TAMAN Nasional Tesso Nilo di Jambi menjadi salah satu hutan hujan tropis dataran rendah paling kaya di dunia. Ia adalah rumah bagi lebih 4.000 spesies tumbuhan dan 3% mamalia dunia, termasuk harimau Sumatera dan gajah Sumatera. Namun, dalam dua dekade terakhir, deforestasi di taman nasional ini terus mengalami kehancuran.
Berdasarkan data citra satelit Global Forest Watch, tutupan hutan primer Taman Nasional Tesso Nilo turun begitu cepat. Dalam rentang 2002-2022, hutan primer Tesso Nilo berkurang 58.300 hektare. Artinya, dalam dua dekade terakhir, Tesso Nilo telah kehilangan 87% tutupan hutan primer.
Sebagian besar kehilangan hutan Tesso Nilo, sekitar 48.000 hektare, terjadi setelah 2009. Pada tahun tersebut pemerintah memperluas luas Taman Nasional Tesso Nilo untuk menekan laju konversi hutan.
Deforestasi Tesso Nilo mencapai puncaknya di 2012, kemudian terus menurun hingga 2020, lalu kembali meningkat di 2021 hingga 2022.
Faktornya beragam, terutama harga kelapa sawit yang begitu tinggi di 2022. Hal tersebut menyebabkan orang berbondong-bondong untuk mengekspansi perkebunan sawit mereka dan meraup untung sebanyak-banyaknya.
Selain kelapa sawit, terdapat juga hutan industri akasia. Pandemi Covid-19, aktivitas konservasi tak begitu intens membuat aktivitas perambahan dan deforestasi menjadi lebih leluasa.
Berdasarkan laporan WWF pada 2013, kebanyakan perkebunan di Tesso Nilo ada dalam skala industri. Rata-rata luas perkebunan kelapa sawit di dalam taman nasional tersebut sekitar 50 hektare. Luas tersebut jauh berada di atas rata-rata luas perkebunan kelapa sawit kecil.
Berdasarkan analisis citra satelit dari Planet Lab, deforestasi tahun ini terus mengancam hutan primer Tesso Nilo yang belum terfragmentasi.
Sejak awal 2023, perambahan mulai terlihat di bagian barat dan selatan. Pada September 2023, perambahan sudah mulai mencapai ke titik tengah taman nasional ini. Dengan begitu, fragmentasi habitat akan terjadi dan akan membuka jalur-jalur bagi para pemburu liar.
Naiknya deforestasi Tesso Nilo telah diprediksi sejak lama. Pada sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Plos One pada 2019, keberadaan jalanan di dalam taman nasional ini mengalami peningkatan drastis.
Pada 2016, terdapat lebih dari 2.400 kilometer jalan di dalam taman nasional ini, meningkat sepuluh kali lipat jika dibanding tahun 2002. Keberadaan jalan tersebut membuka peluang akses deforestasi.
Pemerintah telah melarang keras perkebunan kelapa sawit di area Tesso Nilo. Pada Agustus 2021, penegak hukum menyita dua eksavator yang secara ilegal membangun kanal di taman nasional ini. Pembangunan kanal ini diduga sebagai persiapan untuk melakukan deforestasi skala besar.
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sejak 2016 telah membuat program restorasi dan pelestarian lingkungan Tesso Nilo dengan menggandeng komunitas. Targetnya, memulihkan lahan seluas 36 kilometer persegi, atau 3,6% dari luas taman nasional ini.
Masalahnya, tanpa penegakan hukum yang keras, deforestasi Tesso Nilo akan berlanjut dan menggerus keberadaan Taman Nasional Tesso Nilo.
Ikuti perkembangan tentang deforestasi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :