Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 16 Oktober 2023

Integritas Perguruan Tinggi Kita: Sejauh Apa?

Prinsip dasar pendidikan tinggi adalah keadilan. Sudah tercapai?

Integritas perguruan tinggi

DOSEN dan mahasiswa adalah produsen budaya. Ini salah satu pernyataan penting dalam webinar “Produksi Ilmu Pengetahuan di Tengah Masyarakat” oleh Dewan Guru Besar Universitas Indonesia pekan lalu. Sebab dosen dan mahasiswa mampu menulis dan merefleksikan berbagai persoalan dalam masyarakat, melakukan studi struktur kuasa, hingga membongkar penindasan. 

Syarat mahasiswa dan dosen bisa menjadi produsen budaya adalah kebebasan akademik, meski ilmu pengetahuan tidak bebas kepentingan. Ilmu pengetahuan diproduksi oleh keterlibatan dosen dan mahasiswa dalam masyarakat, lingkungan sosial, dan bersifat kontekstual. Seberapa besar potensi civitas academica memproduksi pengetahuan sendiri, beserta nilai-nilai yang dibutuhkan masyarakat, seperti nilai demokrasi, penegakan hak asasi manusia maupun  keadilan bagi setiap orang.

Konstruksi Kayu

Dalam sejarahnya, perguruan tinggi bisa berperan melegitimasi pengambilan keputusan publik. Karena itu, keterlibatan dosen dalam pembuatan kebijakan sebagai pengabdian kepada masyarakat atau bukan? Bahkan jika mereka ikut dalam kegiatan politik praktis?

Pendidikan tinggi di Indonesia dimulai ketika Belanda mendirikan Technische Hogeschool (THS) di Bandung pada 1920. Namun cikal bakal perguruan tinggi itu sudah disemai oleh pemerintah kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19, melalui pendirian School tot Opleiding voor Indische Arsten (STOVIA), lembaga pendidikan dokter di Batavia. Pada 1902, STOVIA menjadi lembaga pendidikan yang setara pendidikan tinggi, yang lulusannya diberi gelar Inlandsche Arts (dokter Bumiputera).

Setelah Indonesia merdeka, ada penyatuan antara tujuan pendirian perguruan tinggi dengan kebutuhan masyarakat. Dalam Pasal 3 Undang-Undang No 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah tertera tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

Dalam undang-undang itu, ada empat tonggak kebijakan negara atas pendidikan nasional, yaitu:

Pertama, pendidikan yang bersifat nasional, yang bersandar pada kebudayaan harus menjadi perisai terhadap bahaya “cultural bondage” atau perbudakan yang membudaya. Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengatur dan alat terpenting menebalkan rasa nasional suatu bangsa. Walaupun terdapat kompromi bahwa di tiga kelas terendah di sekolah dasar bahasa yang digunakan yaitu bahasa ibu atau bahasa daerah.

Kedua, pendidikan tidak ditujukan agar siswa bertindak lahir dan batin sesuai yang diperintahkan secara imperatif, tetapi atas dasar rasa kemerdekaan dan inisiatif sendiri. Bila hal ini tercapai, pendidikan Indonesia demokratis. Tetapi kemerdekaan itu bukanlah anarki.

Ketiga, akibat dan sifat demokrasi pendidikan menimbulkan prinsip, bahwa kekurangan biaya pada seorang tidak boleh menjadi halangan tetap meneruskan pendidikannya. Untuk itu, pemerintah menyediakan bea siswa.

Keempat, undang-undang itu bermaksud meletakkan dasar-dasar baru bagi pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan cita-cita kebangsaan. Kewajiban pemerintah yaitu memimpin dan memberi pedoman yang tegas ke arah mana pendidikan dan pengajaran untuk masyarakat. 

Undang-undang 1950 itu menegaskan fungsi pendidikan dan pengajaran untuk melepaskan diri dari rasa inferior atau “pasrah sebagai budak” dengan penegasan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia. Pendidikan juga harus diselenggarakan melalui inisiatif sendiri secara demokratis serta pelaksanaan pendidikan dan pengajaran yang menjangkau masyarakat kurang mampu melalui beasiswa. 

Sebelas tahun kemudian, melalui UU 22/1961 tentang Perguruan Tinggi pelembagaan peran pendidikan terhadap dinamika masyarakat diperkuat dengan simbol bahwa perguruan tinggi adalah agen perubahan. Pasal 4 dalam undang-undang itu mengakui dan melindungi kebebasan ilmiah dan kebebasan mimbar seorang pengajar dan peneliti. Mereka bisa mengajarkan, mengadakan, dan mengatakan hasil penelitian agar usaha dan kegiatannya mencapai perkembangan yang setinggi-tingginya dan sesempurna mungkin, namun tetap sejalan dengan Pancasila sebagai dasar negara.

Dua undang-undang itu akhirnya dicabut oleh UU 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lalu diubah lagi menjadi UU 20/2003 dengan nama yang sama. Pergantian undang-undang ini seiring banyaknya pergantian undang-undang di masa reformasi.

Tanpa merujuk UU Sistem Pendidikan Nasional itu, UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan perguruan tinggi sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Undang-undang ini berasaskan antara lain keadilan. Prinsip pendidikan tinggi adalah pencarian kebenaran ilmiah, demokratis, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Selain itu, dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi juga harus mempunyai keberpihakan pada kelompok masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi.

Masalahnya, civitas academica perguruan tinggi bisa mengambil atau diperankan untuk melegitimasi suatu pengambilan keputusan yang menguntungkan kelompok tertentu, khususnya bagi mereka yang kaya sumber daya. Dengan situasi dan kondisi seperti itu yang berlangsung lama, civitas academica kurang punya kepekaan untuk wajib berpihak pada masyarakat biasa yang kurang mampu.

Dalam webinar itu, Profesor Wening Udasmoro menyebut bahwa secara historis ilmu pengetahuan terus bergerak. Semasa Orde Baru, ilmuwan pernah menjadi alat pembangunanisme. Pernah menjadi alat yang digunakan agar masyarakat tunduk pada kekuatan kapitalisme global, serupa dengan itu, pengetahuan lebih sering menjadi obyek untuk eksistensi subjek kekuasaan guna mencapai tujuan mereka.

Dengan demikian, pengetahuan kehilangan makna karena yang menikmati lebih banyak subjek-subjek mapan dan berkuasa secara ekonomi, sosial, maupun politik. Sementara itu, kelompok-kelompok teralienasi kadang tidak masuk dalam radar kemanfaatan ilmu pengetahuan atau dapat memanfaatkan tetapi dalam jumlah yang minimal.

Terkait poisisi ilmu pengetahuan seperti itu, pada saat penyusunan rancangan isi UU Cipta Kerja ada pembahasan tim Dewan Guru Besar IPB University mengenai rencana perubahan UU 12/2012 dalam UU Cipta Kerja. Dalam rancangan perubahan itu disebut antara lain pendidikan tinggi tidak lagi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia dan dalam pengembangan program studi tidak wajib diakreditasi. Ketentuan mengenai keharusan memenuhi standar pendidikan tinggi di Indonesia juga di hapus. Namun rancangan isi undang-undang seperti ini akhirnya tidak jadi masuk ke dalam UU Cipta Kerja.

Semua dimensi pembangunan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kepentingan politik. Termasuk di pendidikan tinggi. Untuk itu perhatian terhadap posisi dan eksistensi perguruan tinggi bersama ilmu pengetahuan yang diembannya tidak bebas nilai. Sejalan dengan perkembangan pendidikan tinggi, semestinya nilai-nilai yang dibutuhkan masyarakat seperti nilai demokrasi, penegakan hak asasi manusia maupun  keadilan bagi setiap orang tetap dapat dipertahankan.

Ikuti percakapan tentang perguruan tinggi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain