DALAM rehabilitasi hutan dan lahan, rehabilitasi mangrove punya posisi unik. Di Undang-Undang Kehutanan, pasal 41 ayat (1) menyebutkan rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya.
Sementara Peraturan Pemerintah Nomor 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan, masalah yang berkaitan dengan rehabilitasi mangrove tidak disebut secara tersirat (implisit) apalagi tersurat (eksplisit). Belakangan baru diketahui bahwa sejak 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Jadi, apa dasar regulasi BRGM melakukan rehabilitasi mangrove selama ini?
Ternyata BRGM melakukan rehabilitasi mangrove berdasarkan regulasi dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23/2021 tentang rehabilitasi hutan dan lahan, khususnya pada pasal 19 ayat (1 dan 4) dan Lampiran VI.
Dalam pedoman pelaksanaan rehabilitasi mangrove dikenal adanya cara penanaman dengan penanaman memakai bibit dan dengan benih. Khusus penanaman langsung dengan benih dapat dilakukan dengan benih jenis propagul, pada areal berlumpur.
Benih/buah ditancapkan ke dalam lumpur dengan bakal kecambah menghadap ke atas. Untuk menjaga agar buah tidak hanyut, bila perlu diikatkan pada ajir. Penanaman dapat juga dilakukan dengan penaburan benih non propagul sesuai dengan kearifan lokal.
Sementara itu, pola tanam mangrove dapat dilakukan dengan empat cara, yakni penanaman murni, penanaman wanamina (sylvofishery), penanaman rumpun berjarak dan pengayaan tanaman (enrichment planting).
Pola tanam murni dibedakan menjadi pola tanam merata dan/atau pola strip (jalur). Jumlah tanaman per hektare berkisar 3.300-10.000 batang per hektare sesuai kondisi lapangan. Pola tanam wanamina dilaksanakan seperti halnya dengan pola tanam murni, tapi dalam penanamannya dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan.
Sepanjang 2010-2019, pemerintah Indonesia telah menanam mangrove lebih dari 45.000 hektare. Sementara tahun 2020, penanaman mangrove kembali dilakukan seluas 39.970 hektare oleh KLHK, BRGM, serta pihak-pihak terkait lainnya. Sementara itu, melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) semasa pandemi, percepatan rehabilitasi mangrove tahun 2021 mencapai 34.000 hektare.
Total luas mangrove yang telah direhabilitasi dari tahun 2010 hingga 2021 seluas 118.970 hektare. Melalui BRGM yang sengaja dibentuk pemerintah pada akhir Desember 2020 untuk menangani mangrove yang rusak dan juga kementerian dan lembaga lainnya, pemerintah sedang berupaya keras untuk merehabilitasi mangrove yang rusak seluas hampir 600.000 hektare.
Data luas yang disebut di atas adalah data luas penanaman. Keberhasilan dalam arti tingkat pertumbuhan dan luas tanaman (survival rate and large growth) rehabilitasi mangrove belum dilaporkan dan diverifikasi secara menyeluruh.
Sebelum ada BRGM yang fokus menangani mangrove ini, KLHK telah lama dan bertahun-tahun melaksanakan kegiatan rehabilitasi mangrove melalui unit pelaksana teknis (UPT) di daerah yakni Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL yang ada di setiap provinsi) meskipun cakupan luas dan sebarannya tidak semasif sekarang setelah adanya institusi BRGM.
Bahkan dulu dibentuk adanya Balai Rehabilitasi Mangrove di Medan dan Denpasar yang khusus ditugaskan untuk menangani kegiatan mangrove. Namun sayang sistem MRV (meansurement, reporting dan verification) yang dibangun KLHK sangat lemah dan sulit diimplementasikan secara transparan.
Publik tidak mendapatkan gambaran yang utuh berapa sebenarnya luas mangrove yang telah ditanam setelah dalam jangka waktu tertentu (5, 10, 15 tahun) berhasil tumbuh dengan baik dari luas tanaman mangrove pada awal ditanam. Selama ini KLHK hanya merilis luas mangrove yang ditanam berikut dana yang digelontorkan setiap tahunnya saja.
Sebagai contoh, Direktorat Jenderql Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, tahun 2020 melakukan penanaman mangrove seluas 15.000 ribu hektare dengan nilai Rp 406,1 miliar di 34 provinsi di Indonesia.
Menurut Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko (kini Direktur Jenderla Konservasi dan Sumber Daya Ekosistem), kegagalan tanaman mangrove antara lain akibat tempat atau lokasi yang kurang sesuai karena berhadapan langsung dengan laut, kurangnya partisipasi masyarakat, ketidaksesuaian waktu tanam dan masa berbuah, waktu tanamnya terlalu mundur dengan musim ombak yang tenang, lokasi bekas habitat mangrove yang telah rusak.
BRGM belum punya tolok ukur tingkat keberhasilan tanaman mangrove yang baku. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23/2021 pun, pedoman teknis penilaian keberhasilan tumbuh tanaman hanya berlaku dan dikhususkan pada tanaman reboisasi pada kawasan teresterial (daratan). Itu pun, keberhasilan tanaman reboisasi masih dapat diperdebatkan karena teknis penilaian keberhasilan tumbuh tanaman hanya dilakukan sampai pada pemeliharaan II (tanaman umur 3 tahun). Padahal penilaian keberhasilan tanaman harus diukur sampai dengan tanaman mencapai umur dewasa (minimal 15 tahun) setelah melalui fase anakan, sapihan, tiang dan pohon dewasa.
BRGM juga belum memutuskan persentase pertumbuhan hidup tanaman mangrove yang masuk kategori berhasil, meskipun BRGM telah mengevaluasi rehabilitasi tahun tanam 2020 di lahan mangrove seluas 13.000 hektare.
Menurut Kepala Kelompok Kerja Perencanaan Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove Noviar, persentase tumbuh tanaman mangrove rata-rata di atas 50% sudah dapat dikatakan berhasil karena sulitnya pertumbuhan tanaman mangrove.
Persentase ini bagus untuk penanaman murni dengan jarak tanam 2 x 1 meter dan 1 x 1 meter dengan muatan bibit per hektare 5.000 batang bibit per hektare dan 10.000 batang bibit per hektare. Sementara untuk tanaman mangrove dengan jarak tanam 1 x 3 meter dengan bibit 3.300 batang bibit per hektare, persentase tumbuh tanamannya minimal 70 persen.
Khusus untuk pola tanaman wanamina, persentase tumbuh tanaman hidup mangrove dapat digunakan persentase tumbuh sebagaimana yang digunakan dalam reboisasi tanaman teresterial yakni 75%, karena muatan bibit hanya 800 batang anakan per hektare.
Sementara untuk pola tanam rumpun berjarak persentase tumbuh tanaman hidup sama dengan penanaman murni yakni 50% karena muatan bibitnya per hektar 5.000 batang anak per hektare. Sedangkan untuk pola tanam pengayaan, persentase tumbuh tanaman hidup dapat digunakansebesar 75%, karena muatan bibitnya tiap hektare hanya 1.000-3.000 batang.
Apabila tanaman mangrove dapat bertahan sampai umur 3 tahun (pemeliharaan tahun II), dapat dipastikan mangrove tersebut akan kuat dan mampu bertahan sampai dengan menjadi mangrove dewasa, sepanjang tanaman tersebut tidak diganggu oleh faktor luar seperti kebakaran, penebangan lair dan perambahan untuk kepentingan lain (untuk pertambakan). Sebab, meskipun tanaman mangrove juga melalui fase anakan, sapihan, tiang dan pohon; namun fase kritis hanya pada tahan anakan saja. Selebihnya, pada fase sapihan, tiang sampai pohon hanya tinggal fase penyesuaian/adaptasi terhadap habitatnya.
Ikuti percakapan tentang rehabilitasi mangrove di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :