PADA 14 September 2023, saya diundang sebagai pembahas diskusi terfokus kelanjutan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Saya satu-satunya ahli nonperguruan tinggi yang diundang dalam diskusi. Narasumber lainnya dari UGM, Universitas Diponegoro, IPB, ITB, UI.
Dalam diskusi itu mengemukan bahwa BRGM merupakan lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden. Dibentuk pada 2016, tugasnya mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut d Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Pada Desember 2020, Presiden Jokowi memperpanjang lembaga ini sewaktu masih Bernama Badan Restorasi Gambut. Perpanjangan itu sekaligus menambah tugas lembaga ini dengan meluaskan pada restorasi mangrove. Tugas BRGM adalah merestorasi gambut seluas 2 juta hektare dan tugas baru merehabilitasi mangrove 600.000 hektare hingga 2024.
Hingga 2021, BRGM telah merestorasi 300.000 hektare gambut melalui rewetting, revegetasi, dan revitalisasi. Ada 774 unit sekat kanal dan 110 unit sumur bor, serta revegetasi gambut seluas 325 hektare.
Selain pembangunan Infrastruktur Pembasahan Gambut (IPG), tahun 2021 BRGM melakukan pemeliharaan sebanyak 4.032 unit sumur bor dan 8.059 unit sekat kanal. Juga perbaikan terhadap 586 sumur bor dan 339 unit sekat kanal yang terbangun pada periode sebelumnya.
Sedangkan rehabilitasi mangrove pada 2021 seluas 33.000 hektare di sembilan provinsi. Untuk memperkuat pemberdayaan masyarakat di sekitar lahan gambut dan mangrove, BRGM mendorong 110 Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG) dan 220 Desa Mandiri Peduli Mangrove (DMPM) yang terintegrasi dengan pembangunan kawasan perdesaan.
Dari capaian dan tantangan mitigasi krisis iklim yang tengah kita hadapi hari ini, menurut saya, BRGM perlu dipertahankan, karena:
Krisis iklim
Pemanasan suhu bumi, kenaikan muka air laut, banjir, juga badai dan bencana iklim lain membawa perubahan besar pada habitat sebagai rumah alami bagi berbagai spesies binatang, tanaman, dan berbagai organisme lain. Perubahan habitat menyebabkan punahnya berbagai spesies, baik binatang maupun tanaman, seperti pohon-pohon besar di hutan yang menjadi penyerap utama emisi karbon. Mereka tidak sempat beradaptasi terhadap perubahan suhu dan
perubahan alam yang terjadi terlalu cepat. Punahnya berbagai spesies ini, akan berdampak lebih besar lagi pada ekosistem dan rantai makanan.
Penyebab krisis iklim adalah pemanasan global. Pemanasan global dipicu oleh konsentrasi berlebih emisi gas rumah kaca di atmosfer. Emisi gas rumah kaca adalah hasil aktivitas ekonomi manusia. Menurut para ahli PBB bencana iklim yang mengancam umat manusia jika kenaikan suhu bumi melebihi 1,50 Celsius.
Studi Departemen Teknik Sipil University of Hong Kong dan Southern University of Science and Technology mendeteksi hilangnya karbon tropis selama dua tahun terakhir karena penggundulan hutan berlebihan. Kehilangan simpanan karbon hutan tropis di seluruh dunia naik 0,97 miliar ton per tahun pada 2001-2005 menjadi 1,99 miliar ton per tahun pada 2015-2019.
Menurut riset Nature Converservancy di jurnal Nature Sustainability tahun 2021, gambut Indonesia, khususnya di Kalimantan dan Papua, juga mempunyai konsentrasi simpanan karbon besar. Demikian juga mangrove sebagai habitat karbon biru, yang luasnya seperempat mangrove dunia.
Kawasan pesisir Indonesia menyimpan cadangan karbon biru 3-5 kali cadangan karbon hutan daratan yang terlebat. Hutan sekunder mangrove juga mampu menyimpan karbon 54,1-182,5 ton per hektare Studi Daniel Murdiyarso pada 2015 menyebutkan serapan karbon mangrove sebesar 1.083 ton per hektare per tahun.
Krisis Pangan
Krisis iklim yang berkepanjangan akan berdampak pada penurunan produktivitas pangan secara keseluruhan. Bilamana krisis iklim ini tidak segera dilakukan mitigasi yang masif akibatnya akan fatal bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Krisis iklim yang telah berlangsung sejak beberapa tahun lalu, telah menambah parah bencana kelaparan di negara-negara tertentu.
Tahun 2022, krisis iklim menambah parah bencana kelaparan. Sepuluh titik pusat krisis iklim terparah adalah negara Afganistan, Burkina Faso, Djibouti, Guatemala, Haiti, Kenya, Madagaskar, Nigeria, Somalia dan Zimbabwe.
Dalam pidato Dies Natalis ke-60 IPB University pada 15 September 2023, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa tantangan Indonesia di masa depan salah satunya adalah ancaman krisis pangan. Jumlah penduduk dunia maupun Indonesia semakin naik. Kebutuhan pangan semakin meningkat.
Ancaman krisis pangan ini dibarengi dengan ancaman perubahan iklim seperti kemarau panjang yang dibayangi dengan El Niño, kenaikan suhu, kenaikan air laut serta ancaman geopolitik (perang antara Rusia dan Ukraina) yang berhubung dengan krisis pangan akibat terhentinya pasokan gandum ke negara-negara importir. Akibatnya harga-harga komoditas pangan naik berkali lipat.
Tahun ini (2023), pemerintah menargetkan produksi padi sebesar 54,5 juta ton dan beras 34,19 juta ton. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras pada Januari-September 2023 sebanyak 25,64 juta ton, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 26,17 juta ton.
Dalam diskusi yang membahas dampak El Niño pada produksi beras oleh Perhimpunan Agronomi Indonesia pada Juli 2023 di Bogor, Jawa Barat, terungkap surplus beras Indonesia terus menurun. Data yang disampaikan Direktur Serealia Kementerian Pertanian M. Ismail Wahab memperlihatkan jika pada 2018 ada surplus beras 4,37 juta ton, pada 2022 surplus hanya 1,34 juta ton.
Data juga menunjukkan rata-rata produktivitas padi stagnan hanya di kisaran 5 ton per hektare. Produktivitas yang stagnan berhadapan dengan kenaikan jumlah penduduk, konsumsi beras yang masih tinggi, dan konversi lahan sawah produktif untuk peruntukan nonpangan.
Meskipun kinerja BRGM sampai 2023 belum berhasil signifikan dalam merestorasi gambut melalui revegetasi tanaman tumbuh dan luas yang menggembirakan, tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan gambut dan mangrove mulai tampak dan meningkat dengan dibentuknya 110 Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG) dan 220 Desa Mandiri Peduli Mangrove (DMPM) yang terintegrasi dengan pembangunan kawasan perdesaan.
Modal awal dan dasar untuk memperkuat kelembagaan masyarakat telah diletakkan oleh BRGM. Sesungguhnya keberhasilan restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove berada di tangan masyarakat yang tinggal di sekitar ekosistem gambut dan mangrove itu sendiri. Tugas yang lebih sulit adalah menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat sampai pada tahap kemandirian untuk menjaga, merawat hasil-hasil pembangunan infrastruktur gambut untuk pembasahan(rewetting) sampai berfungsi dan hasil revegetasi tanaman mangrove sampai mencapai pohon dewasa.
Melihat eskalasi dua tantangan terbesar yang dihadapi negara ini, yakni krisis iklim dan krisis pangan, eksistensi BRGM sebagai lembaga negara nonstruktural masihdiperlukan untuk mendukung tugas-tugas lembaga pemerintah yang bersifat portofolio seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang belum melindungi gambut dan mangrove.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :