Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 02 Oktober 2023

Peran Hutan dalam Mitigasi Kekeringan

Hutan berperan penting dalam mencegah kekeringan. Pelindung mata air.

Kekeringan

HUTAN memang tak menghasilkan air. Tapi hutan bisa mengatur tata air. Pengalaman masyarakat Madura, Wonogiri, dan Malang Selatan di Jawa Timur dalam 20 tahun terakhir membuktikan bahwa menanam pohon dan menjaga hutan bisa menjaga mata air sekaligus menumbuhkan kembali mata air yang hilang sehingga bisa menyelamatkan mereka dari bencana kekeringan saat musim kemarau panjang seperti sekarang.

Di daerah rawan kekeringan biasanya masih ada mata air. Tugas kita menyelamatkan sumber-sumber mata air tersebut dengan melindungi tangkapan air hujan (springshed). Caranya dengan menerapkan konservasi tanah dan air di tiga zona mata air.

Zona 1 dengan menutup akses langsung pemanfaatan air agar sumber mata air tidak terganggu dan tidak tercemar lalu membuat penampungan untuk pemanfaatan langsung. Zona 2 berjarak sekitar  300 meter dari titik mata air dengan mencegah limbah dan bahan pencemar masuk ke areah ini. Zona 3 yakni springshed yang luas. Di zona ini air hujan masuk ke dalam tanah dan batuan.

Konservasi air di zona 3 adalah memasukkan air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah dan mengurangi evapotranspirasi. Di zona ini peran ekosistem hutan sangat penting. Di sini kita perlu menanam jenis pohon yang akarnya mampu mengikat air sehingga menjadi pasokan bagi mata air. (Baca: Pohon Pelindung Mata Air)

Minimal ada tujuh penyebab bencana kekeringan:

  1. Wilayah iklim kering yang memiliki curah hujan di bawah 1.500 mm, misalnya Nusa Tenggara Timur dan Lembah Palu;
  2. Wilayah dengan curah hujan tinggi tetapi distribusi bulanannya tidak merata. Kabupaten Grobogan memiliki curah hujan rata-rata tahunan 2.050 milimeter per tahun tetapi karena distribusi bulanannya tidak merata maka mulai pertengahan Mei biasanya sudah terjadi defisit air;
  3. Wilayah dengan curah hujan tinggi tetapi kapasitas tanah untuk menahan air rendah;
  4. Kondisi geologi yang menyebabkan bencana kekeringan, misalnya pada gunung berapi yang lapisan geologinya abu vulkanik. Gunung Merapi bagian tengah sampai puncak topografinya miring sering terjadi kekeringan tetapi air tanah muncul menjadi mata air di kaki gunung. Bencana kekeringan semacam ini juga terjadi pada wilayah dengan geologi kapur/kars. Di Gunung Kidul, terjadi bencana kekeringan akibat air hujan lolos ke lapisan batuan yang dalam membentuk sungai bawah tanah sehingga sumur-sumur masyarakat mengering.  Berbeda dengan Gunung Kidul, gugusan kars Gunung Kendeng (Pati, Grobogan, Blora, dst) mengalami pembentukan tanah vertisol yang relatif lebih cepat. Pelapukan tersebut membentuk debu yang menutupi pori-pori tanah sehingga air hujan sulit masuk ke tanah. Di samping itu jenis tanah vertisol memiliki water holding capacity yang rendah sehingga air hujan yang jatuh, sebagian besar menjadi limpasan yang mengalir di permukaan tanah. Akibatnya pada musim penghujan menjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan. Penduduk Kabupaten Grobogan menyebutnya “nek mongso udan ora iso ndodok nek mongso ketiga ora iso cewok” (pada musim penghujan tidak bisa buang air jongkok di sungai karena banjir tetapi pada musim kemarau gak bisa cebok karena tak ada air akibat sungainya kering);
  5. Pemilihan tanaman yang keliru, misalnya penanaman tanaman yang memiliki evapotranspirasi tinggi. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo menemukan evapotranspirasi Pinus merkusii sebesar 1.771 milimeter per tahun. Bila pinus ditanam pada wilayah yang memiliki curah hujan <1.771 mm per tahun, akan terjadi kekeringan di area sekitarnya; 
  6. Perilaku yang keliru dalam pemanfaatan air tanah. Pengambilan air tanah untuk hotel dan pabrik yang lebih dalam dari sumur-sumur penduduk menyebabkan kekeringan lokal sehingga sumur penduduk di sekitarnya mengering;
  7. Pemompaan air sungai pada musim kemarau di daerah hulu menyebabkan kekeringan di bagian hilir.

Banyak cara memenuhi air baku untuk kebutuhan di musim kemarau. Dalam skala rumah tangga dapat dilakukan dengan mencari air dari sumber mata air yang masih mengalir dan pemanenan air hujan. (Baca: Cara Memanen Air Hujan)

Adaptasi di sektor pertanian dengan menghindari menanam tanaman boros air. Petani tidak perlu memaksakan menanam padi di musim kemarau. Kegiatan tersebut memiliki risiko gagal panen dan menimbulkan kerugian ekonomi. Juga memilih tanaman yang relatif tahan terhadap bencana kekeringan seperti kacang hijau.

Di samping relatif tahan terhadap kekeringan, kacang hijau tidak memerlukan pengolahan lahan karena lahan bekas musim tanam dengan cara ditugal dan biaya usaha tani kacang hijau lebih rendah dibanding menanam padi atau jagung. Dengan harga jual kacang hijau relatif tinggi dan stabil maka petani sangat diuntungkan.

Penanaman tumpang gilir dan embung mini merupakan cara yang biasa dilakukan petani tembakau. Bibit tembakau ditanam antara tanaman jagung atau sayuran yang menunggu dipanen. Tujuannya agar bibit tembakau bisa tumbuh baik dengan memanfaatkan air hujan di akhir musim penghujan dan di awal musim kemarau tanaman tersebut sudah kuat bertahan dengan sedikit kandungan air tanah.

Baca: Bagaimana Masyarakat Sulang Bertahan Saat Musim Kering

Bisa juga pembuatan sumur renteng seperti di pantai selatan Bantul dan NTT petani membuat sumur renteng dengan membangun sumur pantek dan mengalirkan airnya ke beberapa bak penampungan menggunakan paralon untuk menyiram tanaman pertanian pada saat musim kemarau.

Kekeringan bersifat merayap (creeping phenomenon) sehingga tidak akan menimbulkan dampak fatal atau kematian. Hal ini karena bencana kekeringan di Indonesia terjadi hanya pada wilayah tertentu. Di tempat lain masih banyak air dan bahan pangan yang bisa disuplai ke wilayah yang terpapar. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah peringatan dini, manajemen tanggap darurat yang tangguh, dan sarana-prasarana yang memadai sehingga bila terjadi bencana di wilayah tertentu, bantuan air dan makanan segera dapat dikirim dan tidak menimbulkan kematian.

Ikuti percakapan tentang kekeringan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti Utama di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain