu menetapkan jalur baru bagi penelitian empiris.

Ketiga, filsafat dan sains berbagi alat logika, analisis konseptual dan argumentasi yang ketat. Para filsuf mengoperasikan alat-alat ini dengan tingkat ketelitian, kebebasan, dan abstraksi teoretis, yang acap tidak mampu dilakukan para peneliti pada umumnya dalam aktivitas sehari-hari.

Untuk itu, para filsuf dengan pengetahuan ilmiah yang relevan, berkontribusi secara signifikan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di semua tingkat usaha ilmiah mulai dari teori hingga eksperimen.

Keempat, bagaimana kita memfasilitasi kerja sama antara peneliti dan filsuf? Masing-masing komunitas harus mengambil langkah untuk bekerja sama. Ini bukan tugas yang mudah. Kondisi saat ini menunjukkan, di antara filsuf yang menyukai dialog dengan peneliti, hanya sedikit yang memiliki pengetahuan yang baik tentang sains terkini. Sebaliknya, hanya sedikit peneliti yang merasakan manfaat dari wawasan filosofis.

Dalam wawasan ilmiah saat ini, yang didominasi oleh meningkatnya spesialisasi dan tuntutan pendanaan, hanya sedikit peneliti yang memiliki waktu dan kesempatan untuk mengetahui karya-karya para filsuf di bidang sains, apalagi mempelajarinya.

Kelima, perlu desain kebijakan yang dapat mempertemukan sains dan filsafat dengan memberikan lebih banyak ruang bagi filsafat dalam konferensi ilmiah. Ini dapat menjadi mekanisme sederhana bagi peneliti untuk menilai potensi kegunaan wawasan para filsuf untuk penelitian mereka. Selain itu perlu pengalaman nyata yang berguna apabila tersedia kesempatan bagi para filsuf di laboratorium dan departemen ilmiah. 

Pengalaman lain adalah dengan cara mewujudkan kurikulum yang seimbang antara sains dan filsafat untuk mendorong dialog di antara keduanya. Upaya seperti itu juga dapat dilakukan dengan membuka bagian baru untuk isu-isu filosofis dan konseptual dalam jurnal ilmiah. Menjaga kesetiaan yang erat pada filsafat akan meningkatkan vitalitas ilmu pengetahuan.

Dalam British Journal for the Philosophy of Science, Gürol Irzık dan Faik Kurtulmuş menulis “Distributive Epistemic Justice in Science” (2021) untuk mengembangkan penjelasan tentang keadilan epistemik distributif dalam produksi pengetahuan ilmiah. Mereka mengidentifikasi empat syarat:

Pertama, sains harus menghasilkan pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat untuk memikirkan kepentingan umum, kepentingan individu, dan upaya untuk mencapainya.

Kedua, ilmu pengetahuan harus menghasilkan pengetahuan yang dibutuhkan oleh mereka yang melayani masyarakat untuk menegakkan keadilan secara efektif.

Ketiga, ilmu pengetahuan harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak membantu pembuatan ketidaktahuan yang disengaja.

Keempat, ketika mengambil keputusan mengenai risiko epistemik, para ilmuwan harus memastikan tidak ada kelompok sosial atau kepentingan yang terabaikan. 

Pandangan ini jelas mengutamakan manfaat sains bagi masyarakat, bukan bagi pengembangan sains itu sendiri. Cara terjadinya ketidakadilan antara lain akibat kegagalan sistematis dalam memenuhi kebutuhan pengetahuan masyarakat dan pejabat publik yang melayani mereka.

Selain itu juga terjadi ketidakadilan epistemik distributif, yaitu rendahnya kesempatan masyarakat memperoleh pengetahuan terkini. Hasil pengetahuan baru dan terbaik dari pelaksanaan kebijakan global dan nasional, umumnya disuguhkan bagi komunitas internasional daripada bagi bangsa sendiri.

Di sini, apa yang disebut sebagai “pelaporan berimbang” oleh media masa memainkan peran penting. Pelaporan sains yang lebih bernuansa tidak diragukan lagi, penting untuk keadilan epistemik distributif.

Masyarakat yang lebih terdidik mengenai cara kerja ilmu pengetahuan biasanya mengetahui dasar hubungan sebab-akibat. Sementara ahli yang peduli terhadap persoalan keadilan sosial tidak akan terpengaruh agenda kelompok kepentingan tertentu, nasional maupun internasional.

Karena itu pengembangan pengetahuan pertanian berkelanjutan tanpa mempraktikkan filsafat ilmu akan mendorong pengembangan teknologi dan ekonomi yang melahirkan ketidakadilan. Selain itu penekanan pada metode dan hasil empiris saja akan membuat ilmu pengetahuan menjadi semakin dangkal.

Kita memerlukan penyegaran terhadap daya guna dan manfaat ilmu pengetahuan, dengan menghubungkannya secara lebih erat dengan filsafat.

Ikuti percakapan tentang pertanian berkelanjutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain