SAAT memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia pada 18 September 2023, calon presiden PDI Perjuangan Ganjar Pranowo mendapatkan pertanyaan menarik dari dosen UI Suraya Afiff. Suraya bertanya soal pokok dan penting dalam penguasaan lahan oleh negara yang acap menjadi sumber konflik agraria.
Suraya, tentu saja, mengutip pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Hak menguasai oleh negara inilah yang jadi problem selama Indonesia merdeka, seperti pertanyaan Suraya Afiff.
Ganjar tak terlalu jelas berbicara dan menerangkan isi pikirannya dalam menjawab pertanyaan Suraya Afiff. Mungkin ia belum paham soal pelik ini.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat ada sekitar 25.863 desa di dalam dan di sekitar hutan yang terdiri dari 9,2 juta rumah tangga. Walhi, LSM lingkungan, mencatat 94,8% lahan di Indonesia dikuasai oleh perusahaan atau korporasi. Inilah yang menimbulkan ketimpangan ekonomi.
Di mana hak menguasai oleh negara? Rupanya hak itu didelegasikan kepada korporasi. Masalahnya, delegasi hak itu timpang kepada masyarakat yang justru lebih dulu tinggal di konsesi yang dikemudian diberikan hak pengelolaannya kepada industri. Di sinilah, pertanyaan Suraya Afiff penting: pasal 33 itu jadi sumber masalah konflik lahan.
Pengkuasaan lahan di Indonesia di awal Orde Baru selain menginduk ke UUD 45 Pasal 33, juga Undang-Undang 5/1960 tentang peraturan dasar pokok agraria dan UU 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan.
Baca: Akar Masalah Kriminalisasi Masyarakat Adat
Kedua UU ini mempunyai kedudukan dan posisi yang sejajar dengan tugas yang sama yakni sama-sama mengatur dan mengurusi lahan tetapi kewenangannya berbeda.
UU 5/1960 mengatur dan mengurusi lahan di luar kawasan hutan, sedangkan UU 5/1967 mengatur dan mengurusi lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. UU 5/1967 diubah menjadi UU 41/1999 tentang kehutanan, sedangkan UU 5/1960 tetap berlaku
hingga saat ini. Sejak UU 5/1967 terbit, luas hutan alam tropika basah yang dimiliki Indonesia secara hukum (de jure) 122 juta hektare atau lebih dari 60 persen dari luas total daratan Indonesia.
Masyarakat adat yang bermukim di areal yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan diakui keberadaannya dalam UU ini, namun regulasi di bawahnya tidak jelas dalam memperlakukannya. Ini juga jadi sumber konflik agraria.
Dalam penjelasan Pasal 17 UU Kehutanan ini disebut bahwa “Selain hukum perundang-undangan, di beberapa tempat di Indonesia masih berlaku hukum adat, antara lain tentang pembukaan hutan penggembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan. Dalam pelaksanaan hukum adat setempat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus dijaga jangan sampai terjadi kerusakan hutan, sehingga mengakibatkan manfaat hutan yang lebih penting di bidang produksi dan fungsi lindung daripada hutan akan berkurang adanya.
Demikian pula hak ulayat sepanjang menurut kenyataannya masih diakui, tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-perundangan lain yang lebih tinggi.
Karena itu tidak dapat dibenarkan jika hak ulayat suatu masyarakat hukum adat setempat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum pemerintah, misalnya: menolak dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek besar, atau untuk
kepentingan transmigrasi dan lain sebagainya. Demikian pula tidak dibenarkan, apabila hak ulayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat hukum adat setempat untuk membuka hutan secara sewenang-wenang.”
Dalam UU 41/1999 tentang kehutanan, masyarakat adat disebut dengan rinci dan jelas dalam satu bab, satu pasal (67) dan tiga ayat. Dalam pasal 5 ayat (2) UU tersebut, dinyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat. Mahkamah Konstitusi pada 2012 menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada diwilayah adat dan bukan negara.
Sayangnya, pasal 67 ayat (2) yang mensyaratkan peraturan daerah dalam pengakuan hutan adat tak turut dibatalkan. Sehingga masyarakat adat yang mengajukan hutan adat mesti mendapatkan pengakuan melalui peraturan daerah, yakni kesepakatan antara eksekutif dan legislatif daerah masih mengalami kesulitan.
Dengan terbitnya UU Cipta Kerja dan PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, secara tekstual dan eksplisit akses masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan mendapat ruang dan kesempatan berusaha dalam kawasan hutan melalui kegiatan perhutanan sosial.
Menurut aturan, penguasaan hutan tidak diharamkan atau dilarang dalam kawasan hutan untuk diusahakan dan dipungut hasil hutannya berupa kayu dengan aturan dan persyaratan tertentu. Pengusahaan hutan inilah yang dipersoalkan Suraya Afiff yang disebut dengan penguasaan lahan hutan untuk diberikan kepada perusahaan atau korporasi hingga saat ini.
Berdasarkan aturan, kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan adalah ilegal kecuali mendapatkan izin. Dalam PP 28/1985 tentang perlindungan hutan sebagai turunan dari UU 5/1967, Pasal 6 ayat (1) berbunyi “Kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang dikerjakan atau diduduki tanpa izin Menteri”. Sekitar 25.863 desa di dalam dan di sekitar hutan yang terdiri dari 9,2 juta rumah tangga yang diungkap Suraya Afiff masuk dalam golongan di luar masyarakat adat.
UU 41/1999 mengatur masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat pemerintah menetapkannya sebagai kawasan hutan.
Dalam PP 6/2007, tentang tata hutan, dan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, pemerintah wajib memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.
Pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dapat dilakukan melalui kegiatan yang kini dikenal sebagai perhutanan sosial.
Perhutanan sosial adalah bagian dari reforma agraria, selain tanah objek reforma agraria (TORA). Bedanya lahan TORA bisa jadi hak milik tapi lahannya tak bisa dijual atau diwariskan. Keduanya adalah implementasi hak menguasai oleh negara yang diatur dalam pasal 33. Masalahnya, delegasi hak kepada industri melalui konsesi dan masyarakat melalui reforma agraria acap timpang sehingga memicu konflik agraria.
Ikuti percakapan tentang konflik agraria di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :